Andy Romdoni

Andy Romdoni

20
December

Jakarta (voinews.id) : Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyampaikan tiga fokus utama yang diperlukan untuk mengatasi tantangan hak asasi manusia yang terjadi saat ini. Menurutnya, dunia sedang bergejolak dengan krisis berkelanjutan yang memperparah tantangan hak asasi manusia, termasuk di kawasan Asia-Pasifik.

“Dalam menghadapi situasi global yang sulit kita harus selalu membela HAM,” katanya dalam pembukaan Regional Conversation on Human Rights (RCHR) yang diikuti secara virtual, Selasa (20/12) dari Jakarta.

Hal pertama yang disampaikan Menlu Retno adalah memperkuat lembaga HAM. Menurutnya, lembaga HAM adalah garis pertahanan terdepan untuk melindungi HAM.

“Lembaga HAM nasional harus memastikan implementasi efektif dari standar HAM internasional di dalam negeri dan membina masyarakat berdasarkan penghormatan terhadap HAM,” katanya.

Kedua, penanganan terhadap isu HAM yang paling mendesak. Menurut Retno Marsudi, hal ini tidak berarti satu hak lebih lebih penting dari yang lain.

“Tetapi kita harus memfokuskan upaya kita untuk memastikannya dapat berdampak,” katanya.

Selain itu, isu pangan juga menjadi salah satu fokus HAM saat ini. Menurutnya isu pangan membutuhkan perhatian dunia terutama dalam menghadapi ancaman krisis pangan.

Hal ketiga yang menjadi perhatian Menteri Retno adalah peningkatan kerjasama HAM. Ia mengatakan, di tingkat nasional, pemerintah dan masyarakat sipil harus berada di garis terdepan perlindungan HAM. Sementara di tingkat internasional, politisasi HAM, standar ganda dan penamaan yang mempermalukan harus dihindari.

“HAM berfungsi untuk melindungi martabat manusia bukan mengintensifkan persaingan geopolitik,” katanya.

Forum RHCR diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia sekaligus mengakhiri keanggotaan Indonesia di Dewan HAM PBB periode 2020-2022.

12
December

Jakarta (voinews.id) : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI bersama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengadakan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

"Pertama bahwa setelah 77 Indonesia merdeka, Indonesia akhirnya memiliki KUHP nasional," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej dalam jumpa pers, Senin (12/12) di Gedung Kementerian Luar Negeri RI, di Jakarta.

Edward Omar mengatakan pembaruan KUHP telah diinisiasi sejak tahun 1963, dan akan berlaku efektif 3 tahun sejak diundangkan.

"Yang kedua, KUHP disusun dengan cermat dan hati-hati. Yang menjadi pertimbangan adalah keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan negara, dan kepentingan masyarakat, serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multireligi dan multiculture," sambungnya.

Hal ketiga yang disampaikan, sebagai negara demokratis, KUHP Indonesia juga disusun melalui proses konsultasi publik yang panjang guna mendapatkan masukan dari masyarakat melalui partisipasi yang bermakna. Selain itu menurutnya KUHP juga bersifat humanis. Dirinya mencontohkan dengan diakhirinya pro kontra terkait pidana mati.

"Dalam KUHP pidana mati bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif yaitu dengan masa percobaan selama 10 tahun sehingga dengan assessment yang terukur dan objektif pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden atau pidana penjara sementara waktu yang maksimumnya adalah 20 tahun," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama dirinya juga menjelaskan terkait pasal perzinaan dan kohabitasi. Menurutnya kedua pasal ini diterapkan berdasarkan delik aduan absolut. Ia mengatakan hanya suami atau istri bagi yang terikat perkawinan, atau orang tua atau anak bagi yang tidak terikat perkawinan yang dapat membuat pengaduan.

"Pihak lain tidak dapat melapor apalagi sampai main hakim sendiri. Jadi tidak akan ada proses hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung, serta tidak ada syarat administrasi untuk menanyakan status perkawinan dari masyarakat dan turis," tegasnya.

Mengenai aturan terkait minuman beralkohol, Edward Omar mengatakan aturan ini sudah ada didalam KUHP lama dan tidak pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya KUHP baru hanya mengambil aturan terkait minuman beralkohol dari KUHP lama yang sudah ada terlebih dahulu.

"Yang ketujuh adalah mengenai isu kebebasan berpendapat," sambungnya.

Wamenkumham menjelaskan KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Menurutnya kritik tidak akan dapat dipidana karena dilakukan untuk kepentingan umum, sedangkan penghinaan di negara manapun termasuk kepada kepala negara dan lembaga negara merupakan suatu perbuatan yang tercela.

"Namun KUHP mengaturnya sebagai delik aduan sehingga masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan kecuali presiden atau wakil presiden dan ketua lembaga negara," jelasnya.

Sementara itu terkait kemerdekaan pers, Edward Omar mengatakan "kritik merupakan bentuk pengawasan koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sehingga jelas tidak dapat dipidana."

Wamenkumham juga menyinggung soal pengaturan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.

"Yang diadopsi pengaturannya dalam KUHP hanyalah dua kejahatan inti atau core crimes yaitu genoside dan crimes against humanity yang sanksinya disesuaikan dengan modified delphi method. Oleh karena itu pengaturan yang bersifat khusus terkait pelanggaran berat HAM akan tetap mengacu pada undang-undang pengadilan HAM, yaitu tidak ada daluwarsa dan berlakunya retroaktif," katanya.

Lebih lanjut, Edward Omar juga menyebutkan ketentuan KUHP tidak mendiskriminasi perempuan, anak dan kelompok minoritas lain, termasuk agama dan kepercayaan.

"Sebab seluruh ketentuan terkait yang berasal dari KUHP sebelumnya sudah sedapat mungkin direformulasi dengan memperhatikan prinsip hukum yang berlaku universal misalnya The International Covenant on Civil and Political Rights," katanya.

Edward Omar menjelaskan selama masa transisi 3 tahun KUHP nasional berlaku efektif. Menurutnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi substansi KUHP kepada seluruh masyarakat terutama kepada aparat penegak hukum serta mempersiapkan berbagai peraturan pelaksana dari KUHP sehingga meminimalisir penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

"Substansi KUHP telah berorientasi pada paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi menekankan pada pembalasan melainkan pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.

Ia mengatakan keadilan korektif berkaitan dengan penjeraan terhadap pelaku, sedangkan keadilan restoratif lebih menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban. Sementara keadilan rehabilitatif dalam rangka memperbaiki korban maupun pelaku.

"KUHP yang baru disahkan ini juga mengatur alternatif sanksi selain penjara yaitu denda, pengawasan dan kerja sosial. Serta perumusan tindak pidana secara jelas, ketat, dengan penjelasan yang cukup untuk menghindari multitafsir demi kepastian hukum yang mengedepankan keadilan dan kemanfaatan," katanya.

Dirinya pun mengatakan, mengingat KUHP akan berlaku dalam kurun 3 tahun mendatang, seharusnya tidak akan mengganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan, dan investor asing.

"Selama penegakan hukumnya sesuai dengan tujuan dari pembaharuan hukum pidana melalui KUHP sebagai cerminan paling jujur dari peradaban hukum bangsa Indonesia," tutupnya.

12
December

Jakarta (voinews.id) : Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan wisatawan asing tidak perlu khawatir untuk datang ke Indonesia setelah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Hal itu disampaikannya terkait sejumlah kekhawatiran beberapa pihak tentang pasal kohabitasi didalam KUHP.

“Kita mengatur (kohabitasi) tetapi delik aduan yang absolut. Wisatawan tidak akan bisa dijerat dengan pasal ini. Mengapa? Yang harus mengadukan itu hanya dua kemungkinan, anak-anak mereka atau orang tua mereka,” katanya dalam jumpa pers sosialisasi KUHP, Senin (12/12) di Gedung Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta.

Terkait kekhawatiran peraturan daerah yang ditegakkan terhadap pasal kohabitasi, dirinya menjelaskan bahwa didalam KUHP versi revisi, pemerintah daerah tidak diperkenankan untuk membuat peraturan dibawahnya dengan sifat delik biasa. Hal itu menurutnya dijelaskan di bagian penjelasan pasal tersebut.

“Penjelasannya menyatakan dengan berlakunya pasal ini maka semua peraturan daerah di bawahnya tidak berlaku. Artinya apa justru pasal ini menyelamatkan,” katanya.

Dengan adanya penjelasan tersebut, menurutnya, pemerintah Indonesia melindungi para wisatawan dari sanksi yang diberlakukan akibat pasal kohabitasi versi delik biasa.

“Jadi saya ingin menegaskan silahkan datang ke Indonesia untuk turis asing karena anda tidak akan bisa dikenakan pasal ini. Ini adalah aduan yang absolut yang bisa diadukan oleh orang tua atau anak kecuali kalau orang tuanya yang luar negeri atau anaknya yang luar negeri mengadu kepada aparat yang ada di Indonesia,” tutupnya.

12
December

Jakarta (voinews.id) : Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyayangkan sikap PBB di Indonesia yang menyatakan kekhawatiran terhadap pengesahaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Untuk itu, Kemlu memanggil perwakilan PBB di Indonesia pada Senin (12/12) pagi untuk menyampaikan penjelasan terkait KUHP baru.

“Terkait mengenai pertanyaan perwakilan PBB yang di Indonesia, di Jakarta, memang sudah dipanggil pagi hari ini oleh Kemlu,” kata Juru Bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah dalam jumpa pers terkait RUU KUHP yang telah disahkan, di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin.

Menurut Teuku Faizasyah, PBB sebagai perwakilan asing di Indonesia sepatutnya menggunakan jalur komunikasi yang tersedia untuk membahas berbagai isu.

“Mengapa kami memanggil? Karena ini juga merupakan salah satu tata hubungan dalam berdiplomasi. Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam interaksi perwakilan asing ataupun PBB di satu negara, jalur komunikasi kan selalu ada untuk membahas berbagai isu. Jadi kita tidak menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi,” katanya.

Jumpa pers terkait RUU KUHP yang baru saja disahkan tersebut turut dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. Menurut Teuku Faizasyah, keberadaan Wamenkumham di Kementerian Luar Negeri dimaksudkan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul di berbagai media terkait pasal-pasal dalam KUHP.

“Justru alasan kami mengundang Wamenkumham dalam pertemuan ini adalah untuk menyampaikan penjelasan atas berbagai pertanyaan yang muncul di media yang belum terjawab,” katanya.

Teuku Faizasyah mengingatkan seluruh perwakilan asing di Indonesia untuk tidak terburu-buru mengeluarkan pernyataan resmi sebelum mendapatkan informasi secara utuh dari pemerintah Indonesia.

“Dengan demikian ada baiknya sangatlah patut bagi perwakilan asing termasuk PBB untuk tidak secara terburu-buru mengeluarkan pendapat atau statement sebelum mendapatkan suatu informasi yang lebih jelas,” katanya.

Teuku Faizasyah pun mendorong perwakilan asing di Indonesia untuk menjaga norma-norma dalam hubungan diplomatik yang sepatutnya dipegang oleh para perwakilan asing di Indonesia.

Sebelumnya dalam siaran pers resmi yang dilansir di situs resmi PBB Indonesia, Kamis (8/12), disebutkan PBB menyambut baik modernisasi dan pemutakhiran kerangka hukum Indonesia namun mencatat dengan keprihatinan sejumlah adopsi ketentuan tertentu dalam KUHP yang direvisi.

Menurut siaran resmi itu, sejumlah ketentuan dalam KUHP baru Indonesia tidak sesuai dengan kebebasan dan hak asasi manusia termasuk hak atas kesetaraan. Selain itu, PBB juga khawatir beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia, termasuk kriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.

Agar produk hukum Indonesia tidak bertentangan dengan HAM, PBB menawarkan solusi, yaitu Indonesia perlu lebih membuka dialog dengan masyarakat sipil dalam pembentukan undang-undang, dan PBB menyatakan kesiapan untuk berbagi keahlian teknis dan membantu Indonesia untuk memperkuat kerangka legislatif dan kelembagaan.