Dunia tentu tidak melupakan Rohingya, Etnis muslim yang semula bermukim di Myanmar dan kini menjadi pengungsi. Terusir dari tempat asalnya, dengan berbagai cara, termasuk menggunakan perahu, mereka berusaha mencari tempat yang lebih aman di negara-negara lain. Kondisinya makin sulit ketika para muslim Rohingya tetap berusaha mencari lokasi baru untuk mengungsi dalam kondisi pandemi corona seperti sekarang. Negara-negara yang dituju saat ini sedang berusaha membatasi kedatangan warga asing untuk mencegah meluasnya penularan virus Covid 19.
Malaysia yang kerap menjadi tujuan utama para pengungsi Rohingya, dengan tegas menyatakan tidak dapat menerima mereka karena keadaan dalam negeri yang sibuk menghadapi pandemi Corona. Kondisi orang-orang Rohingya saat ini juga semakin diperparah dengan adanya kebijakan push-back (mendorong mundur) yang dilakukan negara tujuan lain yaitu Thailand.
Pengungsi Rohingya terpaksa meninggalkan pemukiman yang sudah didiami dari generasi ke generasi akibat tindak kekerasan pemerintah Myanmar yang mengarah ke genosida atau pemusnahan etnis khususnya di tahun 2017.
Lebih dari 1 juta orang Rohingya kini berada di Bangladesh, negara tetangga yang konon merupakan tempat asal usul etnis ini. Orang Rohingya sendiri mengklaim mereka adalah warga asli Myanmar Barat namun tidak pernah memperoleh status kewarganeraan yang jelas dari pemerintah Myanmar.
Di Bangladesh, orang-orang Rohingya dijejalkan ke kamp-kamp pengungsi yang berdesakan dengan kondisi jauh dari kata layak. Rencananya mereka akan dipulangkan kembali ke Myanmar.
Tentu menjadi angin segar ketika dengan alasan kemanusiaan Indonesia bersedia menampung manusia perahu Rohingya di perairan Aceh pada akhir Juni lalu. Ditengah kondisi pandemi corona yang dihadapi semua negara, Indonesia menerima pengungsi Rohingya dengan tangan terbuka. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan akan memindahkan lokasi penampungan 99 orang etnis Rohingya di Aceh ke tempat yang lebih layak. Badan urusan pengungsi PBB UNHCR sudah mendata secara resmi para pengungsi Rohingya yang ditampung di Aceh ini.
Tentu yang menjadi pertanyaan, ditengah suasana Pandemi seperti sekarang, bagaimana seharusnya negara negara yang sering menjadi tujuan para pengungsi Rohingya bersikap? Sebuah dilemma, karena ditengah kekhawatiran akan ancaman penularan virus Covid 19, ada beban tanggung jawab kemanusiaan yang tetap harus dipikul.
Indonesia telah menjawab hal itu dengan mengedepankan rasa kemanusiaan. Tinggal dilihat bagaimana negara- negara lain juga akan bersikap menghadapi jumlah pengungsi Rohingya yang terus mencari negara tujuan baru, ditengah kondisi pandemi yang belum tahu kapan tuntasnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kehutanan melimpah. Hutan Indonesia mencapai 125 juta hektar, dengan hutan produksi 29 juta hektar. Ironisnya, walaupun Indonesia memiliki sumber kehutanan melimpah tersebut, ekspor mebelnya masih kalah dengan Vietnam. Indonesian Light Wood Association menilai Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki lahan luas luar biasa, tetapi jumlah ekspor produk mebelnya masih di bawah Vietnam.
Selama beberapa tahun terakhir ini, ekspor industri mebel Indonesia terus memperlihatkan tren peningkatan. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa pada 2016, nilai ekspor industri mebel Indonesia adalah US$ 1,60 miliar, naik menjadi US$ 1,63 miliar pada 2017, dan terus naik menjadi US$ 1,69 miliar pada 2018. Tahun 2019, menurut data BPS, Indonesia mampu mengekspor furniture kayu US$1,95 miliar, naik 14,6 persen dari 2018.
Melihat angka tersebut, sebenarnya tren ekspor mebel Indonesia meningkat. Namun, pertumbuhan ini tergolong kecil dibanding Vietnam yang pertumbuhan ekspor produk ini mampu tumbuh 38 persen dalam tiga tahun terakhir atau rata-rata 16 persen per tahun.
Ada beberapa permasalahan yang perlu diperbaiki agar ekspor mebel Indonesia meningkat secara signifikan dan bahkan bisa melebihi Vietnam.
Kendala utama yang membuat peningkatan ekspor mebel Indonesia masih moderat atau belum signifikan adalah harga produk mebel Indonesia lebih mahal. Padahal, jenis dan tipe produk mebel Indonesia sama dengan produk yang diproduksi oleh Vietnam. Untuk mengatasi masalah harga ini, pemerintah Indonesia perlu memperbaiki tata niaga perkayuan, karena tata niaga perkayuan ikut membuat produk hasil industri furnitur Indonesia tak kompetitif dibandingkan dengan produk-produk serupa dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga perlu menghapus pajak pertambahan nilai untuk kayu bulat.
Permasalahan lain yang ikut membuat kinerja ekspor produk industri furnitur Tanah Air adalah masih rendahnya kemampuan sebagian besar pelaku usaha untuk menciptakan produk-produk dengan desain atau inovasi menarik.
Hambatan lain yang membebani pengusaha atau eksportir untuk melakukan ekspansi ekspor mebel adalah regulasi. Salah satu contoh regulasi yang menjadi beban bagi para eksportir mebel adalah terkait sertifikasi kayu.
Dengan adanya hambatan tersebut, ke depan, pemerintah Indonesia perlu melakukan deregulasi terhadap kebijakan perkayuan yang dapat memperlancar dan meningkatkan ekspor mebel Indonesia secara signifikan
Kabar baik datang dari perbatasan India dan Tiongkok, saat dunia masih repotmengatasi pandemi Covid 19. India yang tengah bekerja keras mengatasi virus Corona, mendapatkan angin segar dalam hubungannya yang belakangan menegang dengan Tiongkok. Setelah terjadi konflik berdarah antara militer ke dua belah pihak bulan Juni lalu, akhirnya tercapai kesepakatan damai.
Pihak Tiongkok mulai menarik pasukannya dari perbatasan dengan India. Hal ini ditandai dengan pembongkaran kamp militer dan beberapa fasilitas di lembah Galwan. Tempat yang sering menjadi lokasi bentrokan militer kedua negara, seperti yang terjadi 15 Juni lalu.
Perseteruan India Tiongkok dimulai 50 tahun lalu akibat persengketaan perbatasandi kawasan dataran tinggi Himalaya. Langkah langkah perdamaian mewujud dalam pertemuan antara Penasihat Keamanan India Ajit Goval dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi. Pembicaraan yang berlangsung pada hari Minggu, 5Juli itu membuahkan kesepakatan mengenai penarikan mundur pasukan militer dari zona perbatasan yang disengketakan.
Dari pihak Tiongkok diperoleh keterangan akan diambilnya langkah langkah efektif untuk meredakan ketegangan diperbatasan. Kedua belah pihak juga sepakat untuk melanjutkan dialog untuk menindak lanjuti pembicaraan damai. Baik Tiongkok maupun India mengatakansetuju menarik mundur pasukan secara signifikan.Dalam pertemuan Minggu lalu, New Delhi juga menegaskan komitmen kedua pihak untuk menghormati apa yang disebut dengan Garis Kontrol Aktual di sepanjang perbatasan yang disengketakan.
Upaya mencari penyelesaian melalui jalur perundingan guna mencapai kesepakatan adalah cara yang sangat baik. Tidak ada solusi yangbisa dicapai manakala perbedaan pendapat dan prinsip ditempuh melalui jalan kekerasan atau peperangan. Bagi India dan Tiongkok penyelesaian sengketa perbatasan, yang sudah berlangsung setengah abad, melalui perundingan, merupakan cara terbaik. Apalagi tanpa harus menyertakan pihak asing untuk ikut campur. Tentu masih diperlukan langkah lebih lanjut guna mewujudkan penyelesaian permanen atas konflik perbatasan kedua negara bertetangga, India dan Tiongkok.
Penyelidik hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, serangan pesawat tak berawak Amerika Serikat (AS) yang menewaskan komandan Garda Revolusi Iran, Qassem Soleimani dan sembilan orang lainnya merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. AS telah gagal untuk memberikan bukti yang cukup tentang serangan tersebut. Pelapor Khusus PBB, Agnes Callamard menyatakan dalam laporannya bahwa serangan itu telah melanggar Piagam PBB.
Dia menyerukan akuntabilitas atas pembunuhan yang ditargetkan oleh drone dan regulasi senjata yang lebih besar. Callamard dijadwalkan untuk mempresentasikan laporannya kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Kamis (9/7) mendatang. Laporan itu akan memberikan kesempatan kepada negara-negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia untuk mendiskusikan langkah yang harus dilakukan. Republika