Suprapto

Suprapto

23
April

untuk menduniakan kuliner Indonesia, sebuah ajang bernama Ubud Food Festival (UFF) digelar tanggal 26 hingga 28 April di Ubud, Bali. Menurut Founder & Director UFF Janet DeNeefe, dengan tema 'Spice Up the World', Ubud Food Festival 2019 ingin menunjukkan kepada para pecinta kuliner di seluruh dunia bahwa sudah waktunya mereka menambahkan beberapa hidangan Indonesia ke dalam daftar favorit mereka, dan melalui festival tahun ini, mereka juga bisa belajar sesuatu tentang Indonesia.  Lebih dari 100 pembicara yang terdiri dari chef, ahli gastronomi, pelaku industri kuliner baik nasional maupun internasional akan memeriahkan festival kuliner yang mengangkat makanan Indonesia ini.

 

Ubud Food Festival 2019 menghadirkan program berbayar dan program tidak berbayar. Program berbayar di antaranya Kitchen Stage di Indus Restaurant, acara spesial Masterclasses dan Food Tours, Kids Events, dan Celebrate Indonesian Food. Adapun program yang gratis ada di Festival Hub di Taman Kuliner, Jalan Raya Sanggingan, Ubud.

Di sana terdapat 70 kios yang terdiri dari makanan, minuman, kerajinan, sampai alat masak. Anda akan menemukan berbagai hidangan khas Nusantara. Ada makanan dari Aceh, Ternate, Manado, dan Bali. Selain kuliner domestik, hidangan mancanegara terutama dari kawasan Asia juga tersedia, misalnya makanan khas Thailand dan Korea. Festival Hub Taman Kuliner terbuka untuk umum. Di sini terdapat enam kategori untuk program gratis, yaitu Food for Thought, Quick Bites, Teater Kuliner, Kids Events, pemutaran film, dan pertunjukan musik.

 

Ubud Food Festival 2019 membawa program baru bernama Quick Bites. Quick Bites merupakan sebuah sesi presentasi selama 20 menit dari satu pembicara mengenai topik tertentu. Setiap hari, pengunjung Ubud Food Festival dapat menyimak Quick Bites yang menyajikan beragam topik mulai dari gerakan Slow Food, makanan fermentasi dari Indonesia, buah-buahan asal Bali yang mulai langka, komunitas pertanian, dan lainnya. Ada juga sesi 'Waste Not Want Not' yang akan membahas tentang limbah makanan dan kedaulatan pangan bersama para ahli, seperti Aretha Aprilia dan Murdijati Gardjito. Kemudian sesi 'Reality Bites' yang akan menguak fakta di balik tayangan televisi sesuai realitas (reality TV) bersama para figur dunia kuliner yang kerap muncul di layar kaca. Mereka di antaranya, peserta final MasterChef Australia 2017 Ben Ungermann, pemandu acara Asian Food Channel Rinrin Marinka, dan juru masak dari restoran bintang Michelin bernama Le Du di Bangkok Thitid Tassanakajohn (Chef Ton).

23
April

Pontianak, ibukota Kalimantan Barat ini menjadi salah satu tujuan wisata utama di pulau Kalimantan. Di kota ini tak hanya dikenal akan keindahan alamnya tapi juga menjadi surga wisata kuliner. Ada bubur pedas yang bisa anda nikmati sebagai menu sarapan. Ada pula kuliner lezat seperti Chai Kue yang bisa anda cicipi. Kuliner bernama Chai Kue ini mirip dengan pangsit, namun ukurannya lebih kecil dan kulit pelapisnya lebih tipis ,lembut dengan warna yang lebih putih.

Chai kue merupakan kuliner peranakan khas Pontianak. Chai kue terbuat dari tepung beras dan maizena. Adonan awalnya berbentuk bola besar, kemudian digilas dan dicetak berbentuk lingkaran. Setiap lembar kulit diisi dengan beragam isian, seperti kucai, rebung, daging ayam, daging sapi, atau udang, kemudian dilipat dan ditekan rapat pada bagian pinggirnya. Adonan ini kemudian dikukus diatas loyang beralaskan daun pisang. Sebelum dikukus, Chai Kue diolesi minyak kelapa terlebih dahulu, agar tidak lengket pada daun pisang.

Setelah dikeluarkan dari kukusan, permukaan chai kue diolesi dengan minyak bawang yang terbuat dari minyak kelapa dengan tumisan bawang putih. Bawang putih goreng nya dipakai untuk hiasan di bagian atas kue. Sebenarnya selain dikukus, Chai Kue juga bisa digoreng atau dibakar. Chai Kue biasanya disantap dengan sambal jeruk yang memiliki rasa pedas dan sedikit asam. Bisa juga disantap dengan campuran saus tiram dan kecap ikan. Sebagai kuliner yang tergolong populer di Pontianak, tentu saja sangat lah mudah menjumpai Chai Kue di toko makanan. Harga Chai kue tidaklah mahal hanya sekitar Rp. 10.000 hingga Rp. 15.000 per porsi.

22
April

Prestasi tingkat internasional berhasil diukir oleh tiga orang mahasiswa Institut Teknologi Bandung dalam LSI Design Contest yang dilaksanakan pada tanggal 8 Maret 2019 di University of Ryukyus, Okinawa, Jepang. Ketiga berasal dari jurusan Teknik Elektro 2015 pada Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB. LSI atau Large Scale Integrated Design Competition adalah perlombaan tahunan yang rutin diikuti oleh mahasiswa Teknik Elektro karena merupakan salah satu prasyarat dalam mata kuliah VLSI. 

Dalam mata kuliah VLSI, mahasiswa diharuskan untuk membuat desain chip secara umum dan kemudian membuat laporan yang akan dikirim untuk seleksi LSI Design Contest. Ketika pembuatan laporan, mahasiswa dibimbing oleh Prof. Trio Adiono ST, MT, Ph.D selaku dosen pengajar mata kuliah VLSI. Tahun ini, LSI Design Contest mengangkat tema mengenai “Deep Learning” dan peserta yang tergabung dalam kontes ini tidak hanya berasal dari Jepang, namun juga dari Indonesia, Korea, Vietnam, dan negara lain di Asia dengan jumlah pendaftar lebih dari 100 orang. Ketika diwawancara oleh Reporter Humas ITB, Teresia menjelaskan mengenai tahapan yang harus di lalui hingga akhirnya mereka dapat lolos ke Okinawa. Pertama, tim membuat laporan berisi desain chip yang akan digunakan untuk teknologi Artifical Intelligence  sebagai aplikasi dari deep learning itu sendiri.

Tim dari ITB sendiri mendapatkan gelar 1st runner up, satu-satunya tim yang berasal dari Indonesia dan berhasil mengalahkan tim dari Vietnam, Thailand, dan negara lain di Asia. Menurut salah satu anggota kelompok Yashael, tim ITB dapat unggul dibandingkan tim dari negara lain karena desain yang mereka buat sangat potensial untuk diaplikasikan langsung dalam teknologi Artifisial Inteligence. Dari perlombaan tersebut, ketiganya berpesan kepada mahasiswa lain untuk jangan takut gagal dalam mencoba sesuatu, termasuk mengikuti sebuah lomba. 

 

22
April

Museum Pusaka Nias adalah sebuah museum swasta dan satu-satunya yang terdapat di Kepulauan Nias. Pengunjung museum akan mendapatkan gambaran lengkap tentang warisan budaya Nias, yang sangat unik dan beragam. Museum Pusaka Nias yang terletak di Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, saat ini menyimpan koleksi lebih dari 6.000 artefak. Koleksi tersebut berasal antara lain dari pribadi (perorangan), yayasan, pemerintah, bahkan dari museum luar negeri seperti Belanda, Jerman.

Museum ini diakui sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia. Pada tahun 2014 pendirinya menerima penghargaan sebagai "Pelestari Cagar Budaya dan Museum Terbaik" dari Kementerian Pendidikan dan Budaya Republik Indonesia.Museum ini dijadikan basis untuk kegiatan pelestarian budaya Nias, mulai dari pengumpulan berbagai artefak budaya Nias, hingga pada pameran artefak, penelitian, penerbitan buku budaya Nias, pengelolaan perpustakaan, penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan budaya, pendokumentasian visual dan audiovisual, mempromosikan potensi destinasi pariwisata di Kepulauan Nias, dan lain sebagainya.

Museum adalah daya tarik wisata utama di Gunungsitoli dan anda dapat menghabiskan beberapa jam di sini. Museum Pusaka Nias memiliki koleksi sebagian besar benda-benda yang berkaitan dengan budaya dan sejarah Nias. Pameran museum ini menampilkan benda-benda yang penting dari koleksi dan bertempat di empat paviliun besar. Pameran ini terbuka untuk umum setiap hari dan menawarkan pengenalan secara mendalam terhadap budaya asli dan sejarah Pulau Nias.

Museum Pusaka Nias terletak di pinggir laut, berhadapan dengan Samudera Indonesia, 20 Km dari Bandar Udara Binaka dan hanya 750 meter dari Pelabuhan Angin. Gunungsitoli merupakan pintu gerbang ke Pulau Nias. Bandara Binaka berjarak 15 km dari kota ini yang dapat Anda capai dengan beberapa rute yaitu melalui Kota Medan. Dari Medan tersedia penerbangan dengan Merpati dan SMAC. Setiap harinya setidaknya ada dua penerbangan, pagi dan siang. Tarifnya berkisar Rp 500.000.