Amerika Serikat merasa tidak nyaman melihat nilai Yuan yang merosot. Menteri Keuangan Amerika Serikat Steven Mnuchin, Rabu (10 Oktober 2018) di Nusa Dua, Bali, memperingatkan China agar tidak melakukan devaluasi nilai mata uang Yuan. AS ingin agar tindakan moneter ini masuk dalam agenda perdagangan AS-China.
Sebenarnya devaluasi nilai mata uang Yuan oleh RRC bukan hanya terjadi sejak AS memberlakukan tarif atas produk-produk RRC saja. Beberapa tahun sebelumnya RRC juga mendevaluasi mata uang Yuan atas US Dollar. Bulan Agustus tahun 2015 tindakan ini sudah dilakukan oleh RRC dengan tujuan untuk setidaknya mendongkrak kinerja ekspor RRC yang menurun. Yuan yang lebih lemah membuat produk-produk buatan RRC dapat bersaing di pasar global.
Saat hal itu dilakukan, Trump belum berkuasa di AS dan belum memulai perang dagang dengan RRC. Namun akibat dari devaluasi Yuan saat itu adalah, aliran dana sebesar 8 trilliun US Dollar terhisap dari bursa di seluruh dunia. Bulan April lalu, Presiden AS Donald Trump menuduh Russia dan RRC sengaja mendevaluasi mata uang mereka, pada saat AS menaikkan suku bunga.
Sejak Trump duduk di tampuk pimpinan AS Januari 2017, nilai Dollar sebenarnya sudah turun terhadap Yuan lebih dari 8%.
Mengapa Amerika Serikat keberatan dengan devaluasi Yuan, Rubel atau mata uang asing lainnya? Jawabannya adalah, jika nilai mata uang asing rendah maka produknya lebih kompetitif. Suku bunga di AS yang tinggi membuat nilai dollar naik dan membuat produk AS menjadi lebih mahal.
Selain itu, jika Yuan didevaluasi maka penerapan tarif tinggi
yang diberlakukan Trump terhadap produk-produk dari RRC tidak akan ada gunanya. Hal ini disebabkan harga produk RRC yang tadinya tinggi karena tarif AS, menjadi turun karena nilai Yuan yang rendah membuat penerapan tarif ikut menurun. Selain itu karena Yuan atau Rubel yang nilainya mungkin sengaja diturunkan,
Indonesia tidak menurunkan nilai uangnya. Namun kebutuhan akan dollar untuk pembayaran hutang dan produk impor membuat nilai dollar naik cukup signifikan. Sebenarnya di sisi lain, hal ini membuat nilai produk Indonesia lebih kompetitif. Pertanyaannya, akankah Indonesia mengambil peluang penurunan nilai rupiah ini untuk mendorong pendapatan walaupun ada perlambatan ekonomi akibat perang dagang AS-RRC ini?.
Survei ekonomi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi pada 2018 menyebutkan utang Pemerintah Republik Indonesia tergolong masih rendah dan terjaga. Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria saat peluncuran OECD Economic Survey Indonesia 2018 dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-WBG di Nusa Dua, Bali, Rabu, memaparkan hasil survei ekonomi OECD di Indonesia yang salah satunya terkait utang pemerintah.
Angel Gurria mengatakan, adanya aturan terkait defisit anggaran telah menahan pertumbuhan utang. Namun, pengeluaran tambahan untuk infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosial terkendala oleh rendahnya pendapatan. Oleh karena itu menurut Gurria, sumber daya harus didapatkan melalui efisiensi yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar.
Angel Gurria menjelaskan tingkat kepercayaan kepada pemerintah Indonesia lebih tinggi daripada semua negara-negara OECD. Survei ekonomi Indonesia oleh OECD dilakukan secara berkala setiap dua tahun sejak 2008. Survei tahun 2018 ini juga menandai peringatan 10 tahun kolaborasi pemerintah Indonesia dengan OECD dalam program ini.
Secara umum OECD mencatat standar hidup di Indonesia juga terus meningkat. Hal itu disebutkannya berkat ekspansi ekonomi yang kokoh dan kebijakan pemerintah yang baik, sehingga angka kemiskinan dan ketimpangan makin menurun, dengan akses pada layanan publik makin meluas. OECD juga mencatat pendapatan per kapita yang tumbuh makin kuat di Indonesia, meski sayangnya kesenjangan infrastruktur masih besar dan belanja kesehatan serta bantuan sosial perlu ditambah lagi demi meningkatkan inklusifitas. Menurut Angel Gurria kesejahteraan juga akan lebih baik jika capaian hasil terkait lingkungan lebih mendapat perhatian.
Ia menambahkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia diperkirakan akan terus solid di kisaran lima persen per tahun yang dipertahankan sejak 2013 didorong oleh faktor konsumsi dan akhir-akhir ini juga didorong oleh investasi infrastruktur yang memang dibutuhkan. Sementara inflasi tahunan berada di tengah-tengah rentang 3,5 persen (plus minus 1 persen).
Angel Gurria mengatakan, survei Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi ini juga dilakukan dengan mengakomodasi dua faktor penting. Meningkatkan pendapatan publik untuk pertumbuhan secara bersahabat, dan mengembangkan pariwisata dalam rangka mempromosikan keberlangsungan pembangunan daerah.
Menanggapi survey OECD tersebut, Sri Mulyani mengatakan ia sangat senang bahwa pandangan umum OECD terhadap ekonomi Indonesia sangat positif dan sangat menginspirasi. Sri Mulyani mengungkapkan, hal yang patut diperhatikan dalam hasil survei ekonomi Indonesia oleh OECD adalah keadaan ekonomi Indonesia menunjukkan hasil pertumbuhan positif meski sedang mengalami tekanan penurunan ekonomi global. Survei ini, menurut Sri Mulyani, menekankan agar pemerintah harus menaikkan pendapatan, memperkuat pemuda sebagai aset pembangunan yang belum termanfaatkan, serta memperkuat sektor pariwisata. Menurut Sri Mulyani kemitraan dengan OECD ini adalah kesempatan untuk membagi pengalaman secara dua arah mengenai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
OECD adalah organisasi 36 negara maju secara ekonomi. Sri Mulyani menjelaskan pengalaman pembangunan negara anggota OECD dapat dipelajari Indonesia. Sri Mulyani juga mengatakan, Indonesia menjalin kerjasama dengan OECD karena sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia yang senang belajar dan senang berbagi pengalaman.
Survei ekonomi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi pada 2018 menyebutkan utang Pemerintah Republik Indonesia tergolong masih rendah dan terjaga. Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria saat peluncuran OECD Economic Survey Indonesia 2018 dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-WBG di Nusa Dua, Bali, Rabu, memaparkan hasil survei ekonomi OECD di Indonesia yang salah satunya terkait utang pemerintah.
Angel Gurria mengatakan, adanya aturan terkait defisit anggaran telah menahan pertumbuhan utang. Namun, pengeluaran tambahan untuk infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosial terkendala oleh rendahnya pendapatan. Oleh karena itu menurut Gurria, sumber daya harus didapatkan melalui efisiensi yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar.
Angel Gurria menjelaskan tingkat kepercayaan kepada pemerintah Indonesia lebih tinggi daripada semua negara-negara OECD. Survei ekonomi Indonesia oleh OECD dilakukan secara berkala setiap dua tahun sejak 2008. Survei tahun 2018 ini juga menandai peringatan 10 tahun kolaborasi pemerintah Indonesia dengan OECD dalam program ini.
Secara umum OECD mencatat standar hidup di Indonesia juga terus meningkat. Hal itu disebutkannya berkat ekspansi ekonomi yang kokoh dan kebijakan pemerintah yang baik, sehingga angka kemiskinan dan ketimpangan makin menurun, dengan akses pada layanan publik makin meluas. OECD juga mencatat pendapatan per kapita yang tumbuh makin kuat di Indonesia, meski sayangnya kesenjangan infrastruktur masih besar dan belanja kesehatan serta bantuan sosial perlu ditambah lagi demi meningkatkan inklusifitas. Menurut Angel Gurria kesejahteraan juga akan lebih baik jika capaian hasil terkait lingkungan lebih mendapat perhatian.
Ia menambahkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia diperkirakan akan terus solid di kisaran lima persen per tahun yang dipertahankan sejak 2013 didorong oleh faktor konsumsi dan akhir-akhir ini juga didorong oleh investasi infrastruktur yang memang dibutuhkan. Sementara inflasi tahunan berada di tengah-tengah rentang 3,5 persen (plus minus 1 persen).
Angel Gurria mengatakan, survei Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi ini juga dilakukan dengan mengakomodasi dua faktor penting. Meningkatkan pendapatan publik untuk pertumbuhan secara bersahabat, dan mengembangkan pariwisata dalam rangka mempromosikan keberlangsungan pembangunan daerah.
Menanggapi survey OECD tersebut, Sri Mulyani mengatakan ia sangat senang bahwa pandangan umum OECD terhadap ekonomi Indonesia sangat positif dan sangat menginspirasi. Sri Mulyani mengungkapkan, hal yang patut diperhatikan dalam hasil survei ekonomi Indonesia oleh OECD adalah keadaan ekonomi Indonesia menunjukkan hasil pertumbuhan positif meski sedang mengalami tekanan penurunan ekonomi global. Survei ini, menurut Sri Mulyani, menekankan agar pemerintah harus menaikkan pendapatan, memperkuat pemuda sebagai aset pembangunan yang belum termanfaatkan, serta memperkuat sektor pariwisata. Menurut Sri Mulyani kemitraan dengan OECD ini adalah kesempatan untuk membagi pengalaman secara dua arah mengenai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
OECD adalah organisasi 36 negara maju secara ekonomi. Sri Mulyani menjelaskan pengalaman pembangunan negara anggota OECD dapat dipelajari Indonesia. Sri Mulyani juga mengatakan, Indonesia menjalin kerjasama dengan OECD karena sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia yang senang belajar dan senang berbagi pengalaman.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif bagus di tengah panasnya tensi perdagangan dan pelambatan ekonomi global. IMF memperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini masih mampu tumbuh diatas 5 persen. Laporan World Economic Outlook (WEO) IMF terbaru memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi global tahun ini stagnan di level 3,7 persen. IMF pun merevisi proyeksi ekonomi global 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Sedangkan ekonomi Indonesia pada 2018 diprediksikan tumbuh 5,1 persen atau lebih rendah daripada proyeksi IMF pada April 2018 yang sebesar 5,3 persen. Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld dalam konferensi pers di pertemuan Tahunan IMF– World Bank di Nusa Dua Bali Selasa (9/10) mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia direvisi seiring menurunnya perekonomian global. Hal itu karena Indonesia akan terpengaruh oleh pengetatan kebijakan moneter di dunia, harga minyak, hingga perang dagang. Meski demikian, ia melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup kuat.
Berdasarkan laporan WEO, Indonesia yang dikelompokkan IMF ke dalam ASEAN-5 memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga. Negara ASEAN-5 yang dimaksud adalah Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari Malaysia dan Thailand hingga 2019. Obstfeld mengatakan, IMF juga melihat Indonesia mampu menjaga laju pertumbuhan secara konsisten. Dia menyebut, ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih tinggi apabila mampu memanfatkan segala potensi yang dimiliki. Indonesia memiliki pertumbuhan penduduk. Indonesia akan mendapatkan penerimaan pajak yang banyak. Menurut Obstfeld, keseriusan pemerintah membangun infrastruktur diangap menjadi pemikat investor untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Ia menegaskan, ekonomi Indonesia masih kuat karena nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara–negara rekan dagang selain Amerika Serikat, terdepresiasi hanya sekitar 4 persen sejak awal tahun. Adapun depresiasi terhadap dolar Amerika mencapai 10 persen. Selain itu, tingkat inflasi dinilai masih terjaga ditengah pelemahan nilai tukar.
Sehari sebelumnya Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menilai perekonomian Indonesia saat ini sudah dikelola dengan sangat baik sehingga IMF tidak merasa perlu memberikan pinjaman kepada Indonesia.
Penegasan yang sama disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Senin. Menurut dia, Indonesia tidak akan berutang kepada IMF karena pinjaman lembaga keuangan internasional tersebut hanya diberikan untuk negara yang tengah mengalami krisis neraca pembayaran. Menurut Sri Mulyani pemerintah sudah memiliki langkah antisipasi didalam menghadapi resiko global, termasuk menjalankan policy mix antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Ia yakin respon Bank Indonesia terhadap kenaikan suku bunga Amerika Serikat mampu menjaga tingkat ketertarikan pasar untuk tetap berinvestasi di Indonesia.