Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita menyatakan, posisi Indonesia terbuka bagi ide-ide reformasi dan modernisasi Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization -WTO dalam menjalankan fungsinya. Reformasi WTO akan membawa perubahan positif bagi sistem perdagangan multilateral, dan diharapkan tetap mampu mengakomodasi kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut disampaikan Menteri Enggartiasto usai bertemu dengan Direktur Jenderal WTO, Roberto Azevedo, di kantor WTO, Jenewa, Swiss, Kamis (22/11).
Enggartiasto mengatakan, Indonesia terbuka terhadap berbagai ide terkait reformasi WTO, selama dapat mengakomodasi kepentingan seluruh anggota. Oleh karena itu, WTO sebaiknya tidak melupakan dan mengabaikan hal-hal yang belum terselesaikan, seperti perundingan putaran Doha dan hal lainnya, serta tetap memerhatikan kepentingan negara berkembang dan negara kurang berkembang. Sementara itu, sebagai koordinator G-33, Indonesia juga menginginkan agar reformasi WTO juga terus memerhatikan hal-hal seperti kepemilikan saham publik dan mekanisme perlindungan khusus.
Terkait hal tersebut, Menteri Enggartiasto menggarisbawahi tanggapan Direktur Jenderal WTO, Roberto Azevedo, yang menegaskan bahwa WTO tidak akan mengabaikan hal yang belum terselesaikan.
Menteri Enggartiasto menjelaskan, usulan untuk mereformasi WTO didasarkan pada semakin merebaknya ketidakpastian pada sistem perdagangan dunia. WTO juga dinilai semakin melemah dalam menjalankan fungsinya, terutama terlihat dari tidak berkembangnya penyelesaian perundingan putaran Doha, proteksionisme yang banyak dilakukan negara anggota, dan tekanan perdagangan yang meningkat, ancaman blokade Amerika Serikat terhadap pengisian anggota Appellate Body, serta kurang efektifnya sistem monitoring WTO. Dengan demikian, usulan reformasi dan modernisasi mencakup tiga fungsi WTO, yaitu monitoring, mekanisme penyelesaian sengketa, dan negosiasi.
Menteri menambahkan, usulan reformasi dan modernisasi WTO sebelumnya telah disepakati oleh beberapa negara pendukung seperti Kanada, Australia, Brasil, Chile, Jepang, Kenya, Korea, Meksiko, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swiss, dan Uni Eropa melalui pertemuan Komunikasi Bersama di Ottawa, Kanada, 24 dan 25 Oktober lalu.
Terkait dengan monitoring dan transparansi, negara-negara pendukung reformasi WTO berpendapat, sistem monitoring WTO harus diperkuat untuk mengatasi tekanan perdagangan yang meningkat akhir-akhir ini. Menurut Enggartiasto Lukita, Indonesia juga terbuka terhadap usulan penguatan sistem dan transparansi WTO, namun juga dengan catatan agar mempertimbangkan tantangan yang dihadapi negara berkembang supaya mampu memenuhi komitmen ini. Sekian Indonesiaku.
Wakil Ketua MPR, Mahyudin dalam diskusi Empat Pilar di Media Center MPR/DPR/DPD, Jakarta (22/11) seperti dikutipkoranjakarta.com mengatakan pemikiran untuk menghadirkan kembali nilai- nilai moral Pancasila, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Menurut Mahyudin, salah satunya MPR mengusulkan dikeluarkannya keputusan untuk melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan model Garis-garis Besar Haluan Negara melalui kurikulum pendidikan Pancasila di sekolah dasar. Mahyudin menilai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang disosialisasikan MPR RI akan lebih efektif jika dimasukkan dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar. Selain itu, Mahyudin juga meminta pemerintah merancang dan mengimplementasikan ideologi Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Mahyudin menjelaskan agar aspek moralitas anak-anak atau para remaja berada pada lingkungan yang tahu etika. Menurutnya, anak-anak muda saat ini sangat menguasai penggunaan alat-alat elektronik. Ia menjelaskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang paling penting dan mendasar adalah kaya dalam hal pembentukan moral. Menurut Mahyudin kelebihan mata pelajaran moral Pancasila yang diberikan di sekolah, akan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang sekolah di TK dan SD sampai ke pelosok. Mahyudin mengakui, sosialisasi empat pilar yang dilakukan MPR RI ke berbagai daerah di Indonesia, masih terbatas, tempatnya yakni hanya di kota-kota, tidak sampai ke tingkat desa.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ma'ruf Cahyono saat memberikan Seminar Kebangsaan kepada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) (24/11) seperti dikutipindopost.co.id meminta generasi muda untuk memahami demokrasi Pancasila di era digital. Ma'ruf mengatakan generasi millenial itu harus menjadi satu kelompok sasaran utama dan prioritas, karena ini adalah generasi yang meneruskan perjuangan bangsa. Generasi sekarang harus memiliki daya tahan, terutama terhadap pemahaman dan pelaksanaan jati diri bangsa.
Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita menandatangani Pernyataan Bersama (Joint Statement) diselesaikannya perundingan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-European Free Trade Association/EFTA (IE-CEPA), di Sekretariat EFTA,Jenewa, Swiss, Jumat (23/11). Penandatanganan tersebut dilakukan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bersama empat menteri Negara EFTA, yang terdiri dari Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Penandatanganan ini menandai diselesaikannya perundingan antara Indonesia dengan negara-negara EFTA melalui skema Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Menteri Perdagangan Enggartiasto mengatakan, kelima negara sangat berbahagia dan bersyukur perundingan IE-CEPA yang telah memakan waktu tujuh tahun ini akhirnya diselesaikan. Penyelesaian ini merupakan tonggak sejarah bagi hubungan RI dengan ke empat negara EFTA.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita seperti dirilis Kementerian Perdagangan menyatakan langkah selanjutnya adalah melakukan “legal scrubbing” dan penerjemahan sehingga secara teknis dan legal, IE-CEPA siap ditandatangani. IE-CEPA djadwalkan akan ditandatangani di Jakarta pada Desember 2018. Indonesia dan EFTA memang berkomitmen menyelesaikan perundingan pada tahun ini. Oleh sebab itu para perunding bekerja secara intensif menyelesaikan isu-isu yang masih tersisa dan akhirnya perundingan berhasil diselesaikan pada 1 November 2018 di Bali. Dengan IE-CEPA maka akses pasar barang antara Indonesia dan EFTA akan semakin luas, termasuk jasa dan investasi serta kerja sama ekonomi dan pengembangan kapasitas.
Pada perdagangan barang, Indonesia akan memperoleh peningkatan akses pasar ke EFTA, antara lain untuk produk-produk perikanan, industri yaitu tekstil, furnitur, sepeda, elektronik, dan ban mobil, serta pertanian, termasuk kopi dan kelapa sawit. Pada perdagangan jasa, akses pasar bagi para pekerja Indonesia (Intra Corporate Trainee, Trainee, Contract Service Supplier, Independent Professional, serta Young Professional) ke EFTA akan lebih terbuka. Contohnya, sektor jasa yang akan memperoleh keuntungan antara lain jasa profesi, telekomunikasi, keuangan, transportasi, dan pendidikan. Indonesia juga akan memperoleh peningkatan investasi dari negara anggota EFTA pada sektor energi dan pertambangan, permesinan, pertanian, infrastruktur sektor perikanan, kehutanan, industri kimia, dan lain sebagainya.
Selain itu, Indonesia akan mendapatkan kerja sama dan capacity building, misalnya dalam sektor perikanan dan aquamarine, promosi ekspor, pariwisata, UMKM, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), sustainability, maintenance, repair and overhaul (MRO), pendidikan vokasional, dan lainnya. EFTA merupakan kelompok dagang di kawasan Eropa yang belum Indonesia jajaki dan kembangkan potensi pasarnya. Enggartiasto menegaskan, dengan diselesaikannya IE-CEPA, diharapkan pemanfaatan pangsa pasar yang ada di masing-masing negara dapat dioptimalkan serta pintu masuk ke pasar Uni Eropa. Mendag Enggartiasto juga mengharapkan perjanjian ini bisa menciptakan landasan untuk mengejar ketertinggalan dari negara ASEAN lainnya, khususnya Filipina dan Singapura, yang telah menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan EFTA.
Menjadi guru bukan sekedar memiliki profesi. Menjadi guru adalah panggilan hati dalam menjalankan amanah. Hal ini karena guru merupakan suri tauladan masyarakat, sesuai dengan akronim Jawa untuk kata guru, yaitu digugu(diikuti) dan ditiru.
Guru selalu digugu, dalam artian, perkataannya harus bisa dijadikan panutan. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki kewibawaan dan juga wawasan yang cukup tinggi. Karena apapun yang diucapkannya akan dianggap benar oleh siswa maupun masyarakat di sekitarnya. Seorang guru juga harus bisa ditiru ucapannya, semangatnya serta budi pekertinya.
Menjadi guru, terutama di era seperti sekarang ini, memang memiliki tantangan tersendiri. Tidak saja terkait pesatnya teknologi informasi yang berkembang saat ini, namun juga siswa yang dihadapinya, yaitu siswa dari Generasi Y atau milenial, yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997, dan generasi Z, yang lahir sesudahnya atau yang sering disebut sebagai generasi internet.
Sekolah saat ini menjadi lingkungan pembelajaran yang mempertemukan dua generasi yang berbeda. Mereka adalah guru yang berasal dari Generasi X, yang lahir antara tahun 1965-1980, dan siswa dari Generasi Milenial dan Generasi X, yang lahir di era internet.
Pertemuan antara generasi yang berbeda ini jika tidak disikapi dengan cermat, tentu akan menciptakan berbagai benturan. Guru banyak yang memiliki kemampuan minim di bidang teknologi. Cara berpikirnya pun kerap dianggapkalah cepat dalam merespon laju perkembangan arus informasi dan teknologi di banding siswa yang akrab dengan perkembangan teknologi. Guru seperti ini mungkin akan menjadi sosok pendidik yang menjemukan, bahkan akan menghambat tumbuhnya potensi siswa.
Siswa di era milenial kerap dituding memiliki sikap manja, memiliki motivasi belajar yang rendah, dan terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi, komputer atau telepon pintar. Mereka dicap sebagai generasi galau, labil dan tidak konsisten karena mereka tidak betah diam di satu tempat dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengatasi hal ini, sekolah atau guru harus kreatif dalam menciptakan suasana belajar yang nyaman dan tidak kaku. Siswa generasi milenial dan generasi X berbeda dengan generasi sebelumnya yang harus duduk mulai pagi sampai siang di dalam kelas. Sebagai generasi yang akrab dengan dunia digital, mereka memiliki informasi dalam genggaman melalui gawai atau telepon pintar. Artinya, kesempatan belajar tidak harus di dalam kelas. Mereka bisa mengakses informasi di mana saja dan kapan saja. Yang dibutuhkan dari guru adalah pengawasan yang proporsional karena mereka tetap manusia yang membutuhkan feedback atau umpan balik, perhatian dan penghargaan dari guru dan orangtua.
Guru juga tidak lagi selalu berperan sebagai ‘atasan’ yang memberi perintah yang wajib dituruti. Siswa milenial memerlukan figur guru yang peduli, gemar berdiskusi dan memberikan bimbingan dalam komunikasi yang sejajar dan tidak memberi nasehat yang menggurui.
Di atas semua itu, kompetensi guru harus ditingkatkan terutama dalam penguasaan teknologi informasi sehingga pengetahuan guru semakin meningkat yang tentu saja akan berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan.