Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadapi proses pemakzulan (impeachment) yang diinisiasi oleh kubu Partai Demokrat di DPR Amerika Serikat. Ketua DPR AS, Nancy Pelosi dua hari lalu mengungkap sebanyak 170 dari 235 anggota DPR AS mendukung pemakzulan terhadap Trump yang diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala negara untuk menghalangi bakal calon presiden Partai Demokrat, Joe Biden, dengan meminta Ukraina menyelidiki dugaan korupsi putranya, Hunter Biden. Perkara ini berawal dari laporan seorang pengadu yang identitasnya dirahasiakan, yang bekerja sebagai agen intelijen AS. Dia melaporkan hasil sadapan telepon antara Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky pada 25 Juli lalu. Trump dilaporkan mendesak Zelensky untuk menyelidiki dugaan korupsi yang diduga dilakukan Hunter Biden. Anak Biden itu memang menjadi anggota komisaris perusahaan energi Ukraina. Kemudian, Presiden Trump mengakui dia berbincang dengan Presiden Ukraina beberapa waktu lalu dan membahas soal Biden melalui telepon. Namun, Trump membantah menekan Zelensky untuk mengabulkan permintaannya dengan ancaman akan menahan bantuan untuk pemerintah Ukraina, dan berdalih hal itu dilakukan supaya negara-negara Eropa lebih giat membantu.
Apakah ini bagian dari dinamika politik Amerika Serikat menjelang Pemilu yang akan berlangsung pada November 2020? Apakah Trump akan berhasil lolos dalam jeratan impeachment kali ini?
Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat, nuansa persaingan antar kandidat Presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik sudah makin memanas. Trump yang memutuskan maju lagi sebagai petahana dalam Pemilu AS tahun depan ternyata sudah mulai mengintai untuk menghadapi lawan terberatnya dari partai Demokrat – Joe Biden wakil presiden dua periode pada pemerintahan Barrack Obama. Mencari kelemahan Joe Biden lewat tangan Ukraina yang justru berujung pada bergulirnya proses Impeachment terhadap dirinya.
Upaya Impeachment terhadap Trump bukan kali ini saja. Tahun 2017, tak lama setelah dilantik menjadi President, Trump menghadapi upaya impeachment pasca-investigasi mantan penasihat khusus Robert Mueller tentang campur tangan Rusia dalam Pemilihan Presiden (pilpres) 2016 dengan argument bahwa trump sudah menghalangi upaya keadilan. Namun, Trump berhasil lolos pada saat itu. Terlepas dari itu, penilaian publik Amerika terhadap kinerja PresidenTrump juga tidak terlalu baik belakangan ini. Sebuah jajak pendapat yang dirilis oleh The Post dan ABC pada hari Jumat (31/8) menunjukkan bahwa 60 persen pemilih tidak menyukai kinerja Presiden Trump.
Pada akhirnya 2019 dan 2020, Presiden Donald Trump akan sibuk menghadapi proses impeachment dan menurunnya dukungan publik terhadap dirinya, yang akan mempengaruhi elektabilitasnya pada 2020.
Mungkinkah Presiden Donald Trump lolos pada jeratan Pemakzulan kali ini? Mari kita ‘wait and see next’.
Saudara pendengar, jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada Oktober, suasana di dalam negeri menggeliat. Diawali dengan pro-kontra perpindahan ibukota, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa, aksi terkait Papua hingga aksi unjuk rasa penentangan rancangan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan bagian dari demokrasi dan kelanjutan reformasi yang dimulai pada akhir tahun 90-an. Bangsa Indonesia memilih reformasi untuk membuat perubahan demokrasi bukannya revolusi. Karena jika terjadi revolusi, bangsa Indonesia bisa saja mengalami kemunduran. Namun, aksi-aksi yang dilakukan belangan ini dapat meresahkan masyarakat Indonesia. Karena hampir di setiap kota besar di seluruh Indonesia, para mahasiswa, pelajar dan petani menggelar demonstrasi. Kerjadian ini mengingatkan pada aksi-aksi yang yang terkadi pada tahun 1998.
Dalam sebuah diskusi di Televisi national, pakar hukum Supardi Ahmad mengatakan bahwa akhir-akhir ini masyarakat meresa prihatin atas rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana –KUHP yang akan dituntaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat –DPR. Poin-poin ini menjadi sorotan utama oleh para demonstran. Supardi Ahmad berharap semua tuntutan para demonstran harus diakomodasi. Semua pemangku kepentingan harus ikut ambil bagian untuk mengkaji kembali dan mensosialisasikannya kepada masyarakat terkait isi rancangan KUHP dan revisi UU KPK. Terkait hal ini, pemerintah telah mengeluarkan komunike untuk menunda pembahasan dan pengesahan bersama DPR.
Dengan partisipasi holistik oleh semua pemangku kepentingan: kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi dan para pakar bergagai disiplin, persoalan bangsa Indonesia terkait produk hukum dapat dituntaskan secara bersama. Dengan demikian, semua produk hukum yang akan dihasilkan dapat dipahami dan diterima oleh semua kalangan menuju Indonesia adil dan sejahtera.
Perserikatan Bangsa Bangsa kembali melaksanakan Sidang Umum. Dalam agenda tahunan ini, Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla hadir menyampaikan pidatonya. Jusuf Kalla antara lain memaparkan persoalan yang sedang terjadi di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan-karhutla. Topik ini dipilih karena menyangkut lingkungan hidup dan tentu menjadi perhatian negara lain. Dalam kesempatan itu atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia, Wakil Presiden menyatakan bahwa perubahan iklim turut menghambat proses pemadaman karhutla di sejumlah provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Terkait dengan itu Indonesia menyampaikan komitmen akan proaktif mengantisipasi akibat perubahan iklim tersebut.
Masalah lingkungan hidup memang selalu menjadi salah satu yang diangkat dalam pidato para kepala negara. Tahun ini kebakaran hutan menjadi perhatian. Selain terjadi di Indonesia kebakaran juga melanda hutan tropis di Brasilia yang luasannya melebihi Indonesia. Hutan yang merupakan paru paru dunia, semakin menipis seiring masih terus dipenuhinya angkasa dengan karbon monoksida dan gas buangan lainnya, akbat industri berbahan bakar minyak dan batubara serta kebakaran hutan.
Tetapi Sidang Umum PBB bukanlah semata mata ajang membicarakan lingkungan. Geopolitik, masalah perdagangan dan ekonomi juga menjadi perhatian. Banyak retorika kepala negara yang mengemukakan soal geopolitik dan peningkatan ketegangan hubungan antar negara. Iran dan Amerika Serikat misalnya, saling berargumen mengenai posisi masing masing.
Di bidang ekonomi perang dagang juga menjadi perhatian. Memang, retorika seperti itu terasa sebagai hal yang senantiasa dibicarakan dari tahun ke tahun melalui Sidang Umum sebuah badan dunia yaitu Perserikatan Bangsa Bangsa. Sesungguhnya, dunia masih mengharapkan bahwa melalui sidang umum PBB, tata hubungan antara negara dan suasana damai dan peningkatan kesetaraan dan kesejahteraan antara negara, dapat diwujudkan.
Hati bangsa Indonesia sedang berkabut. Sejumlah hutan dan lahan di Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara Timur dan Jawa mengalami kebakaran. Akibatnya, beberapa daerah terdampak kabut asap.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, sepanjang Januari hingga 15 September 2019, kebakaran seluas 328 ribu hektar terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Jumlah tersebut mencapai 64% dari luas kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun lalu. Adapun kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini terjadi di Nusa Tenggara Timur mencapai 108 ribu hektar, Riau seluas 49 ribu hektar, dan Kalimantan Tengah 45 ribu hektar.
Kabut asap yang menyelimuti sebagian wilayah di Indonesia tentu membuat bangsa Indonesia sedih. Bencana ini menyebabkan kerugian besar seperti gangguan kesehatan, dampak sosial, ekologi, ekonomi dan juga reputasi.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Agus Wibowo dalam konferensi pers pada Senin (23/9) menyebut bahwa bedasarkan catatan Kementerian Kesehatan, sudah 900 ribu lebih orang menderita infeksi saluran pernafasan akut akibat kebakaran hutan dan lahan. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Selain itu, di sejumlah tempat seperti di Pekanbaru, kegiatan belajar mengajar harus berhenti sementara dan sejumlah penerbangan terpaksa dibatalkan akibat kabut asap yang menyelimuti udara.
Kondisi ini tentu harus mendapat perhatian semua pihak. Direktur Konservasi WWF-Indonesia, Lukas Adhyakso menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini sudah cukup memprihatinkan dan perlu ditangani secara serius oleh berbagai pihak, karena hal ini sudah termasuk keadaan darurat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia sudah mengambil tindakan tegas dengan menyegel 52 perusahaan pemegang konsensi yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Tindakan tegas lain menanggulangi kebakaran hutan dan lahan harus segera diambil oleh Pemerintah Indonesia.
Lebih parah lahi, kabut asap akibat bencana kebakaran sudah menyusup ke beberapa negara tetangga, dan menjadi perhatian beberapa media asing. Al-Jazeera yang berbasis di Timur Tengah menyoroti dampak asap kebakaran hutan Indonesia dari segi ekonomi. Dalam artikelnya yang bertajuk 'By the Numbers: Economic Impact of Southeast Asia's Haze'. Al Jazeera memuat kembali data dari tahun-tahun sebelumnya. World Bank menafsirkan biaya ekonomi langsung akibat kebakaran hutan pada tahun 2015 mencapai Rp221 triliun.
Indonesia tentu saja harus menghindari kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan dan lahan yang mencapai juta hektar. Hal ini seharus tidak terulang. Aksi cepat mengatasi dan menanggulangi harus segera dilakukan oleh berbagai pihak dan pelaku kebakaran hutan dan lahan harus dihukum.
Memang terdengar klise, bila dikatakan sinergi dan partisipasi semua pihak: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media dan akademisi harus dikuatkan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Tetapi itulah kenyataannya. Karena instansi pemerintah tidak dapat mengatasi kebakaran hutan dan lahan sendirian. Untuk itu, Bencana kebakaran hutan dan lahan membutuhkan tanggung jawab bersama.