VOInews.id, Naypyidaw:Junta militer Myanmar semakin meningkatkan serangan brutal terhadap desa-desa yang dikuasai kelompok oposisi. Mereka melakukan tindakan kejam seperti pemenggalan, pemerkosaan massal, dan penyiksaan, dilansir dari AP News, Senin (25/11/2024). Perempuan, anak-anak, dan lansia menjadi korban utama dalam serangan ini. Pelapor khusus PBB, Thomas Andrews, menyatakan bahwa tindakan ini merupakan respons junta terhadap kekalahan militer dan kehilangan wilayah.
Junta menggunakan senjata canggih untuk menyerang warga sipil dan menghancurkan kota-kota yang tidak dapat mereka kendalikan. Menurut Andrews, Myanmar kini menghadapi "krisis yang tak terlihat" karena perhatian dunia lebih terfokus pada isu lain. Kekejaman ini didukung oleh beberapa negara yang memungkinkan transfer senjata, bahan bakar jet, dan dukungan lainnya ke junta. Namun, Singapura dipuji karena berhasil mengurangi transfer senjata hingga 90% melalui kebijakan ketat. Sementara itu, sanksi dari Amerika Serikat terhadap bank milik junta telah mengganggu rantai pasokan militer Myanmar. Andrews mendesak negara-negara lain menghentikan aliran senjata, meningkatkan bantuan kemanusiaan, dan mendorong akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia.
Junta telah menewaskan lebih dari 5.800 warga sipil, menghancurkan lebih dari 100.000 rumah, dan menahan lebih dari 21.000 tahanan politik. Laporan menyebutkan pasukan junta juga melakukan pembunuhan massal, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembakaran jenazah. Situasi paling kritis terjadi di negara bagian Rakhine, di mana kelompok Arakan Army (AA) telah menguasai lebih dari separuh wilayah. AA yang memerangi junta untuk memperoleh otonomi, juga dituduh melakukan pelanggaran HAM, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual. Junta merespons dengan meningkatkan ketegangan antara komunitas etnis Rakhine dan Rohingya.
Ribuan pria Rohingya dilaporkan dipaksa untuk bertempur melawan AA di garis depan. Kelompok militan Rohingya yang bersekutu dengan junta juga dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Rakhine. Ratusan ribu warga di Rakhine kini terputus dari bantuan kemanusiaan dan menghadapi ancaman kelaparan, penyakit, serta kematian. Andrews mendesak Sekretaris Jenderal PBB untuk segera memobilisasi sumber daya global guna menyelamatkan warga dan mengalihkan perhatian dunia ke krisis ini. Ia menegaskan bahwa tindakan segera sangat diperlukan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut.
RRI.co.id
VOInews.id,Jakarta: Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Eropa Raya dengan tegas menyampaikan dukungannya terhadap langkah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant.
Dilansir dari KAHMI Eropa Raya, Sabtu (23/11/2024), perang Israel-Palestina yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 telah memberikan dampak korban jiwa serangan Israel ke Jalur Gaza, menembus lebih dari 44 ribu jiwa. Konflik berkepanjangan ini telah berdampak juga pada anak-anak sebagai korban. Hampir separuh korban tewas atas serangan Israel di Jalur Gaza adalah anak-anak.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis hari ini, KAHMI Eropa Raya menegaskan bahwa keputusan ICC adalah langkah maju dalam menegakkan keadilan global. Surat perintah penangkapan ini menunjukkan komitmen dunia internasional untuk mengadili pelaku kejahatan perang tanpa pandang bulu, terlepas dari jabatan maupun kekuasaan politik yang mereka miliki.
Pernyataan Sikap KAHMI Eropa Raya:
1.Dukungan Penuh terhadap ICC: Keputusan ICC dianggap sebagai bentuk nyata penegakan hukum internasional untuk menghadirkan keadilan bagi para korban kejahatan perang.
2.Kecaman terhadap Kejahatan Perang: Netanyahu dan Gallant dituduh bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk penghancuran infrastruktur sipil dan pembunuhan massal warga Palestina yang tak bersenjata.
3.Penegasan Amanat UUD 1945: KAHMI Eropa Raya mengingatkan pentingnya semangat Pembukaan UUD 1945 untuk mendukung perdamaian dunia dan menolak segala bentuk penjajahan, termasuk di Palestina.
4.Seruan Solidaritas Global: Seluruh negara dan organisasi internasional diimbau untuk mendukung langkah ICC demi mewujudkan perdamaian dunia yang adil.
5.Mendorong kepada Pemerintah Indonesia: Pemerintah Indonesia diminta bersikap tegas dalam mendukung langkah hukum internasional terhadap kejahatan perang, sebagai bentuk komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan supremasi hukum.
“Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perang adalah langkah esensial untuk memastikan terciptanya perdamaian dunia yang sejati,” ungkap Choirul Anam, Ph.D, Ketua Umum KAHMI Eropa Raya.
Melalui pernyataan ini, KAHMI Eropa Raya juga menegaskan pentingnya peran aktif masyarakat internasional dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina dan mendukung upaya menciptakan perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah.
KAHMI Eropa Raya
VOInews.id, Ankara:Pemerintah Australia mengumumkan bahwa mereka membatalkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan mewajibkan perusahaan media sosial untuk mengatur misinformasi dan disinformasi di platform mereka. Dalam sebuah pernyataan pada Minggu, Menteri Komunikasi Australia Michelle Rowland mengumumkan bahwa undang-undang tersebut tidak akan dilanjutkan karena tidak ada "jalan keluar" di Senat, lapor penyiar lokal SBS News.
Jika disahkan, undang-undang yang kini dibatalkan tersebut akan memberikan wewenang kepada Otoritas Komunikasi dan Media Australia (ACMA) untuk memantau platform digital serta mengharuskan mereka untuk menyimpan catatan tentang misinformasi dan disinformasi di jaringan mereka. Namun, koalisi oposisi, Partai Hijau, dan beberapa senator independen menolak rancangan undang-undang tersebut, sehingga tidak ada jalan bagi Partai Buruh yang berkuasa untuk memperoleh mayoritas suara yang diperlukan.
Secara terpisah, larangan anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk mengakses media sosial yang bertujuan mengatasi bahaya daring di kalangan anak di bawah umur, diperkirakan akan disahkan di parlemen dengan dukungan dari oposisi pada minggu depan. Perusahaan teknologi dan kelompok hak asasi manusia juga menentang larangan media sosial secara menyeluruh dengan menekankan bahwa seharusnya berfokus pada penciptaan pengalaman online yang aman, bukan dengan mencabut akses ke beberapa manfaat positif yang ada.
Sumber : Anadolu
VOInews.id, Jakarta:Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pemenuhan hak-hak anak belum menjadi prioritas dan visi-misi para calon kepala daerah, baik itu calon gubernur/wakil gubernur, maupun bupati/wali kota dan wakilnya dalam Pilkada serentak 2024. "KPAI mengamati puluhan debat publik calon kepala daerah (cakada) dan calon wakil kepala daerah (cawakada) yang disiarkan di berbagai media, dan mencermati absennya perhatian yang sungguh-sungguh kepada pemenuhan hak anak secara menyeluruh," kata Anggota KPAI Sylvana Maria Apituley saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Padahal terdapat sejumlah hak anak yang memerlukan komitmen dan keberpihakan politik yang kuat, yang meliputi hak anak atas identitas berupa akte lahir dan kartu identitas anak, hak atas pendidikan dan layanan kesehatan fisik dan mental yang terjangkau dan berkualitas, hak atas pengasuhan yang berperspektif kepentingan terbaik bagi anak, hingga hak untuk berpartisipasi dan bertumbuh kembang tanpa diskriminasi dan kekerasan.
"Dengan minimnya sosialisasi Pemilu yang berperspektif hak anak, baik oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan partai politik maupun oleh pasangan calon (paslon) dan tim suksesnya, kami menyayangkan bahwa isu anak belum menjadi prioritas bagi calon-calon kepala daerah," kata Sylvana Apituley. Pihaknya mencatat kasus-kasus eksploitasi anak selama masa kampanye Pilkada masih terus terjadi. Dalam catatan KPAI, tak kurang dari 165 anak menjadi korban eksploitasi politik, baik yang diberitakan di media, maupun yang dilaporkan langsung oleh masyarakat dan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) kepada KPAI, antara lain kasus di Bantaeng, Biak, Medan, Sukabumi, Sulawesi Tengah, dan Tasikmalaya.
"Sebagai lembaga HAM anak nasional independen yang menjalankan mandat pengawasan pemenuhan hak anak, kami mengamati secara mendalam. Kami khawatir, cita-cita Indonesia Layak Anak tahun 2030 maupun misi membentuk generasi emas untuk Indonesia Emas 2045 berpotensi terhambat atau bahkan akan gagal, jika situasi ini tidak disikapi secara serius," kata Sylvana Apituley.
Antara