Universitas Padjadjaran (Unpad), Jawa Barat (Jabar) terus mengembangkan alat rapid test yang dinamai Deteksi CePAD atau Rapid Test 2.0. Sekretaris Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatika Universitas Padjadjaran (Unpad), Muhammad Yusuf, mengatakan, perbedaan Deteksi CePAD dengan rapid test adalah pada molekul yang dideteksi. Rapid test covid-19 mendeteksi antibodi, sedangkan Deteksi CePAD ini mendeteksi antigen. Alat Deteksi CePAD dapat mendeteksi virus lebih cepat, karena tidak perlu menunggu pembentukan antibodi saat tubuh terinfeksi virus.
Berbeda dengan alat diagnostik cepat Covid-19 lain yang menyasar pemeriksaan antibodi dari sampel darah, alat tes cepat CepAD mampu mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit Covid-19, dari sampel swab pasien. Versi pertama dari prototipe CePAD mampu mendeteksi virus yang ada dalam sampel swab itu maksimal 20 menit dengan menunjukkan dua garis merah dalam alat tes tersebut. Teknologi kunci dari alat deteksi itu, adalah biosensor yang bertugas mendeteksi sampel protein Sars COV-2. Biosensor tersebut dicetak dalam kertas mikroselulosa, kertas dengan ukuran pori yang khusus. Sampel swab dari pasien diteteskan pada alat rapid test. Biosensor pada rapid test tersebut adalah antibodi antigen yang dihasilkan dari ayam yang disuntikkan protein antigen virus. Biosensor tersebut akan mendeteksi reaksi antibodi antigen terhadap protein virus yang ditangkap alat itu dengan hasil berupa tampilan dua garis merah.
Sekretaris Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatika Universitas Padjadjaran (Unpad), mengatakan, antibodi antigen itu relatif akurat untuk dipergunakan sebagai komponen rapid test Covid-19. Seluruh pengujian yang dilakukan pada sampel swab dengan hasil positif lewat uji PCR menghasilkan bacaan dua garis merah pada alat rapid test CePAD, yang menandakan keberadaan virus Sars COV-2 terdeteksi. Alat Deteksi CePAD sedang dalam proses uji prototipe. Co-Founder PT Pakar Biomedika Indonesia, sekaligus Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad, Bachti Alisjahbana, mengatakan, perusahaannya sudah menyiapkan lini produksi untuk alat deteksi antigen hasil riset. Menurut taksirannya, harga jual alat deteksi antigen CePAD itu diperkirakan Rp 100 ribu per unitnya, jauh lebih murah dibandingkan alat rapid test yang saat ini beredar di pasaran yang mayoritas bahan bakunya masih mengandalkan impor.
Desa Colol di Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil kopi. Kini desa ini ditetapkan sebagai desa wisata berbasis kopi. Kopinya dikenal dengan nama Kopi Colol. Kopi Colol sudah terkenal di tingkat Internasional. Kopi ini sudah pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan kemenangan dalam berbagai festival kopi tingkat nasional. Awal mula petani setempat menanam kopi di Colol adalah bibit kopi yang dibawa oleh orang Belanda. Berawal dari Colol kemudian kopi disebarluaskan ke seluruh petani di Manggarai Raya. Saat ini Kopi Colol sudah diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Kampung Colol berada di sebuah lembah berhawa dingin dan tanahnya subur untuk ditanami berbagai jenis tanaman holtikultura. Berwisata ke desa wisata ini, anda bisa menikmati segarnya udara dan asrinya desa wisata ini. Karena merupakan desa wisata berbasis kopi, tentu anda harus menikmati uniknya citra rasa kopi Colol. Anda juga bisa berwisata agrobisnis sekaligus ikut panen kopi bersama petani di Kampung Lembah Colol. Musim panen kopi di wilayah Manggarai Raya biasanya berlangsung dari Juni hingga Agustus.
Tak hanya itu, berwisata ke desa Colol, anda bisa juga menyaksikan dan merasakan tradisi-tradisi masyarakat setempat. Warga masyarakat di Manggarai Timur memiliki tradisi Inung Kopi Pait (minum kopi pahit). Jadi apabila bertamu di rumah-rumah orang Manggarai Timur maka mereka akan menyuguhkan kopi pahit (Inung Kopi Pait). Saat ini petani di Kampung Lembah Colol serta kampung lain di Manggarai Raya sedang musim panen kopi. Memang disarankan berkunjung ke desa wisata ini lebih baik saat musim panen kopi.
VOI WARNA WARNI Tim dosen Program studi Teknik Elektro Fakultas Teknik (FT) UGM mengembangkan alat pengukur suhu tubuh dengan pemindai wajah atau thermal imaging. Tim pengembang thermal imaging, Dr. Igi Ardiyanto menjelaskan, alat ini akan mengukur emisi termal/panas yang dipancarkan oleh objek yakni manusia di depan alat. Selain fitur pengukur suhu tubuh, alat juga dilengkapi fitur pendeteksi wajah dan fitur penggunaan masker.
Dengan alat yang dikembangkan bersama dengan Addyn Suwastono, M.Eng., dan Dr. Eka Firmansyah ini, suhu tubuh manusia dapat diketahui tanpa harus bersentuhan secara fisik atau didekatkan dengan objek. Alat ini mampu mendeteksi suhu tubuh dalam jangkauan hingga 2 meter di depan alat.Pada umumnya penggunaan thermal scanner harus didekatkan pada wajah objek dalam jarak yang sangat dekat. Sementara itu, masyarakat direkomendasikan untuk menjaga jarak minimal 1 meter untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Oleh sebab itu, tim berusaha membuat inovasi alat pengukur suhu tubuh yang dapat mendeteksi suhu dalam batas aman jaga jarak untuk meminimalkan penularan virus. Alat ini bekerja dengan mengukur suhu tubuh berdasar radiasi termal objek, memindai wajah, dan penggunaan masker.
thermal imagine dilengkapi kamera dengan resolusi 160 pixel sehingga memungkinkan secara akurat dan cepat dalam mengukur suhu tubuh. Alat ni dapat diatur tidak hanya untuk mengenali wajah saja. Namun, alat ini juga bisa mendeteksi penggunaan masker. Apabila objek terdeteksi tidak memakai masker maka akses masuk ke ruangan akan langsung ditolak.
Pengembangan alat ini disebutkan sebagai persiapan memasuki tatanan kenormalan baru, khususnya di kampus UGM. Dengan alat ini diharapkan dapat membantu dalam mengukur suhu tubuh sebagai bagian upaya mencegah penularan Covid-19 di lingkungan kampus. (VOI)
VOI PESONA INDONESIA Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana yang terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa yang asli terletak di atas bukit Batu Patah dan dibakar habis pada tahun 1804 oleh kaum paderi yang kala itu memerangi para bangsawan dan kaum adat. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966. Istana tersebut dibangun lagi pada tahun 1976 sebagai replika dari istana Pagaruyung asli. Istana tersebut dibangun setelah pemberantasan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958, yang berpusat di Sumatra Barat.
Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976 oleh Gubernur Sumatra Barat waktu itu, Harun Zain. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah selatannya. Pada akhir 1970-an, istana ini telah bisa dikunjungi oleh umum. Setelah selesai dibangun, istana menjadi dikenal publik sebagai tempat kunjungan wisata dan museum. Istana ini tidak dibangun pada situs aslinya tetapi berpindah ke sebelah selatan dari situs aslinya. Istano Basa ini berjarak lebih kurang 5 kilometer dari pusat kota Batusangkar. Istana ini merupakan objek wisata budaya yang terkenal di Sumatra Barat.
Istana Pagaruyung asli dibangun seluruhnya dengan batang-batang kayu. Namun, bangunan yang terbaru dibangun dengan struktur beton modern. Istano Basa Pagaruyuang dibangun dengan mempertahankan teknik tradisional dan material kayu yang dihias dengan 60 ukiran yang menjelaskan filosofi dan budaya Minangkabau. Istana ini memiliki tiga lantai dengan 72 tiang dan gonjong sebagaimana pada umumnya Rumah Gadang, yang dilengkungkan serupa tanduk dari 26 ton serat ijuk. Istana ini juga dilengkapi dengan lebih dari 100 replika furnitur dan artefak antik Minang, yang bertujuan agar istana dihidupkan kembali sebagai pusat budaya Minangkabau serta objek wisata di Sumatera Barat.