Indonesia Segera Bentuk Regional Capacity Centre for Clean Seas (RC3S). Melalui badan ini, Indonesia serukan kerjasama antar negara dan stakeholder untuk melindungi ekosistem pesisir dan laut dari aktivitas sumber polusi yang berasal dari daratan. Demikian dikatakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya saat memberikan sambutan pembukaan pada acara The Coordinating Body on the Seas of East Asia (COBSEA) Consultation Meeting on the RC3S, di Jakarta, Senin lalu. Melalui pembentukan RC3S ini Menteri Siti Nurbaya meminta kolaborasi dan perluasan dukungan dalam hal kerja sama teknis, narasumber, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan pertukaran pengalaman.
Menteri Siti juga menekankan, untuk mengatasi permasalah terkait perlindungan ekosistem pesisir dan laut dibutuhkan kemampuan/kapasitas yang mumpuni baik secara teknis, organisasi, dan maupun politik. Hal ini mengingat besarnya pengaruh kerusakan lingkungan dari ekosistem pesisir dan lautan, baik dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial.
Keberadaan polusi yang merusak ekosistem pesisir dan lautan memiliki efek merugikan bagi pendapatan masyarakat, terutama mereka yang hidup dari laut, seperti nelayan, industri pariwisata dan jasa transportasi laut. Polusi juga menyebabkan penurunan fungsi lingkungan serta mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati laut.
Menteri Siti menyatakan saat ini secara global, dunia dihadapkan pada tantangan baru dalam masalah lingkungan laut, seperti polusi plastik dan mikro-plastik, polutan yang muncul seperti sisa obat-obatan, limbah endokrin, hormon, racun dan eutrofikasi. Laut dan ekosistem pesisir terancam oleh aktivitas berbasis laut dan darat, dengan hampir 80 persen polusi laut berasal aktivitas manusia yang berbasis di darat.
Inisiatif membangun Regional Capacity Centre for Clean Seas (RC3S) merupakan salah satu realisasi kesepakatan Bali Declaration sebagai hasil pertemuan The Fourth Intergovernmental Review Meeting (IGR-4) di Bali akhir tahun lalu. RC3S sendiri direncanakan akan dilaunching pada 21 Juni 2019 sehari setelah berlangsungnya kegiatan COBSEA 24th Intergovernmental Meeting di Bali 19 dan 20 Juni 2019.
Sementara itu, Jerker Tamelander, Head of UN Environment’s Coral Reef Unit yang hadir berharap, consultation meeting kali ini dapat membantu Indonesia membangun RC3S seperti yang menjadi komitmen Indonesia, yaitu dengan kelengkapan sumber daya yang signifikan seperti ruang perkantoran, jumlah staf tehnikal yang cukup, serta dukungan pendanaan yang jelas.
Pertemuan The Coordinating Body on the Seas of East Asia (COBSEA) Consultation Meeting on the RC3S, pada Senin dan Selasa lalu dihadiri Delegasi dari 8 negara yaitu Indonesia, Kamboja, China, Korea, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Vietnam, serta perwakilan dari UN Environment’s Coral Reef Unit.
Setelah pekan lalu transisi kepemimpinan terjadi di Aljazair, Afrika Utara, kini, terjadi lagi proses sama di kawasan timur Afrika. Kamis (11 April 2019), Presiden Sudan Omar Al Bashir harus menyerahkan kekuasaannya kepada militer. Langkah ini dilakukan setelah unjuk rasa yang digelar oleh rakyat Sudan sejak bulan Desember tahun lalu. Dengan penyerahan kekuasaan itu, rezim Omar al-Bashir yang sudah berkuasa hampir 3 dekade telah berakhir.
Omar al Bashir memerintah setelah menggulingkan pemerintahan terpilih bulan Juni tahun 1989. Dalam masa pemerintahannya, terjadi perpecahan antara Sudan Utara yang mayoritas muslim dan Sudan Selatan yang menganut Nasrani. Pada tahun 2003, al Bashir mencoba meredam pemberontakan dan sekitar 30 ribu orang tewas. Pada tahun 2005, dia menandatangani perjanjian damai dengan pemberontak di Sudan Selatan. 6 kemudian, negara baru Sudan Selatan memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tahun 2009, al Bashir divonis bersalah atas kejahatan perang oleh Pengadilan Internasional yang mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada al Bashir. Uniknya pada tahun 2010, dia terpilih menjadi presiden meski ditentang oleh oposisi. Pada tahun 2015, dia masih terpilih menjadi presiden periode kedua.
Sukacita menyeruak di kalangan yang mengharapkan turunnya pemerintah al Bashir. Tetapi, itu belum menjadi akhir dari perjuangan. Kelompok pengunjuk rasa dibawah organisasi Asosiasi Profesional Sudan (SPA) tetap menggelar unjuk rasa untuk mendorong terbentuknya pemerintahan sipil. Penguasa militer setelah pengambil-alih menetapkan keadaan darurat selama 3 bulan dan membekukan Konstitusi.
Kini dunia berharap agar dalam masa transisi, keadaan menjadi semakin baik dan Pemilihan Umum untuk dapat menentukan pemerintahan sipil dapat terwujud. Masalahnya adalah apakah pihak militer dapat menciptakan suasana kondusif pasca peralihan kekuasaan. Jika tidak, militer akan semakin lama memegang kendali pemerintahan yang pada akhirnya terbentuk rezim militer baru seperti halnya 30 tahun lalu. Kuncinya adalah rakyat Sudan harus bersabar dan militer negeri itu tahu diri bahwa masa depan Sudan ditentukan oleh rakyat Sudan.
Rencana pelarangan penggunaan minyak sawit tahun 2030 oleh Uni Eropa membawa babak baru dalam hubungan dagang ekonomi. Bukan hanya Indonesia, Malaysia dan Kolumbia juga menjadi terusik terkait rencana pelarangan tersebut. Upaya Indonesia untuk memusyawarahkan rencana pelarangan menjadi peninjauan atau pembatalan semakin intensif dilakukan. Perjuangan Indonesia semakin berat menyusul kampanye hitam tentang efek minyak sawit dan isu deforestasi serta penyerapan karbon.
Untuk membahas persoalan itu dengan Uni Eropa,Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution melakukan lawatan resmi ke Brussels, Belgia pada 8-9 April 2019. Kedatangan Menteri Darmin juga bersama negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries untuk melobi Uni Eropa untuk mencabut rencana pelarangan penggunaan minyak sawit. Menteri Darmin Nasution mengatakan Indonesia dan Uni Eropa memliki hubungan saling melengkapi jadi seharusnya semua dapat diselesaikan dengan baik. Namun Darmin menyatakan ada ketidakadilan Uni Eropa dalam menilai produk kelapa sawit Indonesia karena dianggap sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan. Apalagi isu tersebut menjadi Delegated Act kemudian diadopsi Komisi Eropa pada 13 Maret 2019. Ia menilai terjadi diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia.
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guérend. ( baca : vengsang guerang) mengatakan Uni Eropa adalah pasar no 2 untuk ekspor minyak sawit Indonesia setelah India. Selain itu, 2/3 ekspor minyak sawit Indonesia dibebaskan bea pajak. Dubes Vincent Guerand menyatakan Uni Eropa tetap ingin membeli minyak kelapa sawit dari Indonesia namun akan memilih minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Dan Itulah yang sedang dirundingkan.
Adanya Delegated Act yang diadopsi oleh Komisi Eropa memang menjadi pertanyaan buat kita, kenapa hal itu bisa terjadi untuk produk perkebunan Indonesia. Bukan soal tidak mengacu industri yang berkelanjutan, namun diskriminasi yang akan diterapkan oleh Uni Eropa berstandar ganda. Disatu sisi membutuhkan sebagai energi yang ramah lingkungan namun mereka tidak suka perkebunan kelapa sawit dianggap tidak ramah lingkungan karena kelapa sawit tidak menyerap karbon. Juga pembukaan perkebunan kelapa sawit membuat deforestasi.
Sejatinya Uni Eropa banyak belajar apa yang pernah terjadi di tahun 70an ketika negara negara Penghasil minyak terutama dari bangsa Arab, memboikot minyak ke Eropa terkait dukungannya terhadap perang arab Israel. Jika produk sawit dan turunannya menjadi pilihan utama Eropa maka Indonesia dan beberapa negara lainnya akan menjadi penguasa energi dimasa depan .
Setelah kehilangan dukungan di Parlemen mengenai kesepakatannya dengan Uni Eropa, Perdana Menteri Inggris Theresa May, berusaha keras mencari jalan keluar dengaan mendekati Pemimpin Jerman dan Perancis. Hari Rabu 10 April 2019 waktu setempat, Theresa May yang juga tidak berhasil mendapat dukungan partainya sendiri, berusaha melobby Perdana Menteri Jerman dan Presiden Perancis.
Dari kantor Presiden di Paris, diperoleh konfirmasi bahwa Emanuelle Macron bersedia bertemu Theresa May. Sebelumnya di Berlin, Perdana Menteri Inggris yang telah kehilangan dukungan di Parlemen Inggris, telah bertemu Angela Merkel.
Juru bicara Merkel, Steffen Seibert mengatakan, kedua Perdana Menteri telah bertukar pikiran tentang kemungkinan pengunduran batas waktu bagi Inggris keluar dari Brexit. Kepada sejawatnya dari Jerman, Theresa May meminta agar Merkel dapat meyakinkan pemimpin Uni Eropa memberikan perpanjangan waktu yang semula ditetapkan 12 April. Dapat diduga, permintaan yang sama juga akan disampikan Theresa May, ketika bertemu Emanuelle Macron di Paris.
Dari Berlin diperoleh berita bahwa Jerman meminta Inggris untuk menunjukkan langkah langkah substansial menuju penyelseaian kebuntuan politiknya di dalam negeri. Sebelum bertemu Merkel dan Macron, hingga akhir pertemuan di Brussel, para pemimpin Uni Eropa menegaskan tidak akan memberikan perpanjangan waktu bagi Inggris, tanpa adanya agenda yang jelas dari pemerintah maupun parlemen.
Sejauh ini, Theresa May telah kehilangan dukungan di Parlemen, termasuk dari Partai yang dipimpinnya.
Dalam situasi seperti ini, Theresa May harus berusaha sekuat mungkin meyakinkan Presiden Perancis dan Kanselir Jerman bahwa di dalam negeri, ia akan mampu mencari terobosan guna mengakhiri kebuntuan politik. Namun dari Kantor Kanselir Jerman, diperoleh informasi bahwa Jerman belum mendapatkan kejelasan apa langkah langkah substantive yang bakal diambil Theresa May di dalam negerinya.
Jika pada akhirnya pemimpin Uni Eropa memutuskan tetap tidak akan memperpanjang batas waktu keluarnya secara resmi Inggris dari Uni Eropa, maka Inggris harus keluar dari Uni Eropa 12 April tanpa perjanjian sama sekali. Uni Eropa sebelumnya telah sepakat memperpanjang batas waktu bagi Inggris keluar dari Brexit
Jika May gagal mencapai kesepakatan itu, Inggris akan resmi keluar dari Uni Eropa tanggal 12 April tanpa perjanjian sama sekali. Theresa May hanya tinggal mempunyai dua hari hingga 14 April, sebelum pemimpin Eropa mengadakan pertemuan puncak untuk memutuskan nasib Inggris.
Sungguh waktu yang sangat singkat yang akan menentukan masa depan Brexit dan juga karir politik Theresa May sebagai Perdana Menteri Inggris.