Akbar

Akbar

06
September

 

VOinews.id- Badan kemanusiaan PBB pada Selasa (5/9) mengatakan bahwa mereka mengalokasikan 125 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk operasi bantuan yang kekurangan dana di 14 negara di seluruh dunia.

Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan Martin Griffiths, yang juga merupakan Kepala Bantuan PBB, mengizinkan alokasi Dana Tanggap Darurat Pusat (CERF) untuk operasi di Afrika, Asia, Amerika, dan Timur Tengah, kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA). Kebutuhan pendanaan kemanusiaan global tahun ini telah melampaui 55 miliar dolar AS dan kurang dari 30 persen yang didanai, menurut OCHA.

“Ini adalah kenyataan yang kejam bahwa dalam banyak operasi kemanusiaan, lembaga-lembaga bantuan hanya menghabiskan sedikit dana pada saat kebutuhan masyarakat memaksa mereka untuk meningkatkannya,” kata Griffiths.

“Berkat kemurahan hati sejumlah besar donor, kita dapat mengandalkan CERF untuk mengisi beberapa kekurangan yang ada. Sebagai hasilnya, banyak nyawa terselamatkan. Namun kita memerlukan donor individu untuk mengambil tindakan juga -- ini adalah dana dari semua pihak dan untuk semua," katanya pula. OCHA mengatakan pendanaan tersebut mendukung 250 juta orang yang terkena dampak konflik, dampak iklim, bencana alam, wabah penyakit, pengungsian dan krisis lainnya.

“Dengan pendanaan tambahan ini, CERF telah mengalokasikan dana sebesar 270 juta dolar AS sepanjang tahun ini melalui program Underfunded Emergencies,” kata OCHA. “Ini adalah jumlah tahunan terbesar yang pernah dialokasikan, ke sejumlah negara terbanyak, yang mencerminkan meroketnya kebutuhan kemanusiaan,” kata OCHA. Alokasi CERF, kata OCHA lagi, akan membantu meningkatkan bantuan kemanusiaan di beberapa krisis yang paling berkepanjangan dan terabaikan di dunia: Afghanistan dan Yaman (masing-masing 20 juta dolar AS), Burkina Faso dan Myanmar (masing-masing 9 juta dolar AS), Haiti dan Mali (masing-masing 8 juta dolar AS) dan juga akan mendukung operasi pengungsi di Bangladesh (8 juta dolar AS) dan Uganda (6 juta dolar AS).

OCHA mengatakan dana juga akan disalurkan ke Venezuela (8 juta dolar AS), Republik Afrika Tengah dan Mozambik (masing-masing 6,5 juta dolar AS), Kamerun dan Wilayah Pendudukan Palestina (masing-masing 6 juta dolar AS), dan Malawi (4 juta dolar AS).

 

Antara

06
September

 

VOInews.id- Seorang pejabat senior Ukraina menolak saran Turki bahwa Kiev harus melunakkan sikapnya untuk menghidupkan kembali kesepakatan biji-bijian Laut Hitam, dan mengatakan Ukraina tidak akan mendukung keringanan sanksi untuk Moskow atau kebijakan "pemuasan". "Mari kita bersikap realistis dan berhenti membahas opsi-opsi yang tidak ada, apalagi mendorong Rusia untuk melakukan kejahatan lebih lanjut," kata penasihat presiden Mykhailo Podolyak kepada Reuters.

Pernyataan tersebut disampaikan Podolyak ketika ditanya tentang komentar yang dibuat oleh Presiden Turki Tayyip Erdogan pada Senin setelah pembicaraan dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin. Podolyak mengatakan bahwa Rusia "sangat tertarik" dengan penghancuran pelabuhan Ukraina dan infrastruktur pengiriman biji-bijian. Dia mengatakan Rusia tidak memerlukan kesepakatan biji-bijian dan Moskow tertarik untuk memisahkan Ukraina dari pasar biji-bijian global, menaikkan harga biji-bijian, dan memonopoli kendali atas Laut Hitam.

"Di manakah bidang bagi Ukraina untuk 'melunak' di sini? Dan mari kita perjelas, kami pasti tidak akan memainkan 'kebijakan untuk memuaskan agresor'... dan mengumbar program pencabutan sanksi," katanya. Erdogan mengatakan setelah pembicaraan dengan Putin bahwa akan segera ada kemungkinan untuk menghidupkan kembali kesepakatan gandum yang menurut PBB membantu meringankan krisis pangan dengan memasarkan gandum Ukraina.

Rusia keluar dari perjanjian tersebut pada Juli, dengan mengeluhkan bahwa ekspor makanan dan pupuknya menghadapi hambatan serius. Seorang pejabat senior Pemerintah Ukraina mengatakan kepada Reuters pada Selasa bahwa Kiev tidak berharap situasi ekspor gandumnya akan berubah setelah pembicaraan Senin antara Putin dan Erdogan.

 

Sumber: Reuters

06
September

 

VOInews.id- Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un akan segera bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membahas potensi kesepakatan senjata, kata seorang pejabat keamanan nasional AS. Perkembangan terbaru menunjukkan hubungan yang lebih erat antara kedua negara di tengah posisi mereka yang berhadapan dengan Amerika Serikat.

Tatkala isolasi terhadap Rusia akibat perang di Ukraina semakin ketat, para analis menyebut perkembangan terbaru itu menunjukkan nilai Korea Utara di mata Rusia semakin besar. Bagi Korea Utara, hubungan dengan Rusia tidak selalu sehangat pada masa kejayaan Uni Soviet, namun kini negara itu mendapatkan manfaat nyata dari kebutuhan Rusia untuk bersahabat dengan negara itu.

 

Antara

06
September

 

Voinews.id- Amerika Serikat memperingkatkan Korea Utara agar tidak menjual senjata kepada Rusia. "Mereka akan menanggung akibatnya dalam tatanan masyarakat internasional," kata Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan kepada para wartawan di Gedung Putih, Selasa waktu setempat. Sullivan mengingatkan Korea Utara tidak patut menyediakan persenjataan bagi Rusia untuk digunakan di medan perang.

Senjata-senjata itu, menurut dia, bisa jadi dipakai untuk menyerang gudang-gudang gandum dan fasilitas pemanas di kota-kota besar Ukraina ketika seuma pihak bersiap menghadapi musim dingin. Dia menilai serangan semacam itu kemungkinan dilancarkan Rusia untuk menguasai "wilayah milik sebuah negara berdaulat". Sullivan mengungkapkan Amerika Serikat sudah berusaha menyadarkan Korea Utara agar jangan sampai menjual senjata kepada Moskow.

 

Antara