Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menegaskan komitmen Indonesia dalam menangani limbah padat di laut hingga 70 persen pada 2025.
Komitmen tersebut disampaikan Siti Nurbaya di hadapan 26 duta besar, meliputi 10 duta besar negara anggota ASEAN dan 16 duta besar negara Mitra ASEAN, yang mengikuti kegiatan "ASEAN Coastal Clean Up 2019" di Taman Wisata Alam Mangrove, Angke Kapuk, Jakarta, Sabtu.
Siti Nurbaya mengatakan Indonesia menyadari tantangan ke depan akan lebih besar. Hanya melalui kerja sama atau kolaborasi, masalah-masalah penting ini dapat diatasi. Siti Nurbaya menegaskan, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis dalam penanganan sampah padat di laut, terutama plastik dan telah mengimplementasikan Agenda PBB tahun 2030 untuk pembangunan berkelanjutan.
Menurut dia, komitmen tersebut antara lain mengurangi limbah padat di laut hingga 70 persen pada tahun 2025. Dikatakannya, langkah awal dari komitmen ini, Presiden Joko Widodo, pada 2017, telah menerbitkan Keputusan Presiden tentang Kebijakan Nasional dan Strategi Pengelolaan Sampah. Presiden Joko Widodo juga telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 83 tahun 2018 yang isinya membahas rencana aksi strategis menangani sampah laut dari tahun 2018 hingga 2025.
Siti Nurbaya juga mengatakan, Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi limbah plastik melalui berbagai kegiatan dengan kolaborasi oleh semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, bisnis, masyarakat, telah mengambil inisiatif dan inovasi dalam memerangi masalah ini.
Menteri Siti Nurbaya menjelaskan, selain penguatan di dalam negeri melalui kolaborasi semua pihak, Pemerintah Indonesia juga terlibat aktif mengatasi pencemaran laut dalam kerangka kerja sama internasional.
Untuk memastikan semua komitmen ini, Indonesia telah mendirikan Pusat Kapasitas Regional untuk Laut Bersih (RC3S) di Bali. Pusat ini akan memperkuat pembangunan kapasitas di bidang perlindungan lingkungan laut dari kegiatan berbasis darat.
Sementara itu Sekretaris Jenderal ASEAN, Dato Lim Jock Hoi, yang turut hadir dalam "ASEAN Coastal Clean Up 2019" mengapresiasi Pemerintah Indonesia dalam hal tata kelola sampah dan juga mengapresiasi keseriusan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam melibatkan generasi muda dan komunitas masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan digitalisasi sistem pelaporan penjualan mineral dan batu bara atau minerba, dengan meluncurkan aplikasi Modul Verifikasi Penjualan (MVP).
Direktur Jenderal Mineral Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono dalam keterangan tertulis yang diterima kantor berita Antara, Senin, mengatakan, MVP merupakan salah satu aplikasi pada sektor minerba yang diinisiasi Kementerian ESDM ditujukan untuk meningkatkan akurasi data penjualan mineral yang selama ini masih mengalami simpangsiur.
Menurut Bambang selama ini data-data dari Bea Cukai, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perdagangan berbeda. Oleh sebab itu Direktorat Jenderal Minerba berupaya mensinkronkan data-data tersebut.
Kehadiran aplikasi yang terintegrasi ini diharapkan menghindari interpretasi data yang beragam sehingga meminimalkan persepsi penyelewengan kebijakan. Bambang Gatot Ariyono menambahkan, Modul Verifikasi Penjualan-MPV juga merupakan salah satu upaya Kementerian ESDM meningkatkan pelayanan dan pengawasan kepada pelaku usaha sektor minerba.
Aplikasi MVP merupakan bagian integral dari pelayanan sistem online di sektor minerba sebelumnya, seperti E-Penerimaan Negara Bukan Pajak-PNBP, Minerba One Map Indonesia-MOMI, Minerba One Data-MODI dan Minerba Online Monitoring System-MOMS.
Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, aplikasi tersebut menjadi cikal bakal untuk sistem MVP. Jika suatu perusahaan lewat mengisi salah satu kolom pelaporan, maka ia tidak bisa berproduksi karena tidak mendapatkan Laporan Hasil Produksi.
Secara keseluruhan, melalui Modul Verifikasi Penjualan Mineral, pengawasan kegiatan penjualan mineral dilakukan verifikasi berjenjang mulai dari hulu sampai dengan hilir. Pengawasan dilakukan untuk setiap transaksi serah terima mineral melalui pengawasan online yang mencakup antara lain administrasi asal mineral, kualitas, kuantitas, penerimaan negara bukan pajak serta tujuan penjualan.
Adapun produk dari aplikasi Modul Verifikasi Penjualan ini adalah Laporan Hasil Verifikasi yang dicetak melalui sistem sesuai dengan data-data terkait penjualan yang diisi oleh petugas surveyor untuk setiap transaksi. Aplikasi ini akan mempercepat ketersediaan data transaksi penjualan, mempercepat dan mempermudah perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan royalti final sehingga meminimalkan kurang bayar. Pada saat yang bersamaan, Kementerian ESDM juga meluncurkan aplikasi terhadap pengawasan kegiatan ekplorasi mineral, yaitu Exploration Monitoring System (EMS) dan Exploration Data Warehouse (EDW).
Hari ini adalah hari terakhir pertemuan negara-negara Anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO (North Atlantic Treaty Organization). Seperti terungkap, yang menjadi tema dalam acara resmi NATO kali ini adalah, “NATO Engages: Innovating the Alliance”. Masa depan kerja sama militer di dunia Barat akan menjadi agenda utama dalam pertemuan tersebut. Pada ulang tahunnya yang ke-70, masa depan aliansi militer NATO menjadi pertanyaan besar, bahkan untuk negara anggotanya sendiri.
Kalau kita merujuk pada sejarah pendiriannya, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO berkembang pasca Perang Dingin, terutama karena kekhawatiran akan ekspansi dan agresi Uni Soviet setelah kudeta Partai Komunis di Cekoslovakia, blokade Uni Soviet terhadap Berlin dan insiden-insiden lain. NATO juga dibentuk untuk mencegah kebangkitan militerisme nasionalis dan mendorong integrasi politik di Eropa. Amerika, Kanada, Belgia, Denmark, Perancis, Islandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Portugal dan Inggris menandatangani perjanjian awal pada 4 April 1949. Sejak itu perjanjian keamanan trans-Atlantik meningkat lebih dari dua kali lipat dalam hal keanggotaan dan kemudian secara signifikan mengubah mandatnya. Awalnya NATO dimaksudkan sebagai aliansi politik. Hal ini berubah cepat setelah Uni Soviet meledakan bom atom pada 1949 dan pecahnya Perang Korea pada 1950. Peristiwa itu mendorong anggota-anggota NATO membentuk markas yang terpusat, untuk melakukan pengadaan sumber daya militer bersama dan berkomitmen untuk “menjaga kebebasan, warisan bersama dan peradaban bangsa, berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan individual dan supremasi hukum.” Kini NATO telah berkembang dari semula 12 negara, kini menjadi 29 negara. Sejumlah negara lain kini masih dalam tahap perundingan untuk menjadi anggota aliansi ini. Perluasan anggota pertama pada 1952, dengan menerima Yunani, Turki dan Jerman Barat sebagai anggota dalam aliansi ini. Menanggapi perluasan NATO dan keputusan Jerman Barat, Uni Soviet dan negara-negara di Eropa Timur, pada 1955 membentuk Pakta Warsawa yang beranggotakan delapan negara. Jerman Timur yang juga anggota pakta itu memiliki perjanjian pertahanan tersendiri. Pakta Warsawa ini dibubarkan pada 1991 pasca reunifikasi Jerman dan runtuhnya Tembok Berlin, tetapi NATO masih terus berkembang. Kini seluruh anggota non-Uni Soviet yang pernah menjadi anggota Pakta Warsawa telah menjadi anggota NATO.
NATO dan Pakta Warsawa tidak pernah mengalami bentrokan secara langsung selama Perang Dingin, tetapi aliansi tersebut telah disibukkan dengan keterlibatan militer pasca runtuhnya Uni Soviet. Sekitar 20 ribu personel militer kini terlibat dalam berbagai misi NATO di seluruh dunia; termasuk operasi di Afghanistan, Kosovo dan kawasan Mediterania.
Dengan hilangnya Uni Soviet, tidak ada negara manapun yang mampu untuk berhadapan secara langsung dengan Amerika Serikat, Pada titik ini, seharusnya NATO dibubarkan, namun tidak terjadi. Pertama-tama, musuh baru telah muncul– terorisme, yang menyerang berbagai ibukota dari anggota NATO, memaksa negara-negara anggota NATO untuk saling mendukung. Namun kemudia ide lain muncul dari Jerman, sebuah sistem keamanan militer yang mencakup Rusia harus dibentuk untuk menggantikan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO. Sebuah pertanyaan penting di usia 70 tahun NATO, mau kemana NATO?
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, Duta Besar Teuku Faizasyah, saat membuka kegiatan “International Seminar on Civilian Capacities: Building National Rosters for UN Peacekeeping Operations” di Jakarta, 29 November 2019 menyebut pentingnya peran komponen sipil pada Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB Seperti dilansir kemlu.go.id , Teuku Faizasyah mengatakan komponen tersebut harus terus dijaga untuk menghadapi tantangan-tantangan isu perdamaian pada masa yang akan datang Komponen sipil tersebut dapat memperkuat misi pemeliharaan perdamaian melalui dukungan terhadap upaya pembangunan kelembagaan dan perlindungan warga sipil di daerah konflik
Selain itu / Duta Besar Teuku Faizasyah menjelaskan bahwa peran komponen sipil sangatlah dibutuhkan untuk situasi-situasi tertentu yang tidak bisa ditangani oleh pasukan penjaga perdamaian dari kalangan militer Komponen sipil memberikan sentuhan humanis yang krusial dalam membangun struktur masyarakat pasca konflik Peningkatan kapasitas sipil pada misi pemeliharaan perdamaian dan bina damai pasca konflik juga dapat difokuskan bagi isu-isu seperti pemberdayaan perempuan, penghormatan Hak Asasi Manusia ( HAM ) dan dukungan penegakan hukum oleh pemerintah setempat
Indonesia mengemukakan tiga poin penting untuk mewujudkan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang berdaya-guna dan sesuai dengan kebutuhan PBB saat ini, yakni, pertama, komponen sipil harus menjadi bagian yang penting dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian di suatu Negara. Kedua, peningkatan peranan perempuan; dan ketiga adalah penguatan pelatihan melalui kemitraan global Pemajuan peranan perempuan dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian menjadi poin yang krusial karena perempuan memegang peranan penting dalam pencegahan konflik, manajemen konfik, dan bina damai pasca konflikSementara / peningkatan peran perempuan juga dapat memberi pengaruh positif terhadap perempuan-perempuan lain yang berada di tengah konflik Oleh karena itu menurut Faizasyah pemberdayaan perempuan pada misi perdamaian bukan lagi hanya keperluan / tetapi merupakan keniscayaan, hal tersebut mendukung inklusivitas dan kesetaraan gender
Indonesia telah mengangkat kerja sama terkait peningkatan kapasitas sipil dengan berbagai pihak, di antaranya pembentukan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation dan ASEAN Women for Peace Registry dalam kerangka ASEAN dan konsultasi regional terkait penguatan kapasitas sipil melalui kolaborasi dengan Norwegia Kerja sama tersebut menegaskan keseriusan Indonesia dalam kontribusi terhadap peningkatan kapasitas komponen sipil pada misi pemeliharaan perdamaian dunia
Sebelumnya Direktur Eropa I Kementerian Luar Negeri, Dino R. Kusnadi, menyampaikan bahwa kegiatan “International Seminar on Civilian Capacities: Building National Rosters for UN Peacekeeping Operations” bertujuan untuk membahas penguatan kapasitas komponen sipil Indonesia pada Misi Pemelihara Perdamaian PBB Menurutnya hal itu bagian dari upaya Indonesia memperkuat ekosistem perdamaian internasional, yang merupakan salah satu isu prioritas Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019–2020
Seminar tersebut menghadirkan narasumber dari Kantor Sekretariat PBB di New York, wakil Pemerintah Inggris dan Belgia, Mabes Polri, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dan lembaga think tank Seminar itu merupakan kerja sama Indonesia, Inggris, dan Belgia sebagai sesama anggota Dewan Keamanan PBB dalam upaya berkontribusi nyata pada pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional yang dihadiri para peserta dari Kementerian dan Lembaga terkait, perwakilan asing dari negara-negara yang aktif di bidang misi pemeliharaan perdamaian, akademisi dan lembaga think-tank.