Pemerintah telah selesai menyusun draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Rencananya pekan ini akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditargetkan bisa tuntas dibahas dalam tiga bulan. Omnibus law adalah suatu Undang-Undang yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa Undang-Undang sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana. Sejauh ini, pemerintah telah menyisir 74 undang-undang yang akan terkena dampak omnibus law. Menurut Presiden Joko Widodo, bila pemerintah hanya menyisir undang-undang satu per satu untuk kemudian diajukan revisi ke DPR, maka proses tersebut dapat memakan waktu hingga lebih dari 50 tahun. Dengan adanya omnibus law maka undang-undang tersebut dapat direvisi secara berbarengan.
Sebenarnya ada dua Omnibus Law yang diajukan pemerintah ke DPR, yaitu Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan. Namun yang mendapat sorotan banyak pihak, terutama pekerja, adalah Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Diberitakan ada beberapa poin dalam rancangan omnibus law yang tidak dapat diterima, karena dianggap mengancam kesejahteraan pekerja.
Ambil saja contoh diberlakukannya upah pekerja per jam. Pekerja beranggapan ada upaya menghilangkan upah minimum dengan diterapkannya upah per jam tersebut. Dengan kata lain, bila ada pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Sebaliknya menurut pemerintah aturan upah per jam ini tidak menghilangkan aturan upah minimum. Aturan ini memberikan keleluasaan kepada badan usaha atau perusahaan dalam memberikan gaji kepada pekerja yang sifat pekerjaannya tidak tetap atau sementara. Aturan skema upah per jam ini untuk menampung jenis pekerjaan tertentu seperti konsultan, pekerjaan paruh waktu, dan lain-lain. Selain itu, aturan pembayaran upah per jam dimaksud untuk mengakomodasi jenis pekerjaan baru dalam industri ekonomi digital dengan pekerja milenial yang menginginkan jam kerja yang fleksibel.
Dari contoh tersebut terlihat betapa dibutuhkan sosialisasi agar masyarakat tahu betul apa tujuan pemerintah dalam membuat suatu peraturan. Dengan demikian kesimpang siuran informasi di tengah masyarakat dapat dicegah.
Kini tugas DPR untuk mempelajari draft Omnibus Law yang diajukan pemerintah, apakah itu menguntungkan atau merugikan masyarakat. Tugas DPR juga untuk memberi penjelasan kepada rakyat yang diwakilinya, alasan dari keputusan mereka terhadap rancangan omnibus law tersebut.
Pemilihan Umum serentak Presiden dan Legislatif yang berlangsung pada bulan April 2019 belum lagi berumur satu tahun. Sementara Pemilihan Umum 2024 masih empat tahun mendatang, namun keramaian di kancah politik sudah mulai terasa.
Wacana kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari 4 persen menjadi 5 persen bergulir di lingkaran partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Wacana ini berkembang sejak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I tahun 2020 pada tanggal 10-12 Januari lalu. Rakernas tersebut menghasilkan sembilan rekomendasi, salah satunya adalah ambang batas parlemen ditingkatkan menjadi 5 persen. Usulan PDI-P mendapat respons dari sejumlah partai politik di DPR. Sebagian mengapresiasinya dengan alasan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, ada pula sebagian partai yang keberatan dengan usulan parliamentary threshold menjadi 5 persen.
Menurut mereka yang mengusung wacana ini, peningkatan parliamentary threshold akan mengurangi jumlah partai politik. Namun partai yang tidak memperoleh jumlah suara banyak pada Pemilu 2019 menilai usulan kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold tidak akan cukup ampuh untuk menyederhanakan jumlah partai politik.
Alih-alih menyederhanakan partai, kenaikan ini justru akan membuat perolehan suara yang diraih partai yang tidak lolos akan terbuang sia-sia. Memang kenaikan ambang batas parlemen bukan kali ini saja terjadi di dalam sistem pemilu di Indonesia. Sejak 2009 sampai sekarang angkanya terus meningkat dari 2,5 persen menjadi 3 persen kemudian sekarang 4 persen. Pada Pemilu 2014, hanya ada 12 partai nasional dan tiga partai di Aceh yang mengikuti pemilu. Sedangkan di dalam pelaksanaan Pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen, ternyata jumlah partai yang mengikuti kontestasi malah bertambah menjadi 16 partai nasional dan empat partai di Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan ambang batas parlemen tidak begitu efektif mengurangi jumlah partai politik yang ikut persaingan dalam Pemilu. Tapi membuat suara rakyat yang memilih anggota partai yang partainya tidak memenuhi ambang batas, menjadi sia-sia.
Kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dari 4 persen menjadi 5 persen mungkin dapatmeningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, kenyataan di lapangan pun perlu dipertimbangkan.
Kementerian Keuangan meresmikan Kantor Bersama Ekspor yang terletak di Kantor Lembaga National Single Window (LNSW) untuk memudahkan koordinasi serta pelayanan terkait akses informasi bagi para eksportir termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah-UMKM. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto di Kantor LNSW, Jakarta, Rabu(15/1) mengatakan pembukaan kantor ini merupakan sebuah langkah untuk menciptakan kolaborasi antar pemangku kepentingan sehingga penyelesaian berbagai hal terkait ekspor dapat menjadi lebih mudah.
Hadiyanto menyebutkan ada tiga hal yang ingin didorong melalui Kantor Bersama Ekspor yaitu pertama, penyediaan akses informasi, bantuan keringanan mekanisme pembiayaan ekspor dan informasi akses pasar. Hadiyanto mencontohkan, terdapat beberapa pelaku UMKM yang hanya fokus pada pasar Korea tapi ternyata mereka tidak tahu bahwa Eropa juga menjadi salah satu marketplace yang berpotensi besar untuk menerima produknya.
Bersamaan dengan peresmian Kantor Bersama Ekspor, sekaligus diluncurkan aplikasi INSWMobile untuk mempermudah akses terhadap pelacakan dokumen dan informasi terkait ekspor melalui perangkat selular.
Kepala Lembaga National Single Window Agus Rofiudin, menyebutkan dokumen yang dapat dilacak oleh aplikasi ini adalah status Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Surat Keterangan Asal/Certificate of Origin (SKA/CoO) serta larangan dan pembatasan pada laman Indonesia National Trade Repository (INTR). Menurut Agus Rofiudin, sifatnya yang mobile akan memudahkan para pelaku usaha mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan di mana saja dan kapan saja.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto menyarankan agar dilakukan penyempurnaan dan pembaharuan terhadap aplikasi tersebut sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat terkait ekspor dan impor yang terus berubah setiap waktu.
Ia menekankan kolaborasi harus terus dilakukan antara Lembaga National Single Window, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), lembaga lainnya agar aplikasi ini dapat terus berkembang.
Tidak ada badai yang tidak usai. Tidak ada perang yang terjadi selamanya. Mungkin itu ungkapan yang tepat menggambarkan fase baru perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang telah terjadi sekitar 2 tahun dan menimbulkan perlambatan ekonomi global. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Liu He meneken kesepakatan damai dagang fase pertama pada Rabu 15 Januari dalam pertemuan di Gedung Putih. Meski kesepakatan fase I ini sudah ditandatangani, AS akan tetap mengenakan tarif atas barang impor dari Tiongkok hingga ada perjanjian fase II. Namun, AS setuju untuk menangguhkan tarif pada sejumlah produk elektronik senilai $160 miliar dolar Amerika. Tarif tersebut berlaku pada 15 Desember 2019. Kesepakatan fase I ini diharapkan dapat menjadi awal yang baik setelah kedua negara terlibat perang dagang. Namun catatannya kemudian, banyak pihak masih meragukan apa yang akan terjadi setelah penandatangan perjanjian dagang fase pertama ini.
Hal yang bisa digarisbawahi adalah dalam perjajian tersebut Tiongkok akan membeli barang lebih banyak barang-barang dari Amerika. Dengan begitu akan sedikit menutup dampak perang dagang yang sudah dirasakan Amerika terjadi selama 2 tahun. Kesannya, kesepakatan yang ditandatangani lalu memang menghasilkan beberapa kemenangan bagi AS. Karena Tiongkok setuju untuk membeli barang AS sekitar US$ 200 miliar lebih banyak selama dua tahun ke depan, dan perusahaan AS akan mendapatkan lebih banyak akses ke pasar Tiongkok, dan lebih banyak perlindungan kekayaan intelektual. Namun Ekonomi Tiongkok sebetulnya juga dinilai akan mendapatkan dorongan jangka pendek dari kesepakatan perdagangan. Langkah-langkah stimulus, seperti lebih banyak pengeluaran oleh pemerintah daerah, pajak yang lebih rendah, dan lebih banyak kredit bank. Gencatan senjata yang dilakukan juga dapat membantu mengurangi kemerosotan sentimen bisnis dan investasi di Tiongkok.
Akhirnya, bagaimana dampaknya terhadap dunia global yang ekonominya juga terdampak oleh perang dagang Amerika-Tiongkok selama ini? Pada 2020, besaran tarif yang sudah berlaku atau diumumkan bakal membuat pertumbuhan ekonomi global merosot 0,8 persen. Hal tersebut sempat diungkapkan oleh Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgiva. Kondisi ekonomi global terlanjur terdampak dengan perang dagang yang terjadi selama 2 tahun belakangan ini.
Tentunya, masyarakat dunia menyambut baik fase I kesepakatan perdagangan antara Amerika dan Tiongkok. Dengan catatan bahwa dampak perang dagang yang membutuhkan waktu untuk dipulihkan. Baik kondisi internal Tiongkok dan Amerika dan secara global. Kita berharap pada perjanjian perdaganagn fase berikutnya segera mewujudkan percepatan perbaikan ekonomi global.