11
September

 

VOinews.id- Gempa berkekuatan 6,8 SR yang mengguncang Maroko pada Jumat telah menewaskan 2.012 orang dan melukai 2.059 orang hingga Sabtu, menurut kementerian dalam negeri setempat. Para penyintas di Pegunungan High-Atlas terpaksa bermalam di ruang terbuka. Warga terus mencari kerabat mereka yang tertimbun di lereng gunung. Rumah-rumah hancur dan menara-menara masjid roboh. Marrakesh, kota tua bersejarah di Maroko, juga tidak luput dari kerusakan.

Jarak kota itu dari pusat gempa sekitar 72 km, menurut badan geologi AS USGS. Di Desa Amizmiz dekat episentrum gempa, tim penyelamat menggali reruntuhan bangunan dengan tangan kosong. Puing menutupi jalan-jalan sempit. Di luar sebuah rumah sakit, sekitar 10 jenazah terlihat ditutupi selimut seraya dikelilingi kerabat yang berduka.

"Ketika merasakan guncangan di bawah kaki dan rumah seperti miring, saya buru-buru mengeluarkan anak-anak saya. Tetapi tetangga saya tidak bisa," kata Mohamed Azaw. "Sayangnya, belum ada satu pun anggota keluarga itu yang ditemukan masih hidup. Sang ayah dan anak laki-lakinya ditemukan meninggal, sedangkan sang ibu dan putrinya masih dicari," katanya. Antrean panjang terlihat di luar toko satu-satunya yang buka ketika orang mencari bahan pokok.

Bebatuan besar menutup jalan dari Amizmiz ke desa terdekat. Hampir semua rumah mengalami kerusakan di kawasan Asni, sekitar 40 km selatan Marrakesh, dan para penduduknya terpaksa bermalam di luar. Stok makanan menipis karena atap-atap dapur runtuh, kata warga bernama Mohamed Ouhammo.

Warga lainnya, Montasir Itri, mengatakan pencarian korban masih terus dilakukan. "Tetangga kami tertimbun reruntuhan dan orang-orang berjuang menyelamatkan mereka dengan alat apa pun yang ada di desa," katanya. Desa Tansghart di Ansi terdampak paling parah, menurut pengamatan Reuters. Rumah-rumah di lereng curam hancur karena guncangan. Yang masih berdiri, kehilangan sebagian dindingnya. Dua menara masjid terlihat roboh.

Warga bernama Abdellatif Ait Bella terbaring di tanah dan hampir tak mampu bergerak atau berbicara. Kepalanya dibalut perban karena terkena reruntuhan. "Kami tak punya rumah untuk merawatnya dan tak punya makanan sejak kemarin," kata istrinya, Saida Bodchich. Dia khawatir dengan masa depan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang karena satu-satunya pencari nafkah terluka parah.

"Kami hanya bisa meminta pertolongan pada Tuhan," katanya. Desa itu sudah kehilangan 10 warganya, termasuk dua remaja perempuan, kata seorang penduduk. Guncangan gempa terasa hingga ke Huelva dan Jaen di Spanyol selatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan lebih dari 300 ribu orang di Marrakesh dan sekitarnya terdampak oleh bencana itu.

 

Antara

08
September

 

VOInews.id- Rata-rata harga eceran bensin reguler di Jepang menyentuh rekor tertinggi, yakni 186,5 yen (10 yen = Rp1.038) per liter, tunjuk data dari Kementerian Perindustrian negara tersebut pada Rabu (6/9). Hingga Senin (4/9), rata-rata harga bensin di negara itu naik 0,9 yen dari pekan sebelumnya, membukukan kenaikan selama 16 pekan berturut-turut, menurut Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Perindustrian Jepang.

Kenaikan yang terus berlanjut itu terjadi di tengah peningkatan harga minyak mentah dan pelemahan nilai mata uang yen, serta pemangkasan bertahap subsidi pemerintah Jepang untuk menekan harga bensin sejak Juni.

Mulai Kamis (7/9), pemerintah Jepang akan memperluas program untuk membayar subsidi kepada para pedagang grosir minyak. Sebelumnya, pemerintah Jepang berencana menghentikan program subsidi tersebut, yang dirancang untuk meredam dampak lonjakan harga bensin dan bahan bakar lainnya, pada akhir September, yang akan berdampak lebih lanjut terhadap rumah tangga di tengah kenaikan inflasi.

 

Antara

08
September

 

VOInews.id- ASEAN membutuhkan biaya hingga 3,7 triliun dolar AS atau sekitar Rp56.729 triliun untuk mencapai angka penetrasi energi terbarukan di sektor kelistrikan sebesar 90 persen pada 2050. Angka tersebut berdasarkan studi ASEAN Centre for Energy (ACE) bersama International Renewable Agency (IRENA), kata Direktur Eksekutif ASEAN Centre for Energy Dr Nuki Agya Utama kepada ANTARA di sela-sela Forum Energi Berkelanjutan dan Terbarukan 3.0 (SAREF 3.0) di Kuching, Sarawak, Malaysia, Kamis. Sedangkan untuk membangun interkoneksi jaringan energi listrik terbarukan di regional Asia Tenggara maka ASEAN membutuhkan dana Rp3.000 triliun lebih (dengan nilai tukar 1 dolar AS setara Rp15.332) sampai dengan 2050.

“Biaya untuk APG (ASEAN Power Grid) dan transmisi saja kita butuh 200 miliar dolar AS (sekitar Rp3.066,46 triliun). Untuk transmisinya saja ya,” katanya. Namun jika penetrasi energi terbarukan menjadi 50-65 persen maka, berdasarkan studi ASEAN Energy Outlook 7, kebutuhan biayanya mencapai sekitar 730 juta dolar AS (sekitar Rp11,19 triliun) hingga 850 juta dolar AS (sekitar Rp13,5 triliun) hingga 2050. Kemungkinan sumber pembiayaannya, menurut Nuki, bisa dari “blended finance” hingga “public private partnership”. “Tapi yang paling penting adalah kita harus sadar 80 persen investasi di sektor energi itu dari private (sektor swasta),” ujar dia.

Ia mengatakan negara tidak memiliki kapasitas untuk membiayai itu semua, sehingga pihak swasta secara global yang harus melakukannya. Termasuk sektor perbankan yang mau berinvestasi. “Perbankan perlu sadar ini ada potensi besar, mereka harus datang memberikan tawaran dengan mekanisme-mekanisme yang atraktif,” kata Nuki. Secara alami, menurut dia, perbankan selalu melihat sisi mekanisme risiko sehingga tidak akan menganggap potensi ini dapat diandalkan ketika risikonya terlalu besar.

“Jika melihatnya dengan cara seperti itu sulit berkembang dengan kebutuhan 3,7 triliun (dolar AS) untuk 90 persen pembangkit energi terbarukan, 50-65 persennya saja kita butuh 700-850 juta (dolar AS). Banyak sekali uang yang harus diinvestasikan,” ujar Nuki. Dalam sesi diskusi panel di Sustainability and Renewable Energy Forum 3.0 itu, Pejabat Tertinggi Eksekutif Grup Petronas Tengku Muhammad Taufik juga membahas kurangnya literasi dan pemahaman perbankan soal risiko sektor energi terbarukan, sehingga yang terpikirkan oleh mereka selalu soal ketidakmampuan.

Dari sisi perusahaan yang akan beralih ke sektor energi terbarukan, ia mengatakan tentu juga ingin melihat ada akses perbankan, serta kebijakan dari pemerintah yang membuat proyek transisi energi tersebut menjadi dapat dibiayai oleh perbankan (bankable). Pandangan tersebut juga diamini oleh mantan Sekretaris Eksekutif dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres yang mengatakan cukup tragis bahwa sektor finansial ada di sana, membuat komitmen, tetapi sebenarnya tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Sektor perbankan disebutnya harus sadar bahwa ada grup energi terbarukan yang dapat berfungsi baik. “Jadi singkirkan pertanyaan,’apakah pembangkit listrik tenaga air reliable?' (Jawabannya) Iya!” ujar Christina. Menurut dia, energi yang berasal dari air, geotermal dan hidrogen membutuhkan struktur pembiayaan yang berbeda. Perbankan masih kurang mengeksplorasi apa yang mereka bisa dukung dan hanya terbiasa dengan “one stop shopping” yang seharusnya tidak dapat dilakukan lagi.

Mekanisme risiko ACE, menurut Nuki, sedang mengajak semua pemangku kepentingan mulai dari sektor industri, pemerintahan dan perbankan untuk mendiskusikan mekanisme risiko. Misalnya, memberikan pelatihan kepada industri bagaimana mereka mengajukan proposal untuk proyek energi terbarukan maupun energi efisiensi yang bankable. Green Climate Fund (GCF), ia mengatakan telah memberikan 100 juta dolar AS atau sekitar Rp1,53 triliun sebagai jaminan untuk perbankan mau memberikan pinjaman lunak kepada industri.

“Itu cukup efektif. Bank tertarik dan sepakat untuk berkolaborasi,” kata Nuki. Saat ini, GCF telah mencapai kesepakatan dengan Korean Development Bank (KDB), dan lebih lanjut membahas itu dengan bank lokal di Indonesia untuk mencari industri-industri yang tertarik melakukan efisiensi energi.

“Itu saja ‘benefit’ (keuntungan), paling ‘challenging’ (menantang). Padahal efisiensi energi itu ‘less risk’ (lebih sedikit berisiko). Belum lagi energi terbarukan yang lebih tinggi risikonya,” ujar dia. Dana “jaminan” dari GCF tersebut, menurut Nuki, dapat menjadi “booster” yang cukup signifikan mengajak industri dan perbankan untuk duduk di satu meja untuk kemungkinan mereduksi emisi dan melakukan efisiensi.

 

Antara

07
September

 

VOinews.id- Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-77 pada Selasa (5/9) berakhir dengan seruan untuk melakukan "kerja sama berskala global" dari sang presiden, Csaba Korosi, yang pada hari itu mengakhiri masa jabatannya.

Pada sesi pleno ke-100 dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-77, yang menandai puncak dari sidang tersebut, Korosi yang juga merupakan seorang diplomat senior asal Hongaria, menekankan bahwa "sistem multilateral menuntut kerja sama berskala global, antara negara dan kawasan serta lintas disiplin maupun bidang."

"Mulai dari mengatasi perubahan iklim dan kejahatan siber hingga menghormati hak asasi manusia di dunia maya dan penggunaan kecerdasan buatan (AI), kita harus bersatu dalam pendekatan holistik," imbuhnya. Korosi menekankan bahwa "multilateralisme merupakan satu-satunya pilihan kita untuk mengatasi banyak krisis di dunia."

 

Antara