VOI NEWS Masyarakat penganut kepercayaan Merapu di Desa Welibo, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) punya tradisi unik yang digelar pada bulan Oktober setiap tahunya. Mereka menggelar ritual Magowo Libu Watu. Dalama Bahasa setempat, Magowo berarti penangkapan ikan secara massal, sedang Libu Batu merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Welibo, Desa Welibo. Jadi sebenarnya ritual ini merupakan kegiatan penangkapan ikan secara massal yang dilakukan warga di Libu Batu.
penangkapan ikan secara massal (Magowo) di Libu Watu hanya berlangsung sekali dalam satu tahun, yaitu pada Oktober. Purnama pertama pada Oktober merupakan awal bulan suci dalam budaya Marapu di Lamboya. Para rato (ketua adat) menentukan waktu pelaksanaan magowo. Ada pun warga yang terlibat di dalam kegiatan itu adalah gabungan dari delapan suku besar di Kecamatan Lamboya. Delapan suku tersebut adalah Anamalangta, Ubbu Teda, Marapati, Kabba, Ubbu Maleha, Welowa, Kadengara, dan Wehola.
Setelah waktu yang ditentukan tiba, mengawali ritual, tiga orang laki-laki melemparkan irisan daging buah kelapa yang berbentuk dadu ke dalam sungai. Daging kelapa tersebut merupakan umpanan untuk ikan dalam kepercayaan adat Marapu di Kecamatan Lamboya. Setelah itu, ketiga orang tersebut menebarkan jala secara berurutan ke dalam air. Hal itu sebagai ritus pembukaan upacara penangkapan ikan secara massal di Libu Watu. Sementara ratusan warga lain tampak berjejer. Sebagian besar warga bersiaga sambil memegang alat penangkap ikan tradisional. Laki-laki memegang jala dan wanita menenteng auta. Auta merupakan jala yang punyai pegangan berbentuk bulat. Pegangan itu terbuat dari bahan rotan dan kayu. Setelah itu mereka menebar jala dan auta. Bagi warga yang tidak punya alat menangkap ikan. Mereka menangkap ikan dengan cara hajame (meraba-raba) Uniknya, hampir semua orang mendapatkan ikan. Meskipun dilakukan secara serempak di tempat yang sama. Setiap warga yang mendapatkan ikan besar diarak dengan menuju pinggir kolam. Ikan hasil tangkapan disimpan di dalam tempat khusus yang disebut kaleku. Setiap warga akan pulang apabila hasil tangkapannya sudah mencukupi, sesuai ketentuan adat Marapu.
Hari Ini Dalam Sejarah kami awali dengan 22 Oktober 1939 Hamengkubuwono VIII, raja Kesultanan Yogyakarta meninggal dunia.
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (delapan) adalah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939. Ia bernama asli Gusti Raden Mas Sujadi. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta tanggal 8 Februari 1921. Pada masa pemerintahannya, ia banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Ia merupakan salah satu orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kota Yogyakarta yang mendukung perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai bentuk loyalitasnya pada Islam. Ia meninggal pada 22 Oktober 1939.
Beralih ke tanggal 22 Oktober, Hari Santri Nasional.
Peringatan ini, ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta. Penetapan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk meneladankan semangat jihad kepada para santri tentang keindonesiaan yang digelorakan para ulama. Tanggal itu merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Di belakang tentara Inggris, ada pasukan Belanda yang ikut membonceng.
Kami akhiri Hari Ini dalam Sejarah dengan Hari Kesadaran Gagap Internasional.
22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesadaran Gagap Internasional atau International Stuttering Awareness Day (ISAD) pada tahun 1998. Hari ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa sekitar satu persen dari populasi dunia memiliki gangguan bicara gagap. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di majalah Komunitas Inggris untuk menandai Hari Kesadaran Gagap Internasional, Irina Papencheva dari Asosiasi Gagap Bulgaria dan Phil Madden dari Asosiasi Penyedia Layanan Eropa untuk Penyandang Cacat menuntut awal yang baru dalam sikap terhadap gagap. Mereka mengatakan, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menyadari, menjadi peka dalam percakapan dan pertemuan kita dan untuk mengingat bahwa gagap adalah" tidak lucu ".
VOI KOMENTAR Ancaman kejahatan lintas negara menjadi masalah internasional di tengah pandemi Covid-19. Salah satu bentuk kejahatan terorganisir lintas negara yang menjadi sorotan dalam kondisi pandemi ini adalah tindak pidana perdagangan orang (trafficking in persons). Tindak pidana ini perlu diwaspadai. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa -PBB, tindak pidana perdagangan manusia perlu diwaspadai karena para pelaku perdagangan orang mengambil keuntungan di tengah pandemi COVID-19 dengan mengincar kalangan pekerja migran yang kehilangan pekerjaan hingga anak-anak yang putus sekolah.
Perlambatan ekonomi global mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, termasuk pekerja migran. Kondisi ini berisiko dieksploitasi oleh kelompok kejahatan terorganisir transnasional.
Menurut data PBB, banyak diantara 164 juta pekerja migran di seluruh dunia saat ini terlantar di luar negeri dan tidak dapat pulang ke Negara mereka, atau tidak ingin mencari pertolongan, karena penutupan batas negara dan kebijakan imigrasi yang ketat, sehingga mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia.
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah pekerja migran asal Indonesia di luar negeri pada 2019 mencapai 276.553 orang. Data tersebut merupakan data pengiriman pekerja migran di luar negeri yang bekerja dengan dokumen resmi.
Selama masa pandemi Covid-19, ada banyak pekerja migran asal Indonesia di luar negeri yang kena dampak. Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, ada dua kelompok pekerja migran asal Indonesia di luar negeri yang terdampak oleh pandemi Covid-19, yakni kelompok migran yang bekerja sebagai awak kapal, terutama mereka yang bekerja di kapal pesiar dan kelompok pekerja migran yang mobilitasnya terbatas. Para pekerja migran asal Indonesia di 16 negara terkena dampak oleh karena kebijakan pembatasan mobilitas.
Apa upaya perlindungan Negara terhadap pekerja migran asal Indonesia di luar negeri yang terdampak pandemi Covid-19 agar tidak dieksploitasi oleh kelompok kejahatan terorganisir transnasional?
Indonesia sudah memiliki aturan hukum yang cukup untuk melindungi warga, khususnya para pekerja migran dari perdagangan manusia. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Undang-undang ini menjadi instrumen perlindungan sebagai bentuk kehadiran Negara dalam memberikan pelayanan dan perlindungan bagi setiap pekerja migran.
Dalam implementasi Undang-Undang ini, diperlukan kemitraan dengan semua pihak. Kemitraan ini mencakup kerjasama erat dengan aparat penegak hukum, sektor swasta, serikat buruh, badan yang melakukan rekrutmen tenaga kerja hingga badan yang mengawasi pengiriman tenaga kerja. Selain itu, kerjasama internasional dalam mencegah kelompok kejahatan terorganisir transnasional yang memanfaatkan situasi saat ini perlu semakin ditingkatkan.
VOI PESONA INDONESIA Dalam sidang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 6 hingga 9 Oktober kemarin, Tiga warisan budaya Kota Denpasar, Bali ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia 2020. Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, IGN Bagus Mataram mengatakan, tiga karya budaya ini yakni tradisi Nanda, kesenian Genggong, dan kesenian Gambuh Pedungan. Edisi pesona Indonesia kali ini akan memperkenalkan kepada anda salah satu dari tiga warisan budaya kota Depansar tersebut, yakni kesenian Genggong.
Genggong merupakan seni musik tradisional di Banjar Pegok Sesetan, Denpasar. Kesenian ini sudah ada sekitar tahun 1930an, dimainkan oleh I Ketut Regen (Pekak Danjur). Genggong memiliki bunyi dan teknik yang khas dalam memainkannya, yaitu dengan cara menempelkan pada mulut sambil menggetarkan melalui tarikan (ngedet) tali serta menggunakan metode resonansi tenggorokan untuk menghasilkan nada. Genggong pada awalnya terbuat dari pelepah daun enau (nguyung) yang sudah kering, dibentuk sedemikian rupa dengan ukuran panjang sekitar 18 hingga 20 centimeter dan lebar sekitar 1,5 hingga 2 centimeter. Karena kini sulit mendapatkan pelepah daun enau, sehingga saat ini diganti menggunakan bambu.
Genggong di Banjar Pegok Sesetan dahulu dimainkan untuk menghibur diri sebagai pengisi waktu beristirahat ketika selesai beraktivitas di sawah, karena memang masyarakat setempat mayoritas beprofesi sebagai petani. Selain itu juga sebagai ajang bersosialisasi, bertemu sapa, dan hingga menjalin cinta kasih. Kini fungsinya sedikit bergeser. Gengong kini sering dimainkan sebagai pengiring tarian bersama instrument musik lainnya serta sebagai media hiburan masyarakat.