Akbar

Akbar

25
May


(voinews.id)Kementerian Investasi/BKPM akan mempromosikan keindahan tanah Papua lewat acara Indonesia Night di Davos, Swiss, Selasa malam waktu setempat yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Paviliun Indonesia di Davos.

“Kenapa Papua? Karena masa depan Indonesia itu di Timur. Masa depan Indonesia termasuk di Papua. Alamnya masih sangat bagus, hutannya bagus. Punya kekayaan tambang, perikanan yang ini kalau kita kelola dengan pendekatan industri hijau dan Energi Baru Terbarukan (EBT),” kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahalia saat konferensi pers di Paviliun Indonesia di Davos, Swiss, Selasa siang waktu setempat.

Indonesia Night juga akan menampilkan berbagai tarian tradisional, serta lagu-lagu daerah dari berbagai wilayah di Nusantara.

Gelaran tersebut akan dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintah, pemimpin bisnis, dan tokoh-tokoh Indonesia lainnya. Indonesia Night adalah kegiatan yang menghadirkan budaya, hiburan, kuliner, serta sebagai sarana untuk menjalin konektivitas dan peluang bisnis di Indonesia.

Menurut Bahlil, penyelenggaraan Paviliun Indonesia dan Indonesia Night akan menjadi sebuah momentum yang baik bagi Indonesia ke depan. Saat ini, global sedang membutuhkan produk yang tidak berproses melalui EBT.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera beradaptasi dengan kondisi ini, dan Indonesia masih memiliki wilayah-wilayah yang memiliki potensi tersebut, termasuk di Papua.

Indonesia Night ini akan dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Perekenomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Menteri Komunikasi dan Informatika Johny Plate, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Menteri ESDM Arifin Tarrif, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.

Selanjutnya, Duta besar RI untuk Swiss Muliaman Dharmansyah, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, serta Founder and Executive Chairman of the World Economic Forum (WEF) Prof. Klaus Schwab. Selain itu juga akan dimeriahkan oleh penampilan dari Novia Bachmid, Edo Kondologit, serta EKI Dance Company.

 

antara

24
May


(voinews.id)Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan Presiden Vladimir Putin adalah satu-satunya pejabat Rusia yang bersedia ia temui untuk mendiskusikan upaya mengakhiri perang.

Berbicara melalui tautan video kepada peserta World Economic Forum di Davos pada Senin (23/5), Zelenskiy juga mengatakan bahwa mengatur setiap pembicaraan dengan Rusia menjadi lebih sulit mengingat apa yang dia katakan sebagai bukti tindakan Rusia terhadap warga sipil di bawah pendudukan.

"Presiden Federasi Rusia yang memutuskan semuanya. Jika kita berbicara tentang mengakhiri perang ini tanpa dia secara pribadi, keputusan itu tidak dapat diambil," kata Zelenskiy melalui seorang penerjemah.

Sementara itu, Rusia membantah menargetkan warga sipil dalam apa yang disebutnya "operasi khusus" untuk menurunkan kemampuan militer Ukraina.

Zelenskiy mengatakan penemuan pembunuhan massal di daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan Rusia pada awal perang, khususnya di luar Kiev, membuat lebih sulit untuk mengatur pembicaraan dan dia akan mengesampingkan diskusi dengan pejabat lain.

"Saya tidak bisa menerima pertemuan apa pun dengan siapa pun yang datang dari Federasi Rusia selain presiden. Dan hanya dalam kasus ketika ada satu isu yang jelas: menghentikan perang. Tidak ada alasan untuk pertemuan lain," ujar dia.

Perunding Rusia dan Ukraina telah mengadakan pembicaraan sejak pasukan Rusia menyerbu Ukraina pada akhir Februari, tetapi kedua belah pihak mengatakan pembicaraan terhenti.

Zelenskiy mengatakan kepada televisi Ukraina pekan lalu bahwa tidak mungkin menghentikan perang tanpa melibatkan semacam diplomasi.

Dalam sambutannya kepada hadirin di Davos, Zelenskiy juga mengatakan bahwa perang harus dibayar mahal dengan banyak nyawa di pihak Ukraina.

Pasukan negara itu menunjukkan kemajuan, terutama di dekat kota kedua Kharkiv, tetapi situasi paling berdarah tetap ada di Donbas, di mana Ukraina kehilangan terlalu banyak orang.

Dia menambahkan bahwa setiap gagasan untuk memulihkan secara paksa semenanjung Krimea, yang direbut dan dianeksasi oleh Rusia pada tahun 2014, akan menyebabkan ratusan ribu korban.

Sumber: Reuters

24
May


(voinews.id)Rapat Paripurna DPR pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021—2022 menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi undang-undang.

"Apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Ketua DPR RI Puan Maharani, kemudian yang dijawab "setuju" oleh pada anggota dewan di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI M. Nurdin dalam laporannya mengatakan bahwa hasil pembahasan RUU PPP telah menyepakati 19 angka perubahan.

Nurdin menjelaskan bahwa perubahan itu terkait dengan penjelasan Pasal 5 huruf g yang mengatur mengenai penjelasan asas keterbukaan, perubahan Pasal 9 mengatur mengenai penanganan pengujian peraturan perundang-undangan.

Penambahan Bagian Ketujuh dalam Bab IV UU PPP. Penambahan Pasal 42A yang mengatur mengenai perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus.

Perubahan Pasal 49 mengatur mengenai pembahasan RUU beserta daftar inventarisasi masalah (DIM). Perubahan Pasal 58 mengatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas rancangan peraturan daerah.

Perubahan Pasal 64 mengatur mengenai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus. Perubahan Pasal 72 mengatur mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun belum disampaikan kepada Presiden.

 

antara

24
May


(voinews.id)Korea Utara menyatakan tidak ada kematian baru di antara pasien demam di negara itu dan mencatat tren penurunan yang "stabil" dalam kasus-kasus terkait pandemi.

Gelombang COVID-19, yang diumumkan Korut pertama kalinya pada 12 Mei lalu, telah memicu kekhawatiran akan kurangnya vaksin, infrastruktur medis yang tidak memadai, dan potensi krisis pangan di negara berpenduduk 25 juta jiwa itu.

Namun, Korut mengatakan bahwa pihaknya "berhasil" membendung penyebaran virus, dan bahwa tidak ada kematian baru akibat demam yang dilaporkan pada Senin malam (23/5) meskipun mencatat 134.510 pasien baru.

Berdasarkan laporan kantor berita resmi KCNA, untuk ketiga kalinya selama berturut-turut infeksi harian tetap di bawah 200.000 kasus dan untuk pertama kalinya Korut melaporkan tidak ada kematian baru sejak mengumumkan jumlah harian pasien demam.

Karena kurangnya pasokan alat uji, Korut belum mengonfirmasi jumlah total orang yang dites positif COVID-19. Sebaliknya, negara itu melaporkan jumlah orang dengan gejala demam.

Jumlah total kasus tersebut, yang dihitung sejak akhir April, naik menjadi 2,95 juta, sementara jumlah kematian mencapai 68, menurut KCNA.

"Dalam beberapa hari setelah sistem pencegahan epidemi darurat maksimum diaktifkan, tingkat morbiditas dan mortalitas secara nasional telah menurun secara drastis dan jumlah orang yang pulih meningkat, sehingga secara efektif membatasi dan mengendalikan penyebaran penyakit pandemi dan mempertahankan situasi stabil," kata KCNA.

Namun, banyak analis meragukan kredibilitas data Korut. Mereka mengatakan angka-angka itu hanya menunjukkan betapa sulitnya menilai skala sebenarnya dari gelombang COVID-19 di negara yang terisolasi itu.

"Melalui pengujian yang tidak memadai, disinsentif di tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melaporkan wabah serius, kasus, kematian, dan motivasi politik apa pun yang mungkin disembunyikan pejabat di atasnya, kita memiliki statistik yang pada dasarnya tidak masuk akal," tulis Christopher Green, spesialis Korea di Universitas Leiden di Belanda, di Twitter.

Korut mengatakan pihak berwenang mendistribusikan makanan dan obat-obatan di seluruh negeri. Petugas medis militer dikerahkan untuk membantu mendistribusikan obat-obatan dan melakukan pemeriksaan kesehatan.

KCNA juga mengatakan Korut sedang meningkatkan produksi obat-obatan esensial, meskipun tidak merinci obat jenis apa yang sedang diproduksi.

Korea Selatan dan Amerika Serikat telah menawarkan bantuan kepada Korut untuk memerangi pandemi, termasuk dengan vaksin, tetapi Pyongyang belum menanggapi tawaran itu.

"Secara statistik, pengumuman harian hampir tidak sebanding dengan standar internasional dan tampaknya lebih ditujukan untuk warga di negara itu," kata Moon Jin-soo, seorang profesor di Seoul National University College of Medicine, mengacu pada tingkat kematian 0,002 persen yang dilaporkan Korut.

Badan mata-mata Korsel sebelumnya mengatakan kepada anggota parlemen bahwa angka harian yang diumumkan oleh Korut tampaknya mencakup pasien non-COVID-19 karena sejumlah penyakit yang ditularkan melalui air sudah menyebar luas di negara itu sebelum mengumumkan wabah virus corona.

Sumber: Reuters