ada berbagai cara untuk menikmati keindahan candi Borobudur. Anda bisa menyaksikan keindahan candi Buddha terbesar di dunia berlatarkan matahari terbit dari bukit Punthuk Setumbu atau berfoto dengan relief batu dan patung buddha. Ada lagi satu pilihan berwisata di Candi Borobudur. Perum Perhutani bekerja sama dengan Badan Otoritas Borobudur -BOB membuka obyek wisata baru “De Loano” yang berlokasi di Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo. Kerjasama pengembangan De Loano ini adalah salah satu upaya dalam rangka pengembangan ekoturisme di Perhutani.Obyek wisata dengan nama De Loano ini menghadirkan glamorous camping- glamping atau kemah dengan fasilitas lengkap yang berada di kasawasan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Loano, Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan atau secara administrasi di Desa Sedayu.
Terdapat 11 tenda ekslusif di hutan pinus dengan lahan 309 hektar. Sepuluh tenda khusus untuk tamu menginap dan satu tenda difungsikan sebagai mushola. Menteri Pariwisata, Arief Yahya dalam siaran pers menjelaskan, De Loano merupakan hasil sinergi dalam bentuk kerjasama usaha antara Badan Otoritas Borobudur dan Perhutani. Ke depan harapannya lokasi ini dapat menjadi contoh lokasi wisata dengan konsep Glamping di Indonesia. Saat ini Perhutani tengah mengembangkan bidang ekowisata di antaranya membuka kurang lebih 641 objek wisata hutan. Di kawasan seluas 1,3 hektar yang disebut Borobudur Highland ini juga didirikan restoran dan bioskop luar ruang, spot foto, dan lokasi-lokasi yang nyaman untuk melepas penat. Menteri Pariwisata meresmikan tujuan wisata baru ini pada Kamis, 14 Februari.
De Loano berjarak 13 kilometer dari Candi Borobudur, Magelang. Dapat ditempuh sekitar setengah jam berkendara. Walaupun terletak di kawasan hutan, makanan khas Indonesia seperti lodeh, sayur asem, dan makanan rebusan yang sehat siap untuk disajikan pada pengunjung. Jarak terdekat De Loano dengan Candi Borobudur 18 kilometer. Untuk mendukung De Loano, juga digelar pasar produk lokal di Desa Sedayu, 15 menit dari lokasi glamping.
Pulau Molana, sebuah pulau yang berada di wilayah Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Pulau ini merupakan pulau karang yang mencuat ke permukaan laut dan menjadi daratan yang sangat indah.
Pasir putih yang terhampar disebelah utara bibir pantai di pulau ini mempunyai keunikan karena berpindah sesuai musim angin yang terjadi. Misalnya, pada musim angin timur pantai berpasir akan berada pada sisi sebelah barat. Sedangkan pada musim angin barat pantai berpasir berpindah ke sisi sebelah timur. Pergerakan pasir secara masif ini diperkirakan terjadi karena butiran pasir Pulau Molana sangatlah halus.
Pulau ini tak berpenghuni, memiliki luas sekitar 160 hektar. Pulau Molana sudah dikenal sejak zaman penjajahan Portugis. Di pulau ini terdapat reruntuhan rumah sakit yang dibangun pada masa penjajahan belanda dan konstruksinya dihancurkan saat pendudukan Jepang.
Selain wisata sejarah, Pulau Molana juga menyediakan wisata bahari dengan keindahan bawah laut yang memukau. Lokasi menyelam paling populer di pulau ini adalah di bagian utara dan tenggara, karena terdapat goa bawah laut yang terhubung dengan sumur di tengah pulau.
Pulau Molana merupakan bagian dari kepulauan Lease di Maluku. Cara termudah pergi ke pulau ini adalah dengan meminta awak kapal untuk menjemput anda di Bandara Ambon. Namun, jika anda ingin naik kapal cepat ke Haira, dari Bandara Pattimura Ambon, anda harus berangkat sebelum jam 7 pagi.
Dari bandara anda dapat menggunakan taksi ke Pelabuhan Tulehu dengan menempuh 45 menit perjalanan. Kemudian membeli tiket ferry cepat ke Haira. Ferry dari Tulehu biasanya berangkat sekitar pukul 9 pagi setiap hari. Dari Haira, anda dapat menggunakan speed boat ke Pulau Molana dengan lama perjalanan 20 menit.
Indonesia akan memiliki sirkuit MotoGP pertama pada tahun 2020 di Nusa Tenggara Barat. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, sirkuit tersebut akan dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK Mandalika, Lombok Tengha, Nusa Tenggara Barat. Mandalika adalah kawasan super prioritas untuk mendongkrak jumlah turis asing. Harapannya setelah Sirkuit tersebut selesai dibangun, dapat meningkatkan nilai tambah kawasan tersebut. Sebelumnya, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) mendapat sertifikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pertahanan Nasional pada tahun 2016. Serifikat tersebut digunakan untuk membangun sirkuit balap yang memiliki standar internasional. Arena balap motor kelas dunia ini dijanjikan bakal lebih menantang dan menarik dengan suguhan pemandangan indah gunung dan pantai.
Rencana pembangunan sirkuit itu diawali dengan penandatanganan nota kesepahaman antara ITDC dengan Roadgrip Motorsports UK Ltd dan Mrk1 Consulting, dua perusahaan perancang, pengembang dan operator sirkuit balap motor global, pada 20 Januari 2017. Abdulbar M. Mansoer, selaku Direktur Utama ITDC mengatakan sirkuit di Mandalika akan menjadi satu-satunya sirkuit jalanan di dunia yang memiliki panorama indah laguna, kampung bertenaga surya, lapangan golf, area komersial dan perkotaan, serta Samudra Hindia.
Konsep arena balap tersebut didesain ramah lingkungan atau sirkuit hijau dengan pemandangan sangat indah. Sirkuit tersebut akan dibangun seperti kawasan wisata populer di Bali, Nusa Dua yang asri dan hijau. Di samping lintasan akan ada. Ini kan street sirkuit, jalan biasa yang dijadikan arena balap. Menurut Abdulbar, konsep sirkuit seperti ini sangat berbeda dengan sirkuit berkelas dunia lainnya.
Keindahan Alam Indonesia menjadi sebuah tolak ukur bagi wisatawan mancanegara dan domestik untuk menelusurinya. Indonesia yang merupakan negara kepulauan terdiri dari 17.000 pulau. Masih banyak pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia yang tidak di ketahui oleh wisatawan, salah satunya adalah Pulau Bungin. Pulau ini terletak di Kabupaten Sumbawa. Pulau ini berada 70 kilometer arah barat dari pusat kecamatan Sumbawa besar. Dari daratan utama, Pulau Bungin dapat dijangkau menggunakan perahu motor maupun sebuah jalan buatan.
Desa Pulau Bungin ini disebut sebagai pulau yang terpadat di dunia.Pulau kecil ini dihuni oleh penduduk dari suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan. Hampir tidak dijumpai lahan yang kosong di pulau ini. Setiap tahun pulau yang sangat padat ini terus bertambah luasnya karena adanya reklamasi untuk menampung penambahan keluarga yang baru menikah. Rata-rata di setiap tahunnya, bertambah 100 buah rumah baru di Pulau Bungin. Pulau ini yang memiliki luas 8,5 hektar ini dihuni oleh 3.400 jiwa.
Masyarakat Bungin mayoritas keturunan Suku Bajo, dari Sulawesi, yang dikenal sebagai suku pengembara laut dan penyelam ulung. Sejak bayi, anak-anak Bungin sudah dikenalkan pada dunia bahari melalui Upacara Toyah. Dalam ritual Toyah, bayi dipangku 7 perempuan secara bergantian yang duduk di atas ayunan. Ayunan diibaratkan seperti gelombag lautan yang akan dihadapi sang anak saat besar nanti ketika menjadi pelaut. Asal mula dari suku Bajo menghuni pulau ini adalah ketika pemukiman pertama disana dirintis oleh Palema Mayu, salah seorang dari 6 orang anak raja Selayar, di abad ke-19.
Menurut cerita rakyat yang berkembang, Palema Mayo datang ke Sumbawa sebelum meletusnya gunung Tambora di daratan utama, pada 1812. Saat itu, pulau Bungin yang berpasir putih ini masih kosong dan hanya ditumbuhi pepohonan bakau saja. Meskipun pulau ini relatif kecil, tetapi di sana tersedia 2 buah dermaga, di selatan dan barat. Penyeberangan Alas Bungin cukup ramai. Ada delapan buah perahu Jonson yang menyeberangi Bungin-Alas sejak pagi hari hingga senja. Karena keunikan meluasnya pulau seiring dengan pertambahan rumah penduduk, Bungin menjadi salah satu obyek wisata untuk kabupaten Sumbawa. Setiap Minggu pulau ini dikunjungi wisatawan mancanegara.