Komentar

Komentar (890)

09
January

 

VOI KOMENTAR Tahun 2018, 171 daerah di Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak. Ini merupakan Pilkada serentak ke tiga, setelah pilkada serentak pada tahun 2015 dan 2017. Penyelenggaraan Pilkada tanggal 27 Juni 2018 terasa berbeda dari dua pilkada sebelumnya, karena berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilihan Presiden tahun 2019.

 

Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, ada 158 juta pemilih yang akan berpartisipasi pada Pilkada 2018, hampir 80% dari total pemilih nasional. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan Pilkada 2015 dengan total 96 juta pemilih, dan Pilkada 2017 dengan total 41 juta pemilih.

 

Pilkada serentak tahun ini tidak hanya diikuti kandidat laki-laki, tapi juga kandidat perempuan. Namun,  banyak yang mengatakan bahwa partisipasi politik perempuan dalam pilkada serentak tahun ini kurang menjadi perhatian para elite politik. Partai-partai politik lebih memperhatikan aspek elektabilitas dan kekuatan modal dalam mencalonkan kadernya. Mereka  cenderung menggunakan pilkada 2018 sebagai barometer untuk sukses pada Pemilihan Presiden tahun 2019 mendatang.  Persyaratan elektabilitas dan kekuatan modal ini diberlakukan sama antara kandidat laki-laki dan kandidat perempuan. Akibatnya, peluang pencalonan perempuan dalam pilkada semakin kecil karena politisi perempuan umumnya kurang dikenal dan tidak mempunyai modal besar.

 

Sebuah diskusi bertajuk  “Peluang Calon Perempuan Dalam Pilkada 2018”, diadakan pada hari Minggu, 7 Januari, di Jakarta. Menurut Lena Maryana, politisi Partai Persatuan Pembangunan yang hadir,  kondisi politik memang  kian meninggalkan perempuan Indonesia. Ini  tercermin dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang keterwakilan perempuan sebesar 30% yang hanya berlaku di tingkat pusat, padahal di UU Pemilu sebelumnya, keterwakilan perempuan sebesar 30% diatur hingga tingkat kabupaten/kota.

 

Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Namun, dalam konteks Pilkada 2018, keterlibatan perempuan belum terwujud sebagaimana diharapkan.

    

Menurut Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (Ansipol), Yudha Irlang Kusumaningsih, keikutsertaan perempuan dalam pilkada serentak 2018 akan melahirkan banyak kebijakan yang menunjukkan keberpihakan pada perempuan. Khususnya  jika kandidat-kandidat itu terpilih menjadi kepala daerah. Kebijakan yang menunjukkan keberpihakan kepada perempuan diperlukan, mengingat pemberdayaan perempuan adalah satu dari 17 tujuan pembangunan keberlanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) global periode 2016-2030. Yaitu  untuk meningkatkan kesejahteraan secara merata. Poin ke lima dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan. Salah satu caranya, dengan menjamin partisipasi   penuh   dan   efektif, serta kesempatan   yang   sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat.

 

Menurut Yudha, pemberdayaan perempuan pada tingkat pemerintah daerah juga dinilai mendesak, karena perempuan saat ini dinilai masih belum setara dari kaum laki-laki. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan, drop out sekolah, penghasilan, hingga gizi perempuan masih buruk dibanding pria. Sangat penting bagi perempuan untuk maju di pilkada, sebagai kepala daerah atau pun wakilnya, entah itu gubernur, bupati, atau wali kota. Dengan demikian apabila ada   masalah yang menyangkut  perempuan, akan  dapat ditangani oleh perempuan pula.

 

08
January

 

 

VOI KOMENTAR Indonesia pernah mengalami masa swasembada pangan, khususnya beras, pada dekade 1980-an. Bahkan saat itu, Organisasi Pangan Dunia, FAO memberikan penghargaan istimewa kepada pemerintah Indonesia atas prestasi luar biasa tersebut. Namun, bertahun-tahun sesudah itu prestasi swasembada beras nampaknya sulit terulang. Bahkan tidak jarang Indonesia harus mengimpor beras dari negara tetangga, misalnya Thailand dan Vietnam.

 

 

Di masa pemerintahan Presiden Joko  Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla keinginan Indonesia untuk kembali berswasembada pangan, terutama beras, cabai, jagung dan bawang, kemungkinan akan segera terkabul. Di awal tahun 2018, Indonesia menggaungkan kembali swasembada pangan seperti yang pernah dikatakan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman beberapa waktu lalu.

 

Keinginan tersebut semakin diperkuat dengan penyataan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Momon Rusmono. Usai panen tanaman padi di Desa Kutuk, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Minggu (07/01/2018), Momon Rusmono mengatakan wacana impor beras dinilai belum mendesak dibutuhkan karena hasil panen tanaman padi saat ini cukup melimpah.

 

Secara nasional, Momon menyatakan, stok beras bisa mencapai sejuta ton, sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama dua hingga tiga bulan mendatang. Terlebih pada bulan depan akan ada panen raya, sehingga target tahun 2018 untuk penyerapan 3,7 juta ton beras  oleh Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) kemungkinan besar  bisa dicapai. Apabila ini terjadi,  hingga tahun depan Indonesia tidak akan lagi kekurangan beras, dan target swasembada pangan pun  bisa terpenuhi.

 

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pertanian RI, untuk mencapai swasembada pangan.  Antara lain  melalui program Upaya Khusus (Upsus) swasembada pangan 2015-2017 dengan fokus tiga komoditas, yakni padi, jagung, dan kedelai (pajale). Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk menambah luas area tanam. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas tanam secara nasional pada Juli-September 2017 mencapai 1 hingga 1,1 juta hektare per bulan.  Naik dua kali lipat dibandingkan dengan periode sebelum ada program Upsus,  yakni  hanya 500.000 hektare per bulan.

 

Tentu saja keinginan Indonesia untuk bisa kembali menjadi negara yang berswasembada pangan terutama beras, bukanlah keinginan muluk yang tak mungkin tercapai. Tetapi juga tidak  semudah seperti membalikkan telapak tangan. Butuh kerjakeras Pemerintah dan juga dukungan dari berbagai pihak seperti para penyuluh pertanian, petani, pedagang dan para pemangku kepentingan lainnya

02
January

Menutup tahun 2017, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengungkapkan bangsa Indonesia telah bekerja keras sepanjang tahun 2017. Dalam pesan yang diunggah dalam akun facebooknya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan saat ini dan tahun-tahun mendatang, bangsa Indonesia sedang  berlayar menuju cita-cita negara maju dengan membangun manusia Indonesia, yang unggul, tangguh, dan bermartabat. Presiden Joko Widodo juga menyampaikan harapan agar bangsa Indonesia  mendapatkan energi dan semangat yang baru dalam menyongsong Tahun Baru 2018. 

Sejak awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan semangat kerja keras dengan ajakannya “kerja, kerja, kerja.” Kerja keras memang harus terus  dilakukan untuk mencapai apa yang ditargetkan. Tahun ini misalnya, pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen atau meningkat 0,3 persen dari target 2017 sebesar 5,1 persen.

Target tersebut dianggap beberapa pihak terlalu tinggi. Namun mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal September 2017, angka 5,4 memang optimistis, tetapi tetap realistis. Bangsa Indonesia memang harus optimis mencapai target itu. Diperkirakan, investor asing akan menunggu hingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah – pilkada serentak di 171 daerah selesai,  sebelum  berinvestasi di Indonesia. Namun dengan kerja keras pemerintah optimistis akan mencapai target yang telah ditentukan. Hal ini  antara lain karena didukung   kinerja pertumbuhan ekonomi domestik yang hingga kini relatif stabil dan cenderung menguat.

Kerja keras lainnya adalah menjadi tuan rumah dua  perhelatan berskala internasional, yaitu Asian Games ke 18 dari  18 Agustus – 2 September 2018, dan pertemuan tahunan International Monetary Fund–IMF dan Bank Dunia. Saat itu, perhatian Asia dan dunia tentu akan tertuju pada Indonesia. Karenanya, Indonesia harus membuktikan mampu menyelenggarakan kedua perhelatan tersebut dengan sukses.. 

Semangat dan energi baru diharapkan akan mendorong bangsa Indonesia dengan segala unsurnya untuk bekerja keras mencapai segala target. Baik itu  pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak yang damai dan aman, sukses  menyelenggarakan Asian Games ke 18, dan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia.

Terkait  Asian Games ke 18, Indonesia diharapkan bukan hanya sukses sebagai penyelenggara, tetapi juga sukses meraih target medali. Setidaknya dapat  menjadi sepuluh besar  dan mencatat prestasi baru di bidang olahraga. Semua ini hanya akan tercapai dengan kerja keras.

 

 

04
January

 

VOI KOMENTAR Presiden Joko Widodo  membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Badan ini dibentuk melalui Peraturan Presiden nomor 53 tahun 2017 yang kemudian direvisi Perpres nomor 133 tahun 2017. Dalam peraturan tersebut, Kepala BSSN dan wakilnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ancaman di dunia maya adalah ancaman yang tanpa batas. Ancaman serius terkait siber adalah ancaman teroris dan peperangan via siber. 

Terkait dengan pembentukan tersebut, Presiden Joko Widodo mengatakan keberadaan BSSN  sangat penting dan ke depannya sangat diperlukan oleh negara, terutama dalam mengantisipasi perkembangan dunia siber yang pertumbuhannya cepat sekali di dunia. Selain itu, ancaman ancaman semakin beragam dari perkembangan siber di luar negeri.  Sehingga Indonesia harus segera menjawab tantangan tersebut. 

Sebelumnya, Marsekal Hadi Tjahjanto, dalam pemamparan visi dan misi nya di depan Komisi I DPR, mengatakan terorisme, ancaman peperangan, konflik  merupakan tantangan global yang harus diwaspadai. Dari ancaman tersebut jenis  Hybrid War adalah perang yang mencampurkan perang konvensional, ireguler, dan siber. Marsekal Hadi juag menyebutkan  perkembangan teknologi informatika yang sangat cepat juga semakin menunjang gerak individu atau kelompok terorisme untuk merealisasikan kepentingannya. Di sisi lain, perang di dunia maya (cyber warfare) juga harus menjadi pertimbangan utama dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pertahanan dan keamanan nasional.


Sementara itu, saat acara Pembahasan Policy Paper Diplomasi Siber Indonesia: Kini dan Nanti, November 2017, di Yogyakarta, Kementerian Luar Negeri menyatakan diplomasi siber mutlak diperlukan untuk merespons tantangan dan permasalahan yang muncul akibat perkembangan teknologi siber yang tidak dapat dipisahkan dari bagian masyarakat modern saat ini. Sehubungan dengan hal tersebtu, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar Negeri,  Fikry Cassidi mengatakan secara nasional tantangan teknologi siber direspons dengan baik oleh  pemerintah. Menurutnya, policy paper disusun untuk mendukung kebijakan nasional di bidang siber dengan memberikan sumbangsih gagasan pada pendefinisian posisi dan strategi diplomasi siber Indonesia.

 

Sejati teknologi dunia maya memang berkembang cepat tanpa batas batas yang jelas. Jadi memang sudah seharusnya Pemerintah menjawab dan pro aktif dalam penyusunan tata kelola siber melalui forum multilateral dan regional. Tanpa regulasi dan dasar hukum penanganan siber atau dunia maya, Indonesia akan tak berdaya dalam segala hal. Karena saat ini, hampir semua lini menggunakan teknologi siber dalam beraktifitas. Berdasarkan sumber dari Emarketer/kompas dan Kemenlu,  pertumbuhan internet dan teknologi informasi di Indonesia  meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak tahun 2000  dan pengguna di seluruh dunia   lebih dari 3 miliar. Melihat pertumbuhan dan perkembangan tersebut, penjajahan, kejahatan, kini bisa terjadi bukan hanya di dunia nyata, tapi terjadi melalui  dunia maya. Karena itu tanpa perangkat dan payung hukum yang jelas penanganan ancaman siber dan perangkat lainnya akan mengancam keberadaan negara, bukan hanya dari segi keamanan, ekonomi tapi juga sosial budaya. 

02
January

 

VOI KOMENTAR Dalam beberapa bulan ke depan, 171 daerah di Indonesia akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Kesiapan penyelenggara pun menjadi kunci penting, agar kejadian yang tak diinginkan seperti  di pilkada tahun-tahun sebelumnya tidak terulang kembali.

Pilkada tahun 2018 adalah Pilkada serentak gelombang tiga yang pernah diselenggarakan di Indonesia.  Pilkada gelombang pertama diselenggarakan tahun 2015 dan yang ke  dua tahun 2017. Pilkada yang kini  dijadwalkan akan diselenggarakan Juni 2018, diikuti 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.  

Berdasarkan hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) Pilkada Serentak 2018 menyentuh angka 160 juta jiwa. Jumlah ini, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), menyebabkan potensi konflik pun menjadi  sangat besar. Selain itu, anggaran yang berputar pada Pilkada 2018 pun  mencapai rekor tertinggi dalam sejarah Pilkada di Indonesia, yaitu 20 triliun Rupiah.

Bangsa Indonesia berharap, Pilkada Serentak 2018 dapat berjalan sukses. Semoga semua pihak termasuk penyelenggara, partai politik yang mengusung pasangan calon kepala daerah, peserta atau calon itu sendiri,  maupun para pemilih, dapat mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Berkaca pada pengalaman Pilkada sebelumnya, kontestasi pasangan calon dan partai politik dinilai berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya, bila ada pasangan calon yang  lebih mengedepankan kesukuan, agama, atau pun kelompok,  ketimbang program untuk menarik suara pemilih. Semoga hal seperti  ini tidak terjadi lagi. Karena setelah berulang kali melaksanakan Pilkada dan juga Pemilu , bangsa Indonesia sepatutnya sadar bahwa kesatuan dan persatuan adalah yang terpenting dibanding sekedar  ambisi untuk menjadi pemimpin.

04
November

VOI KOMENTAR Dua referendum, satu di Katalonia dan satu lagi di Kurdistan, dilakukan dalam waktu yang berdekatan. Keduanya   berakhir dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu tanpa pengakuan dari negara lain. Mahkamah Agung Spanyol menyatakan referendum Katalan ilegal, sehingga Pemerintah Spanyol akhirnya melaksanakan pasal 155 UUD.  Yaitu,memberi kekuasaan Pemerintah Pusat di Madrid, mengambil alih kekuasaan pemerintah otonomi lokal di Katalonia. Hal ini dilakukan setelah ultimatum Madrid kepada para pemimpin Katalan tidak digubris, dengan mendeklarasikan kemerdekaan Katalan pada 27 Oktober lalu. Madrid pun membubarkan pemerintahan otonomi Katalonia.

Hal yang kurang lebih sama terjadi juga di Kurdistan. Pemerintah pusat Irak, tidak menerima hasil referendum yang diikuti oleh lebih dari 70% penduduk Kurdi, yang berjumlah hampir 8,5 juta jiwa. Lebih dari 90% pemilih menjawab ya untuk kemerdekaan. Hasil ini membuat berang Baghdad. Selain itu, negara-negara yang juga dihuni orang Kurdi seperti Turki dan Iran, ikut  menentang referendum itu.

Para pemimpin Katalan di bawah Presiden Carles Puigdemont menghadapi tuduhan berat yaitu pemberontakan dengan ancaman hukuman sampai 30 tahun. Belgia, salah satu negara anggota Uni Eropa mengisyaratkan membuka peluang suaka bagi Puigdemont.

Lain halnya dengan Presiden Kurdistan, Massoud Barzani. Meskipun mendapat dukungan rakyat, Barzani tidak mendapat dukungan oposisi di pemerintahan otonomi Kurdistan. Partai Gorran atau Gerakan Perubahan menentang referendum. Barzani memutuskan untuk mengundurkan diri dari tampuk pimpinan daerah otonomi Kurdistan per 1 November 2017 setelah memerintah selama 12 tahun. Turki dan penentang referendum menyambut baik pengunduran diri Barzani.

Referendum yang dilaksanakan dengan penuh semangat oleh para pemilih ternyata berakhir karena ketiadaan pengakuan dari negara lainnya. Indonesia tidak mengakui pemisahan Katalan dari Spanyol. Rerendum terbukti  bukan hanya sekedar memilih  “Ya” dan “Tidak” untuk suatu keputusan. Proses politik yang bisa menguras energi ternyata dapat juga menjadi faktor yang ikut menentukan kelanjutan dari referendum. Tampaknya pilihan yang tersisa adalah memanfaatkan otonomi yang telah diberikan dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat daerah otonom.

04
November

 

VOI KOMENTAR  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdasarkan Pancasila,

04
November

VOI KOMENTAR Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi mengunjungi negara bagian Rakhine kemarin,  Kamis 2 November 2017.  Ini adalah kunjungannya yang   pertama kali sejak wilayah yang dihuni etnis muslim Rohingya itu diguncang konflik Agustus lalu. 600 ribu muslim Rohingya  terpaksa mengungsi, kebanyakan ke negara tetangganya Bangladesh,  akibat konflik tersebut. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi internasional melihat bukti adanya pembersihan etnis di Rakhine. Mereka mengatakan ratusan muslim Rohingya tewas dan mayoritas warga etnis Rohingya terusir dari tanah kelahirannya dengan cara pembakaran rumah, pemerkosaan dan pembunuhan.

Sebaliknya, pemerintah Myanmar mengatakan  pihaknya sedang memerangi teroris Rohingya,  yang melancarkan serangan terhadap pos-pos keamanan dan  menewaskan belasan orang.

Dengan penjagaan ketat, Aung San Suu Kyi mengunjungi Maungdaw, wilayah yang paling parah terdampak kekerasan. Disana peraih penghargaan Nobel perdamaian itu bertemu dengan para ulama muslim. Menurut laporan kantor berita AFP ada tiga pesan yang disampaikan Suu Kyi kepada mereka, yaitu mereka harus hidup damai, pemerintah akan membantu mereka, dan mereka tidak boleh saling bertengkar. 

Meskipun sejak partainya menang pemilu 2015,  Suu Kyi secara de facto adalah kepala pemerintahan Myanmar, kekuasaannya dibatasi konstitusi yang dibuat oleh junta militer sebelumnya. Militer memiliki hak veto atas undang-undang, menguasai beberapa kementerian yang strategis, keamanan dan pertahanan. Pihak militer melancarkan operasi di Rakhine, dan Aung San Suu Kyi tidak punya kuasa untuk menghentikannya.

Dengan kekuasaan yang terbatas itu,  Suu Kyi menghadapi kritik internasional. Sebagai pejuang demokrasi,   ia dianggap lamban dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine. Di lain pihak, ia juga akan menghadapi tentangan mayoritas warga Myanmar, jika ia membela warga Rohingya. Sebagian besar penduduk Myanmar setuju dengan klaim pemerintahnya, bahwa Rohingya bukan penduduk asli Myanmar , melainkan imigran gelap dari Bangladesh.  Faktanya, meski mungkin  benar  berasal usul dari Bangladesh, mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi , dan jumlahnya pun telah mencapai lebih dari 1,5 juta  orang. 

Kunjungan Aung San Suu Kyi ke Rakhina diharapkan ditindaklanjuti dengan penghentian kekerasan terhadap etnis Rohingya. Hingga kini arus pengungsi Rohingya terus mengalir walaupun tak sebanyak sebelumnya. Tidak ada cara lain bagi militer Myanmar, selain bekerja sama dengan pemerintah sipil, dalam mengatasi krisis kemanusiaan berkepanjangan ini. 

Atas nama kemanusiaan militer Myanmar harus melindungi etnis Rohingya di Myanmar. Mereka tentu tidak ingin perhatian teroris internasional mengarah ke Myanmar dan menimbulkan persoalan baru disana. Negara yang baru lepas dari sanksi ekonomi ini harus mampu mengatasi persoalan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat investasi dan transisi demokrasi yang sedang berjalan. 

Page 64 of 64