Kementerian Perdagangan mengharapkan pada pengusaha Indonesia meningkatkan ekspor teh, karena komoditas ini banyak disukai konsumen dunia karena kualitas dan aroma khasnya. Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan Ari Satria, dalam keterangan tertulis Jumat menyebutkan, target yang Kementerian Perdagangan harapkan adalah adanya peningkatan pada grafik ekspor teh Indonesia yang meski pun perlahan tapi pasti. Ari menambahkan, di pasar ekspor, Indonesia dinilai memiliki teh berkualitas baik dan aroma khas yang disukai oleh masyarakat global. Ia menegaskan, untuk lebih memanfaatkan potensi pasar ekspor teh Indonesia, para pelaku usaha harus mampu mempersiapkan manajemen yang efektif untuk penciptaan nilai tambah hingga inovasi produk. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor teh 2017 meningkat dengan mencatatkan nilai ekspor teh Indonesia ke dunia sebesar 117,96 juta dolar Amerika Serikat, atau meningkat 1,04 persen dibanding tahun 2016 yang sebesar 116,75 juta dolar Amerika. Antara
Pemerintah Burkina Faso menyampaikan penghargaan kepada Indonesia atas peran besar pasukan perdamaian RI dalam menjaga keamanan di negara tersebut, seperti disampaikan dalam keterangan pers Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Jumat. Penghargaan tersebut disampaikan dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dengan Wakil Tetap Burkina Faso di sela-sela Debat Terbuka Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat baru – baru ini. Pada pertemuan tersebut Menlu Retno Marsudi menekankan komitmen Indonesia untuk bekerjasama dengan Burkina Faso dan negara kawasan Afrika lainnya. Retno Marsudi menegaskan, komitmen tersebut merupakan posisi dasar Indonesia sejak Konferensi Asia Afrika 1955. Pemerintah Burkina Faso menghargai kontribusi besar Indonesia dalam pemajuan perdamaian dan keamanan, terutama melalui peran pasukan perdamaian Indonesia di PBB. Selanjutnya, kesempatan itu juga digunakan Retno Marsudi untuk menyampaikan rencana Indonesia untuk menjadi tuan rumah Forum Indonesia-Afrika pada April 2018 sebagai langkah konkret dalam memperkuat kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara Afrika. Antara
Indonesia diprediksi beresiko menjadi pasar peralihan produk ekspor dua negara yang terlibat perang dagang yaitu Amerika Serikat dan China. Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla di Jakarta Selasa, (27/3) seperti dirilis Antara mengkhawatirkan parang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China akan menggangu kinerja perdagangan Indonesia. Jusuf Kalla menilai perang dagang antara Amerika Serikat dan China akan berdampak luas dan berpengaruh ke Indonesia, apabila tidak segera diselesaikan ketegangannya sejak dini.
Jusuf Kalla mengatakan, semua perang dagang, apalagi antar negara-negara besar, seperti Amerika dengan China akan menimbulkan impact yang luas. Jusuf Kalla mengatakan negara dengan perekonomian kuat akan berdampak besar terhadap negara lain. Indonesia akan kesulitan melaksanakan ekspor, serta negara-negara yang berseteru akan mengalihkan produknya ke negara lain, termasuk Indonesia. Dampak yang ditimbulkan akan berujung pada melemahnya ketahanan industri nasional, akibat kebijakan tarif yang dikeluarkan Amerika untuk menekan China, agar patuh pada praktek bisnis.
Kekhawatiran terhadap perang dagang antara Amerika dan China muncul di banyak negara setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan tarif untuk produk impor baja senilai 25 persen dan produk alumunium senilai 10 persen. Jusuf Kalla berharap ketegangan antara dua negara tersebut dalam bidang perdagangan global dapat diselesaikan di tingkat Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Terkait dampak penerapan kenaikan tarif impor di Amerika tersebut, Jusuf Kalla mengatakan Pemerintah Indonesia siap membalas dengan menerapkan hal serupa untuk komoditas ekspor ke Amerika. Jusuf Kalla menambahkan, saat ini komoditas ekspor terbesar Indonesia ke Amerika adalah minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO),sementara impor Indonesia dari Amerika antara lain kacang kedelai dan terigu.
Krisis diplomatik antara Inggris dan Rusia ternyata berbuntut panjang. Setelah beberapa waktu lalu, Inggris mengusir Diplomat Rusia yang lalu diikuti oleh Amerika Serikat, kini 16 negara anggota Uni Eropa melakukan hal yang sama. Jumlah ini kemudian ditambah beberapa Negara yang punya hubungan dekat dengan Inggris dan Amerika Serikat, seperti Kanada, Norwegia, Albania dan Ukraina. Belakangan Australia hari Selasa (27 Maret) juga melakukan hal yang sama. Total diplomat yang harus meninggalkan pos nya 130 orang di 21 negara.
Dalam sebuah pernyataan hari Senin (26 Maret 2018), Kementerian Luar Negeri Rusia mengecam tindakan pemulangan para diplomat ini, dan menganggapnya sebagai tindakan provokatif. Pihak resmi Rusia menyatakan, sekutu barat hanya menuruti Inggris. Padahal Inggris dianggap telah mengabaikan ketentuan adanya praduga tidak bersalah dan tidak memberi ruang bagi Rusia untuk ikut meenginvestigasi masalahnya. Pihak yang berang di negeri itu, mendorong pemerintah Rusia melakukan pengusiran kepada para diplomat Amerika Serikat di Moskow.
Penyebab awal dari persoalan ini adalah adanya percobaan pembunuhan kepada seorang mantan agen ganda, Sergei Skripal dan putrinya Yulia. Hasil penyelidikan menunjukkan adanya penggunaan bahan kimia Novichock, yang pernah diproduksi di Russia, saat Negara itu masih bernama Uni Sovyet. Dengan indikasi itulah, Inggris menganggap Rusia ada di balik upaya percobaan pembunuhan tersebut.
Tentu saja pengusiran diplomat bukan pertanda baik untuk menuju pada penyelesaian masalah. Jika tadinya hanya merupakan persoalan bilateral antara Inggris dengan Rusia, maka kini persoalannya melebar karena lebih dari 20 negara juga melakukannya. Pertanyaannya, benarkah para diplomat yang diusir ini melaksanakan tugas mata-mata? Bukankah diplomat memang selalu menyampaikan informasi tentang negara penempatan secara berkala? Jika pengiriman informasi dianggap sebagai tindakan mata-mata, tentu saja semua negara mesti saling mengusir para anggota perwakilan asing di tempatnya masing-masing.
Diharapkan, tindakan pengusiran diplomat ini tidak semakin meluas. Inggris dan sekutunya mesti mengoreksi tindakannya dan mengumumkan hasil penyelidikan percobaan pembunuhan itu. Sebaliknya Rusia, jika memang tuduhan Barat itu benar, mesti membersihkan aparat diplomatiknya dari keterlibatan dalam memata-matai negara lain.