Untuk mempermudah kerjasama antara Indonesia dan Djibouti, diluncurkan sebuah wadah yang bernama Indonesia-Djibouti Business Connect (IDBC). IDBC merupakan wadah komunikasi dan informasi cepat yang menggalang konektivitas dan eksekusi kerjasama ekonomi melalui aplikasi sosial media secara real time. IDBC diluncurkan oleh Duta Besar Republik Indoneisa untuk Ethiopia, Djibouti, dan Uni Afrika, Al Busyra Basnur saat seminar berjudul Indonesia Economic Update yang diselenggarakan Kedutaan Besar RI Addis Ababa bekerjasama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Djibouti di kota Djibouti, 19 November 2019.
Seperti dikutip laman kemlu.go.id , Dubes Al Busyra Basnur mengatakan IDBC yang diprakarsai oleh KBRI Addis Ababa, menghubungkan pengusaha Djibouti dan Indonesia serta KBRI Addis Ababa selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Disamping itu , peluncuran IDBC juga karena sebagian besar pengusaha Indonesia dan Djibouti belum mengenal baik satu sama lain mengenai potensi kerjasama ekonomi yang bisa mereka gali dan kembangkan dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi bilateral. Seminar itu dihadiri sekitar 50 orang tokoh pengusaha Djibouti, termasuk Ketua Kamar Dagang Djibouti, Youssouf Moussa Dawaleh dan Badoul Hassan seorang pengusaha dan mantan Menteri Djibouti.
Tiga pengusaha Indonesia juga mengikuti seminar ekonomi tersebut melalui video conference, masing-masing Achmad Nusolahardo dari PT Behaestex; Kemas Achmad Mujoko dari PT Rahasia Dana Berkelanjutan, dan Tan Yanto Hendrawan dari CV Banjar Usaha Sukses. Selain video conference, acara ini juga disiarkan live streaming yang diikuti pengusaha Indonesia di berbagai kota dan daerah.
Indonesia dan Djibouti membuka hubungan diplomatik tahun 1979 dan berkembang pesat. Sementara di bidang ekonomi, tahun 2018 nilai perdagangan bilateral kedua negara 211,5 juta dolar Amerika Serikat, surplus bagi Indonesia 99 persen. Djibouti menjadi negara penting bagi Indonesia dan berbagai negara lain di dunia sebagai pintu masuk utama ekspor ke banyak negara Afrika Timur, terutama Ethiopia.
Presiden Joko Widodo memutuskan mengembalikan seluruh kewenangan perizinan investasi dari kementerian kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, sebagai tindak lanjut, para menteri diminta mencabut sedikitnya 40 peraturan menteri yang dianggap menghambat investasi dan kemudahan berusaha paling lambat akhir Desember 2019.
Pramono seusai mengikuti rapat terbatas tentang percepatan kemudahan berusaha, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis pekan lalu mengatakan, Sekretaris Kabinet telah membuat surat secara resmi kepada BKPM sesuai dengan arahan Presiden bahwa sekali lagi kewenangan perizinan menjadi tanggung jawab sepenuhnya BKPM. Menurut Pramono, keputusan itu bertujuan meningkatkan kemudahan berinvestasi atau berusaha di Indonesia.
Dalam laporan Bank Dunia yang dirilis Oktober lalu, peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) di Indonesia berada di peringkat 73, turun dari peringkat 72 di 2018. Pemerintah menargetkan Indonesia berada di peringkat 50 pada peringkat kemudahan berusaha pada 2021, lalu masuk peringkat 40 di tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, Presiden Jokowi menilai perlu ada reformasi perizinan. Pramono menjelaskan, perizinan dibuat di satu pintu yaitu BKPM karena dalam kondisi dunia yang seperti ini tidak mungkin Indonesia bergerak maju kalau hambatan di dalam pemerintahan masih ada.
Sementara itu Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan BKPM sudah mulai mengubah paradigma. Selama ini jika para investor ingin melakukan investasi, BKPM membantu dan mendampingi mengurus perizinannya di kementerian yang selama ini dianggap sulit. Dengan instruksi Presiden Jokowi tersebut diharapkan investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia tidak perlu lagi bolak- balik ke kementerian untuk mengurus suatu perizinan agar bisa berusaha di berbagai wilayah Indonesia.
Bahlil mengatakan, saat dirinya baru menjabat Kepala BKPM, ada investasi existing senilai 708 triliun rupiah yang belum dieksekusi. Setelah sebulan ia menjabat atau hingga pekan lalu sudah ada 89 triliun rupiah investasi yang dieksekusi. Bahlil menambahkan, pemerintah juga akan membentuk sistem satu pintu dalam pengurusan perizinan kapal.
Organisasi Kerjasama Islam, OKI, tahun ini sudah memasuki usia 50 tahun. Peringatan 50 tahun OKI yang semula bernama Organisasi Konferensi Islam, dilaksanakan di Mekah, Arab Saudi. Gubernur Wilayah Mekah, Pangeran Khalid al Faisal menyampaikan pidato mewakili Kelompok Arab, kelompok Afrika dan Kelompok Asia.
Sejak berdirinya di Rabbat Marokko pada 25 September 1969, anggota Organisasi itu terus bertambah. Pertambahan itu tentu mencerminkan adanya harapan agar organisasi negara negara Islam itu dapat berperan aktif dalam memecahkan berbagai persoalan yang ada di negara negara Islam. Tema peringatan yaitu Bersatu untuk Perdamaian dan Pembangunan sesungguhnya relevan dengan keadaan yang ada di sejumlah negara negara anggota.
Konflik Timur Tengah yang terjadi di Suriah masih menunjukkan bahwa persatuan dan perdamaian masih harus diperjuangkan. Perselisihan dan perbedaan garis politik antara negara yang menjadi anggota OKI menjadi salah satu penyebab tidak kunjung selesainya perang saudara yang menghancurkan Suriah dan menyebabkan penderitaan rakyat. Kemiskinan yang masih menimpa rakyat sejumlah negara anggota OKI, menjadikan diksi pembangunan yang menjadi tema peringatan kelahiran OKI tahun ini mencerminkan keinginan mengatasi persoalan yang masih ada.
Acara Ulang tahun OKI ini akan menjadi pengantar bagi diselenggarakannya konferensi tingkat tinggi negara OKI tanggal 8 hingga 9 Desember 2019 di Istanbul Turki. Sebagaimana dilansir surat kabar Turki Hurriyet Daily News, KTT tersebut akan mengangkat tema Investasi untuk Solidaritas dan Pembangunan. Dari tema yang akan diusung, muncul harapan bahwa negara negara OKI akan dapat berkonsentrasi pada pengembangan ekonomi. Pengusaha dari berbagai perusahaan terkemuka di bidang perbankan, konstruksi, pariwisata, dan sektor perdagangan yang beroperasi di geografi OKI, akan menghadiri konferensi tersebut. Juga tentunya 56 negara anggota OKI, serta lima negara pengamat dan organisasi internasional
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional- ATR/BPN Sofyan Djalil melontarkan wacana penghapusan Izin mendirikan Bangunan-IMD dan Analisis Dampak Lingkungan-Amdal saat peringatan Hari Tata Ruang Nasional. Penghapusan IMB dan Amdal ditempuh pemerintah sebagai bentuk penyederhanaan izin yang diharapkan dapat memudahkan investasi. Wacana tersebut diulangi lagi oleh Wakil Menteri ATR Surya Tjandra di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 19 November 2019.
Surya Tjandra menjelaskan, pemerintah saat ini sedang menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Jika RDTR sudah efektif, IMB dan Amdal tak perlu lagi karena sudah tercakup di dalamnya. Meski begitu, diakui masih perlu ada mitigasi karena tak semua daerah siap dengan RDTR. Kesamaan kualitas RDTR di setiap daerah pun belum bisa dipastikan. Jadi memang masih panjang prosesnya. Pemerintah pun masih meminta masukan dari seluruh pemangku kepentingan.
Wacana yang sama dilontarkan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir yang mengatakan, rencana tersebut berada dalam skema perundangan Omnibus Law . Ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang merangkum lebih dari 70 undang-undang. Ditargetkan, draft Omnibus Law telah berada di tangan legislatif sebelum tanggal 12 Desember 2019.
Dalam kurun waktu yang singkat ini, berbagai reaksi masyarakat muncul terhadap rencana penghapusan IMB dan Amdal. Diberitakan setidaknya sudah 7 Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang lingkungan hidup dan bantuan hukum yang keberatan dengan rencana pemerintah itu.
Sebaiknya memang pemerintah menunggu dan mendengarkan aspirasi masyarakat sebelum menghapus IMB dan Amdal demi kepentingan investasi. Regulasi seharusnya bukan untuk menghambat pembangunan. Sebaliknya, regulasi harus mendukung dan membuat aktivitas pembangunan bermanfaat dan aman bagi masyarakat. Jika dirasa IMB dan Amdal menghambat investasi, sebaiknya dikaji ulang dan jika perlu direvisi agar tetap mengedepankan kontrol terhadap keamanan masyarakat dan lingkungan hidup.
Regulasi hendaknya dibuat sedemikian rupa hingga menutup ruang untuk praktek suap dan penyalahgunaan wewenang yang memperlambat birokrasi. Karena praktek-praktek ilegal yang memanfaatkan regulasi inilah yang sebenarnya menghambat investasi.