Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengapresiasi banyak upaya yang dilakukan Satuan Polisi Kehutanan (Polhut) Reaksi Cepat (SPORC) dalam menanggulangi ancaman kejahatan terhadap ekosistem kawasan hutan. Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong dalam sambutan perayaan Hari Ulang Tahun SPORC ke-14 di KLHK Jakarta, Senin lalu, sangat mengapresiasi semua kerja yang telah dilakukan SPORC dalam menangani berbagai ancaman kejahatan terhadap keutuhan ekosistem kawasan hutan selama ini.
SPORC merupakan satuan polisi kehutanan reaksi cepat dan tanggap yang membantu pemulihan keamanan kawasan hutan serta penegakan hukum. SPORC dibentuk pada 4 Januari 2006 dan kini didukung 657 personil, tersebar di 16 brigade mulai dari Medan hingga Papua.
Alue Dohong mengungkapkan lebih rinci, sebanyak 441 operasi pembalakan liar berhasil ditindak, dengan hasil yang bisa diamankan sebanyak hampir 35 ribu meter kubih kayu ilegal.
Telah dilakukan pula 460 operasi perambahan kawasan hutan dengan hasil luas yang bisa diamankan seluas lebih dari 18 juta hektare. 279 operasi tumbuhan dan satwa liar dengan hasil yang bisa diamankan sekitar 200 ribu ekor satwa dan 12 ribu lebih bagian tubuh satwa.
Alue mengingatkan, walaupun sudah banyak kerja yang dilakukan, SPORC harus tetap menjaga dan meningkatkan kerja kerasnya agar harapan dan kepercayaan publik kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan semakin meningkat.
Sementara itu Direktur Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani menambahkan, meskipun berhadapan dengan beragam keterbatasan, SPORC terus menunjukan dedikasi loyalitas yang tinggi.
Menurut Ridho ke depan akan dilakukan penguatan kepada para anggota SPORC melalui berbagai jenis pendidikan dan latihan seperti penanganan satwa, pengambilan sample DNA, dan penyidikan serta penguatan mental di pusat pendidikan militer maupun kepolisian.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendukung sepenuhnya program Provinsi Bali mencapai Satu Juta Ternak Sapi Bali pada 2025. Hal tersebut disampaikannya saat menyaksikan penandatangan tiga nota kesepahaman antara Kementerian Pertanian dengan Gubernur Bali di Denpasar, 4 Januari lalu.
Salah satu nota kesepahaman tersebut adalah terkait Populasi Sejuta Sapi Bali Mendukung Program Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri. Menurut Menteri Syahrul, Bali merupakan provinsi yang memiliki potensi pertanian dan peternakan yang sangat besar. Dengan adanya nota kesepahaman ini, maka Kementerian Pertanian akan mendukung sepenuhnya program-program pertanian dan peternakan di Bali.
Dalam keterangan tertulis yang diterima media, Senin 6 Januari, Menteri Syahrul mengatakan Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pertanian menuju pertanian yang maju, mandiri, dan modern. Lebih lanjut Menteri Syahrul juga menyampaikan harapannya, ke depan produksi pertanian tersebut bisa diekspor dengan meningkatnya produksi dan produktivitas. Langkah ini sejalan dengan gerakan tiga kali ekspor.
Sementara Gubernur Bali, Wayan Koster menyampaikan bahwa Provinsi Bali merupakan provinsi yang berbasis pertanian, dan penyediaan pangan merupakan salah satu program utama saat ini. Gubernur memandang, dukungan Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian di Bali sangat penting dalam membantu program Pemerintah Daerah dan masyarakat Bali.
Wayan Koster menambahkan, Bali kaya akan komoditas pertanian lokal seperti jeruk, salak, kopi, sapi, kambing dan lain-lain. Namun komoditas-komoditas ini belum diberdayakan secara optimal. Ke depan, diharapkan bantuan Kementerian Pertanian untuk mengoptimalkan potensi ini.
Khusus terkait Program satu juta ternak Sapi Bali pada 2025, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita menyampaikan target tersebut dapat dicapai apabila ada peningkatan jumlah induk sapi sebesar 30 persen hingga 45 persen dari populasi saat ini, dan didukung oleh peningkatan kelahiran pedet sebesar 80 persen hingga 85 persen dari Indukan jumlah sapi.
Sementara itu angka pemotongan sapi betina produktif di Bali harus bisa diturunkan hingga 5 persen sampai 10 persen dari pemotongan tercatat saat ini, dan angka kematian anak sapi yang lahir harus diturunkan ke angka di bawah 5 persen.
Sejak 2016 hingga saat ini harga gas untuk industri yang tinggi masih menjadi penghambat pertumbuhan industri dalam negeri. Harga gas industri yang mencapai 9 hingga 11 dolar Amerika per juta British Thermal Unit MMBTU di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN. Padahal Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa penjualan gas untuk industri paling maksimum adalah 6 dollar Amerika per MMBTU.
Kenyataan ini membuat Presiden Joko Widodo prihatin dan diungkapkan dalam Rapat Terbatas tentang 'Ketersediaan Gas untuk Industri', di Kantor Presiden, Jakarta, Senin 6 Januari. Presiden Joko Widodo menawarkan tiga solusi untuk mengatasi persoalan tingginya harga gas untuk kebutuhan industri.
Solusi pertama adalah dengan mengurangi porsi pemerintah dari hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S). Menurut Presiden, cara ini bisa membuat harga gas lebih murah. Ada jatah pemerintah US$ 2,2 per MMBTU, kalau jatah pemerintah ini dikurangi atau bahkan dihilangkan maka harga akan lebih murah.
Cara kedua adalah memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yaitu kewajiban badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk menyerahkan sebagian minyak dan gas bumi dari bagiannya kepada negara melalui badan pelaksana.
Sedang cara ketiga adalah membebaskan bea impor gas untuk memudahkan industri.
Presiden memberi waktu kepada jajaran terkait sampai Maret tahun ini untuk segera menekan harga gas industri.
Presiden Joko Widodo patut kecewa dengan harga gas industri yang tak kunjung turun. Ada enam sektor industri di Indonesia yang menggunakan 80 persen gas untuk berproduksi, yaitu industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, dan industri gelas. Harga gas yang tinggi sangat berpengaruh pada daya saing produk industri Indonesia di pasar dunia. Produk-produk Indonesia kalah bersaing dengan produk negara lain hanya gara-gara harga gas yang mahal.
Lemahnya daya saing produk juga akan mempengaruhi lapangan kerja yang tersedia. Ditambah berbagai persoalan lain maka muara dari persoalan yang saling berkait ini adalah kesejahteraan rakyat yang rendah.
Opsi yang ditawarkan Presiden Joko Widodo diharapkan dapat menyelesaikan masalah tingginya harga gas industri. Namun penting juga pemerintah meneliti adakah oknum-oknum yang bermain di sektor ini yang membuat harga gas industri mahal untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Menjelang akhir 2019, Indonesia dikejutkan dengan masuknya kapal asing coast guard Tiongkok dan kapal nelayannya ke wilayah Natuna. Tiongkok menganggap dengan prinsip Nine Dash Lines (sembilan garis putus/imajiner ) dari titik terluar Tiongkok maka perairan Natuna masuk wilayah Tiongkok.
Bukan Kali ini saja wilayah laut Indonesia yg kaya hasil laut disambangi kapal asing khususnya untuk tujuan illegal fishing. Ketika Susi Pujiastuti masih menjadi Menteri Kelautan Dan Perikanan di kabinet yang lalu, kapal asing yang mencuri ikan di wilayah Indonesia bahkan sampai ditenggelamkan. Tapi Kali ini beda, Tiongkok tidak cuma mengambil hasil laut secara illegal, tapi juga mengklaim wilayah laut Indonesia sebagai miliknya. Bahkan ketika Kementerian Luar Negeri RI sudah mengeluarkan Nota protest atas tindakan ini, Tiongkok masih bertahan dengan dalil Nine Dash Lines nya.
Maka, langkah Diplomasi lah yang kini harus lebih intensif, di samping tentunya patroli di laut Natuna pun harus diperkuat. Menteri Luar Negri Indonesia Retno Marsudi sudah mengingatkan Tiongkok bahwa mereka juga terikat dengan Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982, yang memastikan titik-titik terluar dari Indonesia, lengkap dengan Zona Ekonomi Ekslusif. Klaim Tiongkok atas perairan Natuna yang mengacu pada nine dash-line. tidak berlandaskan hukum internasional yang diakui Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Tiongkok adalah salah satu negara anggota UNCLOS yang punya kewajiban menghormati implementasinya.
Ada yang mengatakan Tiongkok berani melakukan manuver di Natuna karena investasi yang dijanjikan Tiongkok untuk Indonesia cukup tinggi. Tidak jelas benar di mana hubungannya. Namun selayaknya persoalan besaran investasi Tiongkok di Indonesia ini tidakmenjadi pemberat dalam sikap RI menghadapi manuver Tiongkok di wilayah Natuna, Karena betapapun, kedaulatan bangsa Indonesia adalah yang utama.