Menteri Luar (menlu) Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menghadiri seminar virtual yang bertajuk “The Role of Women Negotiatiors and Mediators in the Maintenance of Regional Peace and Security” pada tanggal 1-2 Juli 2020 Seminar yang diselenggarakan Indonesia ini merupakan perwujudan dari upaya Indonesia untuk terus menyuarakan peran dan kontribusi perempuan sebagai agen perdamaian dalam tataran global Seminar tersebut dihadiri sekitar 850 peserta dari Indonesia dan luar negeriSeperti dikutip laman kemlu.go.id ( 037) dalam acara tersebut Menteri Retno mengatakan kemungkinan keberlangsungan perdamaian yang bertahan hingga 15 tahun akan meningkat sebesar 35% jika terdapat partisipasi perempuan dalam proses tersebut
Selain itu Menlu Retno mengemukakan tiga poin utama Pertama, terdapat kebutuhan mendasar untuk mengubah cara pandang dan pola piker masyarakat terhadap keterlibatan perempuan Kedua, Menlu menyampaikan pentingnya untuk meningkatkan kapasitas yang menfasilitasi peranan perempuan dalam membangun dan menjaga perdamaian Ketiga, perlu dibangunnya jaringan yang dapat menjadi wadah untuk bertukar pikiran dan pengalaman Dalam kesempatan yang sama, Menlu juga menghimbau kepada kaum perempuan untuk bersama-sama memperjuangkan perubahan
Seminar dilanjutkan dengan tiga sesi, yang mengusung tema “New and Emerging Women, Peace and Security Issues in Southeast Asia and the Role of Women Mediators and Negotiators", “The Role of Women as Negotiators and Mediators at the Peace Table", dan “Regional Women Mediator Networks - Best Practices from other Regions in Enhancing Women's Meaningful Participation and Influence in Peace Processes" Sesi pertama membahas mengenai peranan perempuan dalam isu perdamaian dan keamanan di Asia Tenggara, upaya nasional dan global untuk mengurangi kesenjangan gender, dan partisipasi kaum perempuan dalam seluruh tahapan pembangunan perdamaian Sementara pada sesi kedua merupakan sesi berbagi pengalaman dari para pembicara di meja perundingan Sedangkan pada sesi terakhir, para pembicara mendiskusikan pengalaman di organisasi masing-masing dalam meningkatkan partisipasi kaum perempuan dalam proses perdamaian di semua tahapan terutama pada kawasan yang menjadi tempat kerja mereka
Disamping ituseminar menghadirkan pembicara perempuan dari berbagai kalangan, seperti Direktur Kerja Sama Internasional dan Perlucutuan Senjata Kementerian Luar Negeri Rpeublik Indonesia Dr. Noeleen Heyzer, Moe Thuzar, Fitriani, Prof. Miriam Coronel-Ferrer, Shadia Marbahan, Leonésia Tecla da Silva, Charmaine Baconga, Dr. Armporn Mardent, serta wakil dari beberapa organisasi internasional seperti FemWise-Africa, Women Mediators across the Commonwealth, Mediterranean Women Mediators Network, dan Nordic Women Mediators sebagai pembicara.
5 Juli 2020 merupakan hari bersejarah bagi hubungan bilateral Indonesia dan Australia. Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement/IA-CEPA) resmi berlaku pada hari itu. Kementerian Perdagangan RI dalam laman resminya kemendag.go.id pada Minggu (5/7) mengatakan, para pelaku usaha dan pemangku kepentingan Indonesia sekarang mulai dapat memanfaatkan IA-CEPA.
IA-CEPA akan memberikan manfaat bagi eksportir Indonesia melalui penghapusan seluruh tarif bea masuk Australia sehingga seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar Australia akan menikmati tarif nol persen.
Produk ekspor Indonesia yang berpotensi meningkat adalah otomotif, kayu dan turunannya, furnitur, perikanan, tekstil dan produk tekstil, sepatu, alat komunikasi dan peralatan elektronik.
Menteri Perdagangan RI, Agus Suparmanto dalam keterangan tersebut mengatakan bahwa tarif preferensi IA-CEPA ini harus dimanfaatkan secara maksimal oleh para pelaku usaha Indonesia agar ekspor Indonesia meningkat. Begitu juga sebaliknya, karena perdagangan Indonesia dan Australia bersifat komplementer, dan industri nasional juga mendapatkan manfaat berupa ketersediaan sumber bahan baku dengan harga lebih kompetitif karena tarif bea masuk nol persen. Industri hotel restoran dan katering, serta industri makanan dan minuman akan mendapatkan harga bahan baku yang lebih berdaya saing sehingga konsumen dapat menikmati lebih banyak varian serta harga lebih terjangkau.
Memang IA-CEPA dan kemitraan ekonomi komprehensif dengan negara lainnya adalah peluang bagi ekspor Indonesia. Namun, patut diingat bahwa negara-negera itu tidak hanya berdagang dengan Indonesia. Walaupun Australia memberlakukan tarif masuk nol persen untuk produk Indonesia, produk tersebut tidak diminati oleh warga Australia, maka tetap sulit bagi Indonesia untuk menjual produk disana.
Kuncinya adalah produk yang berdaya saing. Produk yang diminati di semua negara adalah produk berkualitas dan harga kompetitif. Indonesia dengan sumber daya alam melimpah tidak sulit untuk menghasilkan produk berdaya saing. Namun, negara lain juga mempunyai kelebihan yang sama.
Disinilah pentingnya daya pengamatan. Setiap negara mempunyai selera dan kebutuhan berbeda. Jika hal ini tidak diamati secara serius, kemitraan komprehensif bisa berbalik menjadi merugikan Indonesia.
Pada pertengahan minggu lalu, Bank Dunia menaikkan status Indonesia dari Negara berpendapatan menengah ke bawah menjadi berpendapatan menengah ke atas. Bank Dunia menaikkan status Indonesia berdasarkan penilaian terkini. Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per capita Indonesia tahun 2019 tercatat naik menjadi US$ 4.050 dari US$ 3.840 di tahun 2018. Bank Dunia membuat klasifikasi negara berdasarkan PNB per capita dalam 4 kategori, yaitu: Low Income atau berpendapatan rendah (USD1.035), Lower Middle Income (menengah ke bawah) (USD1.036 - USD4,045), Upper Middle Income (menengah ke atas) (USD4.046 - USD12.535) dan High Income atau berpendapatan tinggi (lebih dari USD12.535).
Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai salah satu faktor untuk menentukan suatu negara memenuhi syarat dalam menggunakan fasilitas dan produk Bank Dunia, termasuk loan pricing (penentuan nilai pinjaman).
Kenaikan peringkat Indonesia menjadi Negara berpenghasilan menengah ke atas akan memberikan beberapa keuntungan. Antara lain memperkuat kepercayaan serta persepsi investor, mitra dagang, mitra bilateral dan mitra pembangunan atas ketahanan ekonomi Indonesia.Juga meningkatkan investasi asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Memperbaiki kinerja current account atau akun berjalan/sekarang yang sampai saat ini masih defisit.Serta dapat meningkatkan daya saing ekonomi dan memperkuat dukungan pembiayaan. Selain itu, hal ini merupakan titik penting dalam tahapan strategis dan landasan kokoh menuju Indonesia Maju Tahun 2045.
Dibalik keuntungan yang dapat diraih Indonesia dengan kenaikan peringkat tersebut, terdapat faktor tantangan. Misalnya, dari sisi perdagangan internasional, kenaikan status memiliki konsekuensi pada produk Indonesia yang semakin sedikit mendapatkan fasilitas keringanan tariff. Amerika Serikat bisa jadi akan mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) atau fasilitas pembebasan bea masuk. Padahal, banyak produk Indonesia yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu. Kenaikan status itu juga akan berdampak signifikan pada pembiayaan utang. Dengan naiknya status menjadi Negara berpenghasilan menengah ke atas, Indonesia dianggap mampu membayar dengan suku bunga atau rate yang lebih tinggi. Sementara Negara-negara kreditur akan memprioritaskan pinjaman bagi negara yang berpenghasilan di bawah Indonesia, khususnya kelompok Negara berpendapatan rendah. Kenaikan status tersebut juga akan mengancam serapan tenaga kerja jika tak disertai perubahan struktur ekonomi. Artinya Indonesia tidak perlu berbangga dulu dengan status baru ini karena ada banyak tantangan yang akan dihadapi.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Muscat memulangkan kembali ke tanah air atau merepatriasi sebanyak 180 WNI dari Oman dengan penerbangan khusus Garuda Indonesia. Demikian menurut keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa. Dengan bantuan KBRI Muscat, 180 WNI tersebut dan 1 warga negara asing pemegang KITAS di Oman ikut dalam repatriasi mandiri ke Indonesia pada Senin (6/7).
Duta Besar RI untuk Oman, Musthofa Taufik Abdul Latif, melepas secara langsung keberangkatan 180 orang WNI peserta repatriasi di Oman di bandara internasional Muscat. Para WNI peserta repatriasi tersebut terdiri dari pekerja migran formal yang mengalami pemutusan kontrak kerja, anak buah kapal, pekerja migran sektor domestik yang telah selesai kontrak, dan WNI yang terlantar termasuk 12 orang jamaah tabligh yang berada di Oman sejak Maret 2020. Antara