Akbar

Akbar

08
September

 

VOInews.id- ASEAN membutuhkan biaya hingga 3,7 triliun dolar AS atau sekitar Rp56.729 triliun untuk mencapai angka penetrasi energi terbarukan di sektor kelistrikan sebesar 90 persen pada 2050. Angka tersebut berdasarkan studi ASEAN Centre for Energy (ACE) bersama International Renewable Agency (IRENA), kata Direktur Eksekutif ASEAN Centre for Energy Dr Nuki Agya Utama kepada ANTARA di sela-sela Forum Energi Berkelanjutan dan Terbarukan 3.0 (SAREF 3.0) di Kuching, Sarawak, Malaysia, Kamis. Sedangkan untuk membangun interkoneksi jaringan energi listrik terbarukan di regional Asia Tenggara maka ASEAN membutuhkan dana Rp3.000 triliun lebih (dengan nilai tukar 1 dolar AS setara Rp15.332) sampai dengan 2050.

“Biaya untuk APG (ASEAN Power Grid) dan transmisi saja kita butuh 200 miliar dolar AS (sekitar Rp3.066,46 triliun). Untuk transmisinya saja ya,” katanya. Namun jika penetrasi energi terbarukan menjadi 50-65 persen maka, berdasarkan studi ASEAN Energy Outlook 7, kebutuhan biayanya mencapai sekitar 730 juta dolar AS (sekitar Rp11,19 triliun) hingga 850 juta dolar AS (sekitar Rp13,5 triliun) hingga 2050. Kemungkinan sumber pembiayaannya, menurut Nuki, bisa dari “blended finance” hingga “public private partnership”. “Tapi yang paling penting adalah kita harus sadar 80 persen investasi di sektor energi itu dari private (sektor swasta),” ujar dia.

Ia mengatakan negara tidak memiliki kapasitas untuk membiayai itu semua, sehingga pihak swasta secara global yang harus melakukannya. Termasuk sektor perbankan yang mau berinvestasi. “Perbankan perlu sadar ini ada potensi besar, mereka harus datang memberikan tawaran dengan mekanisme-mekanisme yang atraktif,” kata Nuki. Secara alami, menurut dia, perbankan selalu melihat sisi mekanisme risiko sehingga tidak akan menganggap potensi ini dapat diandalkan ketika risikonya terlalu besar.

“Jika melihatnya dengan cara seperti itu sulit berkembang dengan kebutuhan 3,7 triliun (dolar AS) untuk 90 persen pembangkit energi terbarukan, 50-65 persennya saja kita butuh 700-850 juta (dolar AS). Banyak sekali uang yang harus diinvestasikan,” ujar Nuki. Dalam sesi diskusi panel di Sustainability and Renewable Energy Forum 3.0 itu, Pejabat Tertinggi Eksekutif Grup Petronas Tengku Muhammad Taufik juga membahas kurangnya literasi dan pemahaman perbankan soal risiko sektor energi terbarukan, sehingga yang terpikirkan oleh mereka selalu soal ketidakmampuan.

Dari sisi perusahaan yang akan beralih ke sektor energi terbarukan, ia mengatakan tentu juga ingin melihat ada akses perbankan, serta kebijakan dari pemerintah yang membuat proyek transisi energi tersebut menjadi dapat dibiayai oleh perbankan (bankable). Pandangan tersebut juga diamini oleh mantan Sekretaris Eksekutif dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres yang mengatakan cukup tragis bahwa sektor finansial ada di sana, membuat komitmen, tetapi sebenarnya tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Sektor perbankan disebutnya harus sadar bahwa ada grup energi terbarukan yang dapat berfungsi baik. “Jadi singkirkan pertanyaan,’apakah pembangkit listrik tenaga air reliable?' (Jawabannya) Iya!” ujar Christina. Menurut dia, energi yang berasal dari air, geotermal dan hidrogen membutuhkan struktur pembiayaan yang berbeda. Perbankan masih kurang mengeksplorasi apa yang mereka bisa dukung dan hanya terbiasa dengan “one stop shopping” yang seharusnya tidak dapat dilakukan lagi.

Mekanisme risiko ACE, menurut Nuki, sedang mengajak semua pemangku kepentingan mulai dari sektor industri, pemerintahan dan perbankan untuk mendiskusikan mekanisme risiko. Misalnya, memberikan pelatihan kepada industri bagaimana mereka mengajukan proposal untuk proyek energi terbarukan maupun energi efisiensi yang bankable. Green Climate Fund (GCF), ia mengatakan telah memberikan 100 juta dolar AS atau sekitar Rp1,53 triliun sebagai jaminan untuk perbankan mau memberikan pinjaman lunak kepada industri.

“Itu cukup efektif. Bank tertarik dan sepakat untuk berkolaborasi,” kata Nuki. Saat ini, GCF telah mencapai kesepakatan dengan Korean Development Bank (KDB), dan lebih lanjut membahas itu dengan bank lokal di Indonesia untuk mencari industri-industri yang tertarik melakukan efisiensi energi.

“Itu saja ‘benefit’ (keuntungan), paling ‘challenging’ (menantang). Padahal efisiensi energi itu ‘less risk’ (lebih sedikit berisiko). Belum lagi energi terbarukan yang lebih tinggi risikonya,” ujar dia. Dana “jaminan” dari GCF tersebut, menurut Nuki, dapat menjadi “booster” yang cukup signifikan mengajak industri dan perbankan untuk duduk di satu meja untuk kemungkinan mereduksi emisi dan melakukan efisiensi.

 

Antara

07
September

 

VOinews.id- Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-77 pada Selasa (5/9) berakhir dengan seruan untuk melakukan "kerja sama berskala global" dari sang presiden, Csaba Korosi, yang pada hari itu mengakhiri masa jabatannya.

Pada sesi pleno ke-100 dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-77, yang menandai puncak dari sidang tersebut, Korosi yang juga merupakan seorang diplomat senior asal Hongaria, menekankan bahwa "sistem multilateral menuntut kerja sama berskala global, antara negara dan kawasan serta lintas disiplin maupun bidang."

"Mulai dari mengatasi perubahan iklim dan kejahatan siber hingga menghormati hak asasi manusia di dunia maya dan penggunaan kecerdasan buatan (AI), kita harus bersatu dalam pendekatan holistik," imbuhnya. Korosi menekankan bahwa "multilateralisme merupakan satu-satunya pilihan kita untuk mengatasi banyak krisis di dunia."

 

Antara

07
September

 

VOInews.id- Sebuah serangan Rusia yang mematikan di kota timur Ukraina menewaskan setidaknya 16 orang pada Rabu saat Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengunjungi Kiev untuk menyampaikan dukungan bagi perlawanan terhadap invasi Rusia. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengutuk serangan yang menimpa sebuah pasar, sejumlah toko dan apotek di kota Kostiantynivka yang berlokasi dekat medan peperangan.

Dia mengatakan ada seorang anak di antara 16 orang korban tewas dan pejabat pemerintah menyebut setidaknya 34 orang terluka. "Kejahatan Rusia ini harus dikalahkan secepatnya," kata Zelenskiy, menyebutnya sebagai serangan yang disengaja terhadap "kota yang damai".

Ajudannya kemudian mengunggah rekaman video yang menunjukkan ledakan setelah sesuatu yang terdengar seperti sebuah rudal mendekat, dan orang-orang berlarian mencari perlindungan atau jatuh ke tanah. Rusia tidak segera berkomentar mengenai serangan itu dan telah menyangkal secara sengaja menyerang warga sipil. Blinken dijadwalkan untuk mengumumkan paket asistensi perang baru AS bernilai lebih satu miliar dolar AS (Rp15,338 triliun) dalam kunjungan dua hari, menurut pejabat senior Departemen Luar Negeri AS.

Kunjungan itu merupakan yang pertama dilakukan pejabat utama AS ke Kiev sejak serangan balasan dilakukan pada awal Juni, dengan Blinken berbicara dengan Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba dan kemudian bertemu Zelenskiy.

"Kami ingin memastikan Ukraina punya semua yang dibutuhkan, bukan hanya untuk keberhasilan serangan balasan tapi apa yang dibutuhkan untuk jangka panjang, memastikan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk pencegahan," kata Blinken yang berbicara dengan didampingi Kuleba.

Media AS telah mengutip pejabat AS yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa serangan balasan Ukraina terlalu lambat dan terhambat oleh taktik yang lemah -sebuah kritik yang membuat pejabat Ukraina marah dan menyebabkan Kuleba untuk meminta para kritikus itu untuk tutup mulut. Ukraina telah merebut kembali lebih dari selusin desa dan pemukiman kecil dalam serangannya. Namun upaya untuk lebih jauh masuk ke daerah yang dikuasai Rusia diperlambat oleh adanya ranjau darat dan parit pertahanan.

Pejabat AS tidak secara terang-terangan mengkritik taktik militer Ukraina dan pekan lalu mengatakan bahwa mereka melihat perkembangan di daerah tenggara. Pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan Washington ingin mendiskusikan perkembangan serangan balasan dan melakukan penilaian mengenai kebutuhan peperangan sekaligus langkah yang dibutuhkan untuk mengamankan kebutuhan energi Ukraina sebelum musim dingin. "Saya pikir yang paling penting adalah kita mendapatkan penilaian sebenarnya dari Ukraina sendiri," kata pejabat tersebut.

"Kami ingin melihat, mendengar bagaimana mereka akan lanjut maju di pekan-pekan mendatang". Mengenai kunjungan Blinken, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Moskow yakin rencana Washington untuk terus mendanai militer Ukraina "akan mengobarkan perang ini hingga warga Ukraina terakhir". Ia mengatakan bantuan AS untuk Kiev tidak akan mempengaruhi tindakan dari apa yang dia sebut operasi militer spesial Rusia.

 

Sumber: Reuters

07
September

 

VOInews.id- Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan menteri yang mengatur pembiayaan alternatif dan inovatif terhadap pembangunan berkelanjutan (SDGs), termasuk energi hijau.

“Saat ini kami sedang menyusun Peraturan Menteri mengenai pembiayaan alternatif. Kami harap kami dapat mengimplementasikannya sesegera mungkin,” kata Koordinator Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas Anna Amalia dalam webinar “The 21st Economix International Dialogue,” yang dipantau dari Jakarta, Rabu. Anna mengatakan adanya peraturan tersebut dapat memobilisasi pembiayaan alternatif dari organisasi nonpemerintah (NGO), swasta, filantropi, dan aktor lainnya.

“Hal ini sangat bermanfaat untuk kita semua karena kita menginginkan masa depan yang cerah, dan ini saatnya kita bergerak bersama,” kata dia. Dia menjelaskan bahwa pembiayaan energi hijau membutuhkan dukungan dari banyak pihak.

Sebab, menurut dia, pemerintah hanya dapat membiayai sebanyak 24 sampai 30 persen dari total kebutuhan transisi energi hijau. “Kita membutuhkan lebih dari Rp3 ribu triliun hingga 2060 untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) dan ekonomi hijau,” katanya. Di sisi lain, dia mengatakan saat ini banyak institusi yang siap memberikan pendanaan terhadap program transisi energi hijau. Namun, kata dia, pendanaan tersebut tidak mudah diberikan karena ada beberapa kriteria yang belum terpenuhi.

“Kami harap melalui peraturan itu nantinya dapat memperkecil jarak antara investor dengan sektor bisnis, dan pemerintah dapat menjaga keinginan investor dalam sektor bisnis hijau,” ujarnya. Anna juga berharap peraturan tersebut dapat meningkatkan kerja sama antara swasta dengan publik yang dapat memberikan keuntungan bersama dalam aspek pembiayaan hijau.

Selain Permen, dia memastikan bahwa pemerintah sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. “Jangan khawatir, kami telah menyebarkan ‘virus’ hijau di internal kami dalam rencana 20 tahun tersebut. Nantinya akan berpusat pada keberlanjutan dan ekonomi yang lebih hijau,” katanya.

 

Antara