Dua Forum Ekonomi internasional baru saja dilaksanakan dalam waktu yang berdekatan. Yang pertama, Forum Ekonomi Timur, (Eastern Economic Forum-EEF) dengan sponsor Rusia diselenggarakan hari Selasa 11 September 2018 di Vladivostok Rusia. Forum lainnya adalah Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum-WEF) untuk ASEAN yang dilaksanakan di Hanoi, Vietnam 12 September 2018.
Meski berdekatan, kedua forum itu tidak serta merta membahas persoalan yang sama. Forum Ekonomi Dunia untuk ASEAN bertemakan ASEAN 4.0: Entrepreneurship and the Fourth Industrial Revolution (ASEAN 4.0: Kewirausahaan dan Revolusi Industri keempat). Sedangkan apa yang dilaksanakan di Vladivostok, lebih menjadi antithesis terhadap kebijakan Amerika Serikat kepada RRT dan Rusia.
Forum WEF di Hanoi, menjadi peluang bagi anggota ASEAN mengembangkan kerjasama dengan mitra serta menarik perhatian dan investasi perusahaan mulitnasional dunia. Hal lain yang ingin dicapai adalah akses padaide baru dan tren yang terjadi di kawasan serta di dunia. Tidak disinggung dalam forum ini hubungan dagang yang kurang harmonis antara RRT dan Rusia dengan Amerika Serikat.
Sebaliknya Forum Ekonomi Kawasan Timur, EEF, menekankan keterpaduan untuk mengatasi tekanan ekonomi yang dilakukan Amerika Serikat kepada RRT dan Rusia. Pemimpin kedua Negara, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden RRT Xi Jin Ping, bersepakat untuk meningkatkan perdagangan dengan menggunakan mata uang sendiri ketimbang dollar Amerika.
Rusia telah melaksanakan Forum ini sejak 2015 untuk mendekatkan kawasan Timur Rusia dengan Asia Timur yang bertumbuh pesat. Rusia perlu mencari peluang baru, setelah sanksi yang dijatuhkan AS dan Uni Eropa sejak pendudukan semenanjung Krimea, Ukraina, oleh Rusia di tahun 2014.
Pimpinan tertinggi RRT sendiri baru pertama kali hadir di Forum Ekonomi Timur ini.
Selain hubungan ekonomi, RRT dan Rusia juga terlibat dalam latihan militer bersama dalam waktu yang hampir bersamaan.
Dapat dilihat bahwa pelaksanaan kedua forum tersebut adalah indikasi bahwa Asia Tenggara dan Timur telah menjadi motor penggerak ekonomi dunia. Dinamika pembangunan di kawasan hendaknya terus dipelihara dengan menurunkan tingkat konflik; seperti di semenanjung Korea, persengkataan Jepang dengan Rusia atas pulau-pulau di utara Jepang, perang dagang RRT dengan AS.
Ini semua menjadi tantangan bersama Negara-negara Asia untuk
bekerjasama. Karena jika pertumbuhan di Asia mandek, akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dunia.
Kemarin, 12 September 2018, di Tangerang, Banten, berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara, resmi menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia, menggantikan Pahala N Mansury.
Tahun 2017, Perusahaan penerbangan nasional, PT Garuda Indonesia merugi sebesar 213,4 juta dolar Amerika atau setara 2,88 triliun Rupiah. Berbanding terbalik dengan 2016 yang berhasil mencatatkan laba bersih sebesar 9,4 juta dolar Amerika atau sekitar 126,9 miliar Rupiah. Kerugian sepanjang tahun 2017 disebabkan peningkatan pengeluaran operasional terutama karena peningkatan biaya bahan bakar sebesar 25% dari 924 juta menjadi 1,15 miliar dolar Amerika.
Ari Askhara, Direktur Utama yang baru, mempunyai target untuk menurunkan kerugian PT Garuda Indonesia hingga kurang dari 100 juta dolar Amerika pada akhir 2018, dengan cara menutup celah kebocoran biaya operasional, mengoptimalkan rute favorit, membuka rute bernilai ekonomi baik dan meningkatkan kinerja pegawai.
Sejak 2013 hingga 2018, Askhara pernah menjadi direktur di sejumlah perusahaan BUMN, dan bukan orang baru di Garuda karena menjadi Direktur Keuangan dan Risiko Garuda, dan terakhir pada 2018 Direktur Utama PT Pelindo III.
Menurut Askhara, ia akan melibatkan semua pegawai dan regulator dalam mencapai target. Sebagian pengalamannya di Pelindo III akan diterapkan di Garuda. Salah satunya dengan transformasi human capital. Karena Garuda Indonesia bergerak dalam sektor jasa, kebahagiaan pegawai sangat penting agar pelayanan terhadap penumpang meningkat. Selanjutnya, ia akan berupaya meningkatkan pendapatan dengan menciptakan rute baru di beberapa titik sumber turis asing, dan mengoptimalkan rute lama domestik dibandingkan rute internasional.
Untuk menekan biaya operasional dan mencegah inefisiensi, akan dilakukan negosiasi ulang sewa pesawat masuk, khususnya untuk existing flight narrow body dan wide body agar memperpanjang masa sewa. Jadi biaya sewa per bulan akan turun 10-20%. Di tengah kondisi Rupiah yang kian terpuruk dan harga minyak yang terus meningkat, langkah selanjutnya yang akan diambil adalah redivine cost structure, mengubah dan memperbaiki biaya operasional.
Garuda Indonesia sebenarnya perusahaan penerbangan yang punya reputasi. Beberapa kali Garuda menerima penghargaan dari lembaga internasional, tetapi penghargaan itu ternyata belum menjadi jaminan keuntungan bagi Garuda.
Diharapkan tekad Ari Askhara, dengan pengalaman memimpin berbagai divisi di berbagai perusahaan, bersama manajemen Garuda Indonesia yang baru bukan hanya sekedar target di atas kertas, tapi dapat menjadi kenyataan, dengan dukungan berbagai pihak.
Konflik bersenjata di Suriah nampaknya masih belum akan berakhir. Pihak di luar Suriah yang mempunyai peran dalam perang saudara masih memainkan peran penting dalam kemelut dan pertumpahan darah. Baik kubu pemerintah maupun pemberontak tidak lagi dapat melepaskan diri dari pengaruh pihak luar. Konperensi Tingkat Tinggi antar Turki, Iran dan Rusia di Teheran beberapa hari lalu menunjukkan betapa negara lain begitu menentukan penyelesaian masalah Suriah. Ketika pembicaraan mereka gagal menghasilkan terobosan, muncul kemungkinan akan berlanjutnya peperangan. Kali ini yang menjadi fokus adalah Idlib.
Idlib adalah kawasan atau zona deskalasi yang ditetapkan oleh Iran, Turki dan Rusia. Ke tiga negara ini telah membangun sedikitnya 12 pos pengamatan di wilayah itu sesuai kesepakatan sebelumnya. Sementara KTT tripartit Iran – Turki – Rusia, tidak menghasilkan keputusan pasti mengenai nasib Idlib. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyusul kegagalan KTT, telah memperingatkan kemungkinan terjadinya serangan militer terhadap Idlib. Jika itu terjadi maka kembali akan jatuh korban di pihak warga sipil dan terjadi gelombang pengungsi. Turki dalam pembicaraan di Teheran telah mengusulkan dicarinya solusi untuk mempertahankan perdamaian di Idlib.
Kepada Presiden Iran Hassan Rouhani dan Vladimir Putin dari Rusia, Erdogan menekankan perlunya peningkatan peran Turki di Idlib. Atas usulan Turki, Vlaimir Putin tetap berpendapat perlunya tindakan keras. Moskow menentang usulan gencatan senjata. Alasannya, karena masih adanya faksi faksi perlawanan yang tidak dimasukkan dalam pembicaraan damai. Putin berpandangan bahwa Pemerintah Suriah harus mendapat dukungan kuat agar dapat mengendalikan dan kembali menguasai semua wilayah.
Dari kegagalan KTT Tripartit di Teheran, dapat dilihat bahwa pihak pihak asing sangat berpengaruh atas penyelesaian konflik berdarah di Suriah. Perbedaan kepentingan negara negara asing yang kini menancapkan pengaruhnya, baik pada pemerintah maupun kaum perlawanan atau oposisi telah mengunci upaya penyelesaian perang saudara di Suriah. Negara yang pernah makmur, damai dan berjaya masih akan tetap menjadi ajang perang. Bukan hanya lantaran perbedaan kepentingan antara pihak pihak di dalam negeri, tetapi terlebih lagi karena campur tangan luar negeri.
Indonesia mengusulkan dilaksanakannya penelitian bersama tentang dampak kenaikan permukaan air Laut China Selatan bagi daerah pesisir yang disebabkan perubahan iklim. Usulan tersebut disampaikan dalam the Fourteenth Working Group Meeting on the Study of Tides and Sea Level Change and Their Impacts on Coastal Environment in the South China Sea Affected by Potential Climate Change yang diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, 8 September lalu.
Pertemuan tersebut telah menyepakati berbagai potensi kerja sama baru terkait studi dan penelitian mengenai dampak dari arus dan perubahan permukaan laut terhadap lingkungan pesisir sebagai pengaruh dari perubahan iklim. Demikian dikatakan Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (P3K) Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Dindin Wahyudin dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Senin. Pertemuan diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) RI bersama dengan Pusat Studi Asia Tenggara, dan didukung oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kemlu RI. Pertemuan dihadiri 42 peserta yang berasal dari Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, China, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Pertemuan tersebut juga mengidentifikasi dan menyepakati berbagai area kerja sama yang potensial antara lain metode penelitian dan pengumpulan data, adaptasi dan mitigasi, studi mengenai dampak dari kenaikan permukaan laut, berbagi pengetahuan tentang ketahanan masyarakat terhadap kenaikan permukaan laut, dan pengembangan regulasi. Secara khusus kelompok kerja tahun ini juga membahas studi mengenai energi kelautan (ocean energy) dan sampah laut (ocean debris).
Pertemuan ini merupakan bagian yang integral dari Lokakarya Penanganan Potensi Konflik di Laut China Selatan ke-28 yang juga diselenggarakan di Manado pada tanggal 9-10 September 2018.
Rangkaian pertemuan dan lokakarya tersebut adalah upaya diplomasi untuk membangun kepercayaan di antara seluruh pihak yang berkepentingan di Laut Cina Selatan dan untuk menciptakan kerja sama yang erat yang konkret dalam rangka mempertahankan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan tersebut.