Indonesia tahun ini akan menjadi tuan rumah dua kegiatan internasional. Asian Games ke 18, dari tanggal 18 Agustus sampai dengan 2 September 2018 di Jakarta dan Palembang, dan pertemuan tahunan Bank Dunia dan International Moneter Fund- IMF pada 12- 18 Oktober di Bali. Dana yang disiapkan untuk dua perhelatan internasional ini tentu tidak sedikit.
Untuk Asian Games 2018, investasi Indonesia sebagai tuan rumah mencapai kurang lebih 30 triliun rupiah. Sedangkan untuk penyelenggaraan pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF lebih kecil, karena hanya diselenggarakan di satu kota.
Penyelenggaraan dua perhelatan internasional ini akan dijadikan model untuk penghitungan dampak ekonomi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional – BAPPENAS sedang menyiapkan kajian tentang dampak ekonomi dari dua kegiatan internasional ini.
Sudah sewajarnya diperhitungkan dampak atas segala biaya yang dikeluarkan. Bukan hanya dari sisi keuangannya namun juga dampak terhadap multisektor. Mengutip Kepala BAPPENAS Bambang Brodjonegoro, kajian dampak ekonomi suatu kegiatan perlu dilakukan untuk mengukur seberapa besar kegiatan tersebut berdampak kepada ekonomi domestik dan bukan hanya dari sisi finansialnya saja.
Bambang Brodjonegoro menjelaskan, BAPPENAS akan menghitung dampak ekonomi setiap acara sebanyak dua kali. Sebelum acara sebagai proyeksi, dan sesudah acara sebagai gambaran realisasi sekaligus bahan evaluasi.
Beberapa Negara yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan internasional sudah menjalani kajian dan perhitungan dampak ekonomi dari setiap kegiatan. Indonesia memang sudah seharusnya mulai membiasakan membuat kajian dampak ekonomi dari setiap penyelenggaran kegiatan internasional.
Hasil dari kajian, diharapkan akan dapat meningkatkan pemasukan dari segala sektor. Bukan hanya sektor pariwisata dari kota yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan, tetapi juga daerah-daerah di sekitarnya. Dampak yang lebih diharapkan, tentunya adalah keterlibatan usaha mikro kecil dan menengah dalam setiap kegiatan.
Semoga model kajian yang akan dilakukan BAPPENAS untuk ASIAN GAMES dan pertemuan tahuan Bank Dunia dan IMF bisa menjadi masukan untuk kegiatan ekonomi berikutnya. Sehingga setiap kali Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan internasional, dampak ekonominya akan terasa di banyak sektor.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan serangkaian kunjungan kenegaraan di kawasan Asia Selatan, yaitu Srilanka, India, Pakistan, dan Bangladesh mulai tanggal 24 hingga 28 Januari 2018. Dalam kunjungan ini, Presiden didampingi beberapa Menteri Kabinet Kerja, antara lain Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Sri Lanka menjadi negara pertama yang dikunjungi Presiden Jokowi pada 24--25 Januari, kemudian India pada 25--26 Januari dan Pakistan pada 26--27 Januari, serta Bangladesh pada 27--28 Januari 2018. Selanjutnya dari Bangladesh, Presiden meneruskan lawatannya ke Afghanistan pada 29 Januari 2018.
"Membuka Peluang-peluang Baru" menjadi tema kunjungan kenegaraan Presiden RI tersebut. Fokus utamanya adalah peningkatan dan pengembangan kerja sama ekonomi dengan Asia Selatan, antara lain di bidangperdagangan, energi, konektivitas, dan pembangunan infrastruktur.
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke beberapa negara di Asia Selatan dinilai cukup sukses, karena menghasilkan beberapa kesepakatan kerjasama dengan Negara-negara yang dikunjungi sesuai dengan tema, yaitu "Membuka Peluang-peluang Baru".
Pada kunjungan ke Sri Lanka, Presiden Joko Widodo menyepakati sejumlah kerja sama di bidang perdagangan dan ekonomi dengan Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena.
Sementara di India, selain menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-India, Presiden Joko Widodo jugamengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri India Narendra Modi yang menghasilkan hal yang sama.
Dalam kunjungannya ke Pakistan, Presiden Joko Widodo berkesempatan berbicara di National Assembly of Pakistan. Selain itu, dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Pakistan Shahid Khaqan Abbasi, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman di bidang energi dan perdagangan. Disepakati, Indonesia akan memasok Liquefied Natural Gas (LNG) ke Pakistan.
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke negara-negara di Asia Selatan berakhir di Bangladesh. Setelah melakukan pertemuan pertemuan dengan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, keduanya menyaksikan penandatanganan beberapa perjanjian kerja sama antara kedua negara.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga mendatangi pengungsi Rakhine State, Myanmar, di Cox’s Bazar dan meninjau kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta organisasi kemanusiaan Indonesia yang sudah beroperasi di sana.
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke negara di Asia Selatan memang sangat strategis dan semakin mempererat hubungan Indonesia dengan Negara-negara di kawasan Asia Selatan tersebut. Diharapkan, ini akan membawa dampak positif baik bagi Indonesia maupun negara yang dikunjungi.
Sementara di Davos, Swiss, diadakan pertemuan ekonomi tahunan dunia World Economic Forum-WEF, di belahan bumi lainnya, di Tokyo, Jepang, para menteri dari 11 negara anggota Trans Pacific Partnership-TPP, bertemu untuk melanjutkan organisasi multilateral itu tanpa AS.
Selasa 23 Januari lalu Perdana Menteri India, Narendra Modi dalam Forum Economi Dunia, WEF, di Davos, Swiss, menyatakan bahwa kilau dari globalisasi kini sudah meredup. Penghalangnya adalah sikap proteksionis dari beberapa negara. Meski tidak menunjuk nama, sasaran dari pernyataan ini adalah Amerika Serikat. Sejak Trump berkuasa, Amerika Serikat menunjukkan sikap protektsionis dalam perdagangan. Salah satunya adalah dengan meninggalkan kesepakatan Trans Pacific Partnership ( TPP).
Dalam forum yang sama tahun lalu, saat Trump baru akan masuk Gedung Putih, Presiden RRT Xi Jin Ping sudah pernah menyampaikan pandangan soal perdagangan bebas. Tidak ingin tertinggal dari RRT, Modi tahun ini ingin India menjadi contoh perdagangan bebas dengan membuka lebar pintu bagi investasi.
Sebagai salah satu negara yang tumbuh cepat dalam kelompok BRICS, Brazil, India, China, Rusia dan Afrika Selatan, India merasa tertinggal dari RRT dan berupaya membangun kemitraan dengan negara-negara Asia Tenggara.
Sepulangnya dari Davos, dalam rangka lebih mempererat kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara, Modi mengundang 10 negara ASEAN untuk merayakan Hari Republik India, yang jatuh hari Jum’at (26 Januari). Meskipun punya pengaruh budaya di hampir semua negara ASEAN, dan telah menerapkan kebijakan Act East, atau dekati Asia, tingkat perdagangan India dengan ASEAN baru mencapai 470 juta dollar di tahun 2016-2017. Angka itu hanya seperenam dari nilai perdagangan RRT-ASEAN.
India mencoba mendekati ASEAN karena RRT telah melakukan pendekatan dan diterima di kawasan Asia Selatan dengan membangun infrastruktur dan energi di Pakistan dan Sri Lanka. Namun beberapa negara Asia Tenggara yang bersengketa dengan RRT mengharapkan peran India yang lebih besar di kawasan.
Bagi Indonesia niat India yang tidak ingin kehilangan pengaruh di Asia Tenggara dan ASEAN adalah hal yang wajar. Sebagai negara dengan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia menyambut niat itu, dan menghadiri perayaan Hari Republik India dengan sebuah delegasi di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo. Namun tentunya Indonesia tidak ingin terombang ambing dalam tarik menarik pengaruh dari negara lain, termasuk India dan RRT.
VOI Komentar Membuka tahun 2018, pada 23 Januari, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK kembali melakukan kejutan dengan menetapkan status tersangka kepada seorang kepala daerah. Sang pejabat disangkakan menerima suap dan gratifikasi terkait pelaksanaan proyek di lingkungan pemerintahannya. Di sini, pada satu sisi masyarakat melihat dengan jelas bagaimana kapasitas yang ditunjukkan lembaga anti rasuah itu. KPK begitu gagah, dengan dukungan semua pihak, menindak mereka yang menyelewengkan kewenangannya. Namun di sisi lain timbul pertanyaan, mengapa masih ada saja yang melakukan korupsi?. Padahal, data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan adanya ratusan kasus korupsi oleh kepala daerah yang dijerat KPK sejak tahun 2004 sampai 2017. Ini seharusnya sudah lebih dari cukup untuk mengingatkan siapa pun itu agar tidak bermain api.
Dalam beberapa tahun pertama otonomi daerah diberlakukan, beredar sebutan raja-raja kecil untuk para kepala daerah. Hal itu wajar saja mengingat kewenangan mereka menjadi lebih luas. Dampak positif dari semangat demokrasi di era Reformasi tersebut ditujukan untuk percepatan pembangunan di setiap daerah. Tdak lagi berorientasi pada kepentingan Pusat, setiap daerah diberi wewenang untuk mempercepat pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sayangnya, seiring ini, muncullah godaan-godaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Tak heran langkah KPK yang memberantas penyalahgunaan wewenang oleh raja-raja kecil tersebut sangat disyukuri oleh rakyat Indonesia.
Upaya pemberantasan korupsi kini relatif tidak lagi menemui hambatan yang berarti, karena didukung seluruh lapisan masyarakat disamping kuatnya dasar hukum yang melandasinya. KPK tampaknya akan terus melakukan gebrakan tanpa rasa takut dalam upaya pemberantasan korupsi. Sekarang tinggal bagaimana agar upaya pencegahan juga gencar dilakukan. Seperti misalnya, dengan memaksimalkan keberadaan unit pengawas internal untuk dilibatkan dalam pelaksanaan setiap proyek.
Selain itu, mungkin perlu dikaji kembali sistem demokrasi dalam pemilihan kepala daerah, terutama dalam hal biaya besar yang harus dikeluarkan para kontestan dan pendukungnya. Ini terbukti berdampak pada tindak korupsi yang dilakukan sebagian para kepala daerah, baik petahana maupun yang baru terpilih.
Memang setiap negara memiliki kekhasan masing-masing dalam berdemokrasi. Sehingga model demokrasi di satu negara tidak bisa diadopsi mentah-mentah, apalagi dipaksakan ke negara lainnya. Namun demokrasi hendaknya tidak hanya menjadi sebuah kemasan atas sesuatu yang buruk. Jika demikian halnya, pekerjaan KPK tidak akan ada habisnya, dan ini bukanlah berita yang menyenangkan. Korupsi akan terus berulang jika penyebabnya atau sumber masalah tidak teridentifikasi dengan baik, untuk segera dicarikan penyelesaiannya.
VOI KOMENTAR Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis, melakukan kunjungan kerja ke Indonesia di tengah upaya mengatasi konflik di Asia.
Dalam kunjungannya di Jakarta, setelah diterima Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, James Mattis langsung menemui rekannya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sejumlah isupun menjadi perhatian kedua pejabat pemerintahan itu. Sebagaimana dikatakan Menhan Ryamizard Ryacudu, isu-isu yang dibahas antara lain, kerja sama kedua Negara, masalah Korea Utara, Laut China Selatan, hingga Rohingya.
Terhadap isu-isu tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat umumnya dapat dikatakan mempunyai pandangan yang sama. Untuk masalah Korea Utara misalnya, Indonesia juga berharap agar Pyongyang menghentikan uji coba nuklirnya. Terkait pengungsi Rohingya, seperti halnya Indonesia, Amerika Serikat memandang perlunya upaya penanganan dengan memperhatikan sisi kemanusiaan.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat juga memberi perhatian pada pembicaraan trilateral antara Indonesia, Malaysia dan Filipina. James Mattis menyatakan komitmen AS untuk mendukung kerjasama pertahanan tiga negara di Asia Tenggara ini, khususnya dalam menangani masuknya ISIS di Asia Tenggara. Dukungan Washington dilakukan atas kesamaan pandangan bahwa terorisme memang harus dicegah penyebarannya.
Kunjungan James Mattis ke Indonesia, selain dilihat dari perspektif berbagai isu, juga menjadi penting terkait tindak lanjut kerjasama bilateral di bidang pertahanan. Sebagaimana diketahui, Indonesia dan AS telah memiliki persetujuan kerja sama pertahanan melalui Join Statement in Comprehensive Defence Corporation, yang ditandatangani pada Oktober 2015, saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Washington. Komitmen kerjasama itu kembali ditegaskan ketika Presiden Jokowi bertemu Presiden Donald Trump di sela-sela KTT G 20 di Jerman tahun lalu.
Selama ini lebih dari 6.000 prajurit TNI dan PNS telah mengikuti pendidikan di AS. Sebaliknya sedikitnya 61 perwira AS berkesempatan mengikuti Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI di Indonesia.
Dalam kerangka inilah, maka kunjungan James Mattis ke Jakarta kali ini dapat dilihat sebagai cukup strategis untuk meningkatkan saling pengertian kedua negara dalam bentuk dialog pertahanan dan meningkatkan kerjasama yang diwujudkan dalam kegiatan yang konkrit. (kabulbudiono)
VOI KOMENTAR Pangan, terutama beras, tetap menjadi kebutuhan utama masyarakat Indonesia hingga kini. Karena itu, kedaulatan pangan menjadi salah satu agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk tahun 2015-2019.
Pada saat Pembukaan Musyawarah Nasional HIPMI XV, 12 Januari 2015 di Bandung, Presiden Joko Widodo menargetkan kepada Menteri Pertanian untuk dapat swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan, yang berarti tahun 2018 ini. Swasembada dimulai dengan beras, diikuti pangan yang lain. Dalam kesempatan itu pun, Kepala Negara yakin tidak akan ada impor beras setelah tiga tahun.
Kenyataannya, diawali dengan harga beras yang naik secara signifikan sejak Desember 2017, Kementerian Perdagangan memutuskan untuk melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton yang ditargetkan akan sampai di Indonesia pada akhir Januari 2018. Belakangan, rencana pemerintah untuk mengimpor beras pada akhir Januari itu dinilai terlalu dekat dengan panen raya yang akan jatuh pada Maret 2017. Ada kemungkinan distribusi beras impor justru malah akan merugikan petani.
Mengutip liputan6.com tanggal 16 Januari 2018, impor beras dilakukan guna menjamin tersedianya pasokan beras di dalam negeri dan menurunkan harga beras di pasaran. Harga beras mengalami kenaikan diduga karena data produksi beras yang tak akurat. Menurut Dwi Andreas Santosa, pengamat pertanian dan guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, kenaikan harga beras dapat diatasi jika data yang tersedia akurat. Selama ini, harga beras sering naik karena data produksi dan konsumsi tak jelas.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, menyatakan bahwa selama ini Kementerian Pertanian menyatakan jika produksi beras surplus dan stok cukup. Namun pernyataan tersebut hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah, tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara kongkrit.
Sebenarnya, data yang diyakini keakuratannya, terutama terkait ketersediaan beras, dapat dilihat dari pergerakan harga. Prinsip dasar yang diambil adalah keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang umum berlaku. Semakin banyak stok beras, semakin rendah harga beras, begitupun sebaliknya. Data yang tidak akurat terkait stok perberasan nasional memang perlu segera diperbaiki, karena berpotensi membuat pemerintah mengambil kebijakan yang keliru. Terkait hal ini, Ombudsman RI menyarankan kepada pemerintah, untuk memberi dukungan maksimum kepada Badan Pusat Statistik, untuk menyediakan data produksi dan stok beras yang lebih akurat.
Sudah saatnya Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, mengevaluasi sumber data yang digunakan sebagai dasar kebijakan pangan nasional. Kebijakan sebaiknya berdasarkan hasil riset, sesuai dengan kenyataan di lapangan, bukan hanya berpegang pada estimasi. Sehingga, tak akan ada lagi kebijakan yang justru akan merugikan petani.
VOI KOMENTAR Pembangunan infrastruktur terus digenjot oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, terutama untuk wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Selama periode 2015-2019 Pemerintah menargetkan pembangunan infrastruktur di antaranya, 1.000 kilo meter (km) jalan tol, 2.650 km jalan baru, 30 km jembatan baru, dan 65 bendungan.
Di awal 2018 ini, terdapat beberapa proyek infrastruktur yang telah selesai dibangun pemerintah, seperti jalan tol, jalur kereta api, bendungan, bandara, perumahan dan juga pos lintas batas wilayah.
Proyek pembangunan yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo Minggu (21/1/2018), adalah ruas awal jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar di kabupaten Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan, yang merupakan jalan tol pertama di Provinsi Lampung.
Ruas yang sudah siap beroperasi adalah segmen Pelabuhan Bakauheni-Simpang Susun Bakauheni sepanjang 8,9 kilometer dan segmen Simpang Susun Lematang-Simpang Susun Kotabaru sepanjang 5,5 kilometer.
Sejak awal memegang tampuk pemerintahan, bahkan sebelum terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) memang sudah mencanangkan program yang disebut Nawa Cita atau sembilan agenda prioritas untuk jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Salah satu program Nawa Cita adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit setara bangsa-bangsa Asia lainnya yang sudah lebih mapan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur tidak hanya di Pulau Jawa tapi juga di luar Pulau Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Keberadaan infrastruktur diyakini akan memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antar wilayah. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga memang harus dilakukan untuk memenangkan kompetisi dengan negara lain.
Apa yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla patut mendapatkan dukungan dari semua pihak. Baik jalan tol, bandar udara, maupun pelabuhan, semuanya dapat menjadi sarana untuk menekan harga dan mempercepat arus logistik. Hal ini akan sangat memengaruhi daya saing Indonesia di dunia internasional..
.
VOI KOMENTAR Di akhir tahun 2010, sebuah gelombang revolusi berupa demonstrasi dan protes untuk pergantian pemerintahan, baik secara damai maupun tidak, melanda berbagai Negara Timur Tengah dan Afrika. Peristiwa yang dikenal sebagai “Arab Spring” atau Musim Semi Arab itu, berawal di Tunisia tepatnya tanggal 17 Desember 2010. Beberapa hari kemudian, memasuki tahun 2011, pemerintah Tunisia pimpinan Zine el Abidin Ben Ali Tumbang. Tunisia pun mengalami masa transisi dan perubahan politik yang paling demokratis dibanding negara-negara Arab lainnya, yang kemudian juga terkena imbas Arab Spring. Saat itu rezim yang berkuasa ditumbangkan tanpa pertumpahan darah dan perang sipil.
Namun apa yang terjadi di Tunisia pekan lalu, saat memperingati jatuhnya rezim Ben Ali 7 tahun yang lalu, adalah aksi demonstrasi massal terhadap kenaikan harga dan pajak. Sebelum demonstrasi ini terjadi, seorang pemrotes tewas pada hari Senin, tanggal 8 Januari. Kerusuhan membuat pemerintah mengirimkan tentara ke beberapa wilayah di Tunisia, dan menangkap hampir 800 orang,termasuk para pemimpin oposisi.
Aksi menentang dimulai saat pemerintah Tunisia memberikan “kado tahun baru” berupa penyesuaian harga bahan bakar dan beberapa jenis barang konsumsi mulai 1 Januari 2018. Selain itu beberapa jenis pajak dan tarif seperti pajak mobil, tarif telepon dan internet juga ikut naik.
Setelah aksi demonstrasi tersebut, Pemerintah pun menawarkan skema reformasi sosial yang telah diajukan ke parlemen, berupareformasi perawatan medis, perumahan dan bantuan kepada warga miskin. Program-program pemerintah selama ini, ternyata tidak dapat mengatasi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Juga tidak berhasil mengembalikan industri pariwisata, setelah dihantam serangan teror kepada wisatawan asing, 3 tahun yang lalu. Perdana Menteri Tunisia, Yousef Chahed, berupaya meyakinkan warganya bahwa tahun 2018 akan menjadi tahun terakhir kesulitan di negeri itu. Namun tampaknya pihak oposisi Tunisia tidak puas akan program-program yang ditawarkan dan mendesak diteruskannya aksi-aksi menentang pemerintah.
Meningkatnya aksi-aksi kekerasan di Tunisia yang sebelumnya pernah mengalami transisi damai memang memprihatinkan.Sebaiknya pemerintah Tunisia dan pihak oposisi berunding untuk mencari solusi damai. Penyelesaian masalah dengan “tradisi Tunisia“ seperti saat menurunkan rezim Ben Ali 7 tahun yang lalu patut diteruskan. Agar tidak terjadi kekerasan, apa lagi pertumpahan darah yang mengakibatkan korban jiwa.
Demikian Komentar.
Pelaksanaan ASIAN GAMES ke 18, tinggal hitungan bulan. Pesta olahraga tingkat Asia itu akan digelar mulai 18 Agustus hingga 2 September 2018. Beragam persiapan terus dilakukan pemerintah. Baik oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah dua daerah yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan, Jakarta dan Palembang.
Persiapan segala sarana dan fasilitas setidaknya sudah memuaskan Dewan Olimpiade Asia. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Pelaksana Asian Games 2018 atau INASGOC Erick Thohir seusai Rapat Koordinasi Komite ke delapan, hari Minggu, di Jakarta. Dewan Olimpiade Asia telah melihat kemajuan signifikan yang sudah dilakukan Inasgoc, pemerintah pusat, dan pemerintah Sumatra Selatan.
Keberhasilan Indonesia sebagai tuan rumah untuk kedua kalinya tentu sangat diharapkan. Pada tahun 1962 Indonesia pernah sukses menjadi tuan rumah Asian Games ke 4 dan meraih posisi ke dua dalam perolehan medali setelah Jepang. Hal ini setidaknya bisa menjadi inspirasi untuk meraih sukses dalam penyelenggaraan kali ini, dan tentunya juga prestasi. Di samping itu, karena kegiatan ini bersifat internasional, mata dunia setidaknya Asia, akan tertuju pada Indonesia. Tidak berlebihan bila Indonesia mengharapkan ada dampak positif dari penyelenggaraan Asian Games ke 18 di berbagai bidang termasuk sosial, politik dan ekonomi.
Semangat untuk menyukseskan Asian Games 2018 bukan hanya harus dimiliki pemerintah, penyelenggara, dan atlit Indonesia. Demam Asian Games harus terus ditumbuhkan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta dan Palembang. Semangat mempromosikan kegiatan yang bertema “The Energy of Asia” ini harus terus digencarkan.
Ornamen Asian Games 2018, saat ini memang sudah terpasang di Jakarta dan di Palembang. Gedung-gedung kantor pemerintahan dan tempat rekreasi sudah diwarnai berbagai ornamen khas dan atribut Asian Games. Semangat penyelenggaraan Asian Games juga telah semakin terasa, bukan hanya di kompleks gelanggang olahraga Bung Karno, tetapi di tempat-tempat penyelenggaraan lainnya.
Keterlibatan seluruh pihak menggaungkan penyelenggaraan Asian Games 2018 harus terus dikuatkan. Pemanfaatan seluruh media promosi, termasuk media social harus semakin ditingkatkan. Sehingga demam Asian Games 2018 bisa mewabah di Indonesia khususnya, dan Asia pada umumnya.
VOI KOMENTAR Presiden Perancis Emannueal Macron, berada di Tiongkok melakukan serangkaian kegiatan kenegaraan. Kunjungan Macron yang berlangsung sejak 8 Januari lalu, hingga hari ini disebut sebagai kunjungan kenegaraan, karena merupakan yang pertama dilakukan sejak ia memangku jabatannya sebagai Presiden. Keberadaan Presiden Perancis di Beijing itu merupakan jawaban atas undangan Presiden Xi Jinping. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Geng Shuang dalam jumpa pers menjelang kunjungan kenegaraan Macron menyatakan bahwa mempunyai arti penting bagi hubungan Tiongkok-Prancis. Tiongkok tentu menambut sangat baik kunjungan pertama Macron dengan menunjukkan kehangatan melalui serangkaian acara kenegaraan yang melibatkan Presiden Xi Jinping, Perdana Menteri Li Kegiang serta ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Zhang Dejiang, Dari Beijing diinformasikan bahwa kedua pihak telah bertukar pandangan secara mendalam mengenai hubungan bilateral dan masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama.
Dalam ceramahnya di hadapan para pengusaha. Akademis dan undangan pentingnya lainnya di kota Xi’an, Macron menegaskan komitmennya untuk mendukung pemerintah Tiongkok membangun kembali jalan sutera. Dalam tahun 2013, Pemerintah Tiongkok mencanangkan program one belt one road yang merupakan ungkapan khusus bagii Pembangunan Jalan Sutera yang mencerminkan hubungan bilateral dan multilateral Tikongkok melalui kerjasama ekonomi dan perdagangan antaralain dengan negara negara Eropa.
Proyek Sabuk dan Jalan , bertujuan menghubungkan China melalui jalan raya, kereta api dan jalur laut, dengan Asia Tenggara, Pakistan, Asia Tengah dan lebih jauh ke Timur Tengah, Eropa dan Afrika. Dukungan Macron atas proyek ambisius Beijing tentu juga mengharapkan timbal balik. Atas asa resiprokalitas, Macron tentu mengharapkan adanya timbal balik. Perancis memandang Tiongkok sebagai negara berpengaruh dari Asia yang dapat diajak untuk menjalin kemitraan stratagis mencakup beberapa isu. Dua yang sangat penting bagi Macron adalah isu terorisme dan perubahan Iklim. Mengenai isu perubahan iklim, Macron tentu sangat berharap agar Presiden Xi Jinping menerapkan perjanjian Paris mengenai iklim. Dukungan Tiongkok dipandang sangat penting, setelah Amerika Serikat mundur dari kesepakatan Paris.