Daniel

Daniel

08
February

Teka-teki Negara mana yang menjadi tuan rumah pertemuan kedua antara Presiden, Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un akhirnya terungkap setelah Donald Trump menyampaikannya dalam pidato States of the Union tanggal 5 Februari.  Sebelumnya dalam sebuah wawancara dengan media, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo tidak secara tegas menyebutkan Negara Asia mana tempat pertemuan itu akan berlangsung. Dalam pidato itu, Presiden Trump menyebut pertemuan bakal dilaksanakan di Vietnam pada tanggal 27-28 Februari.

Sebenarnya belakangan ini rumor beredar bahwa Vietnam akan menjadi tuan rumah pertemuan itu.  Tetapi mengapa Vietnam? Beberapa alasan bisa menjadi sebab terpilihnya Vietnam. Pertama, jarak dari Korea Utara yang dapat dijangkau pesawat Pemimpin Kim Jong-un sekali terbang dengan pesawat kenegaraan produksi era Uni Sovyet. Kedua, kedua Negara memiliki hubungan diplomatic dengan Vietnam dan kedutaan di Hanoi dapat mendukung persiapan pertemuan itu.

Akhir bulan lalu, negosiator Korea Utara, Kim Yong Chol yang membawa surat balasan dari Presiden Donald Trump dan Pemimpin Kim Jong-un merasa puas dengan isi surat Trump tersebut. Kim mempersiapkan diri untuk pertemuan keduanya dengan Donald Trump.

Seorang analis berpendapat bahwa pemilihan Vietnam memang diarahkan agar Korea Utara belajar dari sesama Negara sosialis. Selain ada keinginan dari Amerika Serikat untuk tidak membuat Korea Utara hanya bergantung pada Cina.

Pihak yang skeptis menyatakan apa yang dilakukan pada pertemuan pertama seperti basa-basi karena tidak ada kelanjutan setelah pertemuan itu. Kedua pihak tidak sama definisinya soal “denuklirisasi”.

Tantangan pada pertemuan kedua ini lebih berat karena pertemuan pertama belum menghasilkan kemajuan cukup berarti. Kini kedua pemimpin harus membuktikan “term” denuklirisasi sama maknanya bagi keduanya dan segera bisa diimplementasikan. Kita juga menantikan apakah Korea Utara akan mengambil jalan kompromistis seperti halnya Vietnam dan Cina yang menerapkan ideologi Sosialis dengan ekonomi bebas, sebuah resep yang manjur bagi pembangunan ekonomi kedua Negara itu.

11
February


Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional yang disingkat sebagai HPN. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, hari pers nasional telah digodok sebagai salah satu butir keputusan kongres ke-28 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dilaksanakan di kota Padang Sumatera Barat, pada tahun 1978. Kesepakatan tersebut terlepas dari kehendak masyarakat untuk menetapkan 1 hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.

Peringatan Hari Pers Nasional sebaiknya bukan hanya sebuah seremoni untuk memberikan penghargaan bagi individu maupun lembaga yang dianggap berjasa dalam memajukan kekebasan pers, tetapi juga menjadi momentum untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan perlindungan terhadap insan pers dan kebebasan pers di dalam negeri.

Pers nasional dapat berkembang dan mencapai keberhasilan tentu bukan tanpa alasan dan dukungan. Setelah perjalanan panjang akhirnya kebebasan pers dimulai pada periode setelah Orde Baru mulai runtuh. Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers oleh Presiden BJ Habibie, pers mulai mengembangkan profesi dan ranah sebagai penggiat informasi dan aturan tentang pers tersebut diberlakukan hingga saat ini. Secara norma tertulis, pers mendapatkan perlindungan hukum dan kebebasan di bawah naungan UU tersebut.

Namun apakah benar, insan pers sudah benar-benar mendapatkan perlindungan secara penuh ?

Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pers Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Kasus kekerasan terahadap jurnalis masih tinggi. Berdasarkan data AJI, kasus kekerasan mencapai 64 kasus ditahun 2018, naik 60 kasus dari 2017. Selain itu pers Indonesia juga masih menghadapi tantangan soal profesionalisme. Tingkat pengaduan publik terhadap Dewan Pers soal kinerja media dan jurnalis masih di level tinggi. Pada tahun 2017 jumlah kasusnya lebih dari 400, sementara di tahun 2016 pengaduan mencapai 721 kasus.

Hal ini menunjukkan kalo memang pers kita masih butuh perhatian. Untuk tahun 2018, peringkat kebebasan pers Indonesia di dunia berada di level 124 berada di bawah Timor Leste namun sudah lebih baik dari beberapa negara anggota ASEAN.

08
February


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Yasonna Laoly menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss, Senin (4/2). Siaran pers Kedutaan Besar RI Bern yang dirilis Kantor Berita Antara di Jakarta, Selasa (8/2) manyebutkan, penandatanganan perjanjian tersebut setelah melalui dua kali putaran perundingan, yakni di Bali pada 2015 dan di Bern, Swiss, pada 2017. Perjanjian tersebut juga menandai keberhasilan diplomasi Indonesia di Swiss di bidang hukum. Dijelaskan, perjanjian yang terdiri dari 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta. Menteri Yasonna menjelaskan, perjanjian MLA dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud). Menurut Yasonna Laoly, perjanjian tersebut merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya. Yasonna Laoly mengatakan, atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Yasonna Laoly menjelaskan, prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Duta Besar RI untuk Swiss dan Lichtenstein, Muliaman D. Hadad yang mendampingi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada upacara penandatanganan tersebut menyatakan, perjanjian MLA RI-Swiss merupakan capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa. Dubes Muliaman menambahkan penandatanganan MLA menggenapi keberhasilan kerja sama bilateral RI-Swiss di bidang ekonomi, sosial dan budaya, yang selama ini telah terjalin dengan baik. Penandatanganan Perjanjian MLA ini sejalan dengan program Nawacita, dan arahan Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan. Di antaranya pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun 2018, di mana Presiden menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerja sama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia juga telah menandatangani perjanjian MLA dengan negara ASEAN, Australia, Hong Kong, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran. Demikian Indonesiaku kali ini.

07
February

Setelah melalui berbagai diplomasi, termasuk perundingan dua kali putaran  antara Indonesia dan  Swiss, akhirnya perjanjian bantuan hukum timbal balik (MLA) telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,  Yasonna Hamonangan Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss Senin (4/2). Perjanjian yang terdiri atas 39 pasal ini mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian pentinguntuk mendukung proses hukum pidana di negara peminta.

Perjanjian ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan menghindari kejahatan perpajakan. Menteri Yasonna mengatakan bahwa perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan. Guna menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian, Indonesia mengusulkan dalam  perjanjian yang disepakati  menganut prinsip retroaktif. Bagi Indonesia, perjanjian ini merupakan MLA ke-10. Sebelumnya, Indonesia melakukan penandatanganan  MLA dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, Cina, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran. Sedangkan bagi Swiss, perjanjian ini merupakan MLA ke-14 dengan negara-negara non-Eropa.

Penandatanganan ini akan bermanfaat bagi kedua negara, terutama bagi Indonesia untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan. Sejauh ini,  perkara-perkara terkait pencucian uang dan pidana perpajakan sulit diungkap karena terkendala keterbatasan akses dan daya jangkau. Dengan ditandatanganinya MLA, ini akan memudahkan untuk melacak dan mengambil kembali aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss.Dikutip dari penelitian Gabriel Zucman pada 2017, jumlah asset global di negara surga pajak mencapai 10% PDB global  setara dengan Rp800.000 triliun. Dari jumlah itu,  Rp32.000 triliun disimpan di Swiss. Karena itu,  Pemerintah Indonesia mempunyai alasan kuat menandatangani MLA dengan Swiss dan segera menerapkannya.