Daniel

Daniel

20
April

 

Data John Hopkins University melansir kasus virus corona di Singapura melonjak dari semula 266 pasien pada 17 Maret lalu menjadi 5.992 kasus pada Minggu (19/4). Memang, angka tersebut terbilang kecil dibandingkan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa yang mengungkap kasus hingga ratusan ribu dengan angka kematian mencapai puluhan ribu. Namun, lonjakan itu agak mengkhawatirkan mengingat penduduk Singapura hanya 5,7 juta jiwa. Secara geografis pun, luasan wilayah Singapura tidak lebih besar dari New York.

Singapura juga hanya memiliki perbatasan darat dengan satu negara, yaitu Malaysia. Hal itu dinilai mempermudah pemerintah Perdana Menteri Lee Hsien Loong untuk menjaga pergerakan individu keluar masuk negaranya dan mengendalikan pandemi. Apalagi, Singapura sempat dipuji sebagai negara paling sukses menekan penularan virus corona. Bahkan, Singapura itu dijadikan contoh oleh beberapa negara lain yang sukses melawan pandemi covid-19 tanpa menerapkan kebijakan lockdown. Namun, 'prestasi' itu mulai luntur seiring dengan bertambahnya kasus corona di Singapura. Cnn

20
April


Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi penyebaran virus Corona atau Covid-19 akan menjadi peristiwa resesi terparah sejak The Great Depression era 1930-an, atau hampir 1 abad silam. Hal ini sangat beralasan karena akibat pandemi COVID-19, hampir seluruh sektor ekonomi di dunia lumpuh total. Mulai dari maskapai penerbangan hingga industri manufaktur mengurangi bahkan menghentikan operasionalnya dan harus merumahkan karyawannya. Penyebabnya karena banyak negara di dunia yang memberlakukan pembatasan pergerakan warga untuk memutus mata rantai penyebaran virus yang mematikan ini.

Pandemi COVID-19 tentu saja tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia yang diprediksi negatifIndonesiapun tak luput dari dampak buruk tersebut. Tahun ini IMF memprediksi perekonomian Indonesia kemungkinan hanya akan tumbuh 0.5% dari sebelumnya 5,0% di 2019.

Di balik ancaman resesi ekonomi sebagai akibat lumpuhnya beberapa sektor ekonomi, ada sektor yang memiliki peluang besar menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia saat pandemi COVID-19. Peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Tallatov dalam seminar daring (on-line) di Jakarta, Jumat malam (17/4) menyatakan hal ini. Menurutnya, sektor tersebut adalah sektor kesehatan dan industri teknologi komunikasi informasi (ICT) seperti e-commerce atau perdagangan secara daring (on-line).

Seperti diketahui, di masa pandemi ini masyarakat banyak yang membutuhkan alat-alat kesehatan seperti masker dan Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas medis, yang semakin hari semakin langka dan mahal. Keadaan ini mendorong beberapa sektor usaha beralih menjadi produsen alat kesehatan. Peralihan ini selain memudahkan masyarakat dan petugas medis mendapatkan alat kesehatan dengan harga yang terjangkau, juga membantu mengurangi angka pengangguran.


Selain alat kesehatan, bisnis e-commerce juga menjadi kebutuhan utama publik dalam bertransaksi di masa pandemi COVID-19. Karena masyarakat takut berbelanja secara langsung sehingga untuk pembelian beberapa kebutuhan dilakukan secara daring melalui platform e-commerce
Tak heran banyak muncul platform e-commerce lokal terutama untuk memenuhi kebutuhan sembako. Hal ini  membantu masyarakat dalam proses pembelian barang dari konsumen ke pasar dan membantu petani dan pedagang memasarkan dagangannya.


Pandemi COVID-19 memang melumpuhkan perekonomian, namun bukan berarti membuat masyarakat menerima keadaan dengan pasrah. Banyak yang bisa dimanfaatkan dan menjadi sumber pendapatan baru bagi orang yang kreatif dan dapat melihat peluang. Diharapkan,  secara tidak langsung kesempatan itu masih  dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

20
April


Pelaku industri domestik dalam waktu dekat akan memproduksi 16.000 alat pelindung diri (APD) setiap harinya dengan kriteria yang sesuai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Menteri Perindustrian RI, Agus Gumiwang dalam konferensi pers secara virtual usai rapat terbatas di Jakarta, Rabu,15 April mengatakan pihaknya melalui Balai Besar Tekstil Kementerian Perindustrian sudah bekerja sama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Kerja sama itu juga diperluas dengan melibatkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Agus Gumiwang Kartasasminta  mengatakan, selain APD, pihaknya bersama dengan sejumlah industri juga sedang melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan ventilator.

Pihaknya sudah berkoordinasi dengan empat kelompok pengembang ventilator dari Universitas Indonesia, tim Yogyakarta yang terdiri dari Universitas Gajah Mada(UGM)  dan sejumlah perusahaan swasta. Dari hasil koordinasi tersebut didapat kepastian bahwa beberapa kelompok pengembang ventilator akan mulai produksi April ini. Ia menjelaskan, tim Yogyakarta justru bicara jangka menengah-panjang. Tidak hanya menangani COVID-19, ke depan mereka akan produski jenis ventilator high grade. Sedangkan kelompok lainnya akan memproduksi low cost ventilator.

Saat membuka rapat terbatas, Presiden Joko Widodo mengatakan, ketersediaan alat kesehatan, obat-obatan dan bahan baku farmasi di tengah situasi pandemi COVID-19  harus dipastikan cukup untuk saat ini, dan untuk beberapa waktu ke depan. Hal itu juga menyangkut ketersediaan APD bagi dokter dan tenaga medis. Pasalnya, saat ini lebih dari 200 negara di dunia terdampak pandemi COVID-19. Banyak negara di dunia saling memperebutkan pasokan alat kesehatan dan barang farmasi guna mengatasi wabah penyakit yang menyerang saluran pernafasan itu.

Presiden Jokowi meminta jajaran menteri dan pimpinan lembaga untuk mengevaluasi kembali seluruh potensi sumber daya industri domestik seperti industri bahan baku obat farmasi, industri Alat Perlindungan Diri (APD), masker, ventilator dan lainnya. Presiden Joko Widodo  juga mengingatkan ekspor barang terkait penanganan COVID-19 harus dilakukan selektif karena perlu mengutamakan kebutuhan domestik terlebih dahulu. Selain itu impor bahan baku untuk membuat alat kesehatan dan barang farmasi untuk menangani COVID-19 harus dipermudah. 

20
April

 

Pengungsi Negara Bagian Kachin Myanmar khawatir dengan ancaman pandemi virus corona. Masyarakat yang kehilangan tempat tinggal karena konflik di negara bagian itu tidak membuang waktu untuk mencegah virus mencapai tempat pengungsian mereka.Hal itu dikatakan ketua kamp pengungsi dalam negeri (IDP) Jaw Masat, Galau Bawm Myaw seperti dilansir dari Aljazirah, Ahad (19/4). Kapasitas Myanmar dalam mencegah dan mengatasi wabah virus korona atau Covid-19 dalam skala nasional masih dipertanyakan.

Sementara 240 ribu IDP di negara itu menyadari risiko mereka sangat tinggi. Sekitar 100 ribu diantaranya adalah etnik Kachin yang tersebar di 138 kamp dan gereja di ujung utara Myanmar. Dekat perbatasan dengan Tiongkok. Myaw mengatakan, Sebagian besar IDP dari Kachin adalah warga yang meninggalkan desa mereka. Republika