Belum lagi Pemerintah Yaman berhasil menyelesaikan permasalahan pemberontak Houthi, yang menguasai sebagian wilayah di sebelah utara Yaman, konflik baru timbul dengan kelompok yang sebelumnya juga memerangi Houthi. Mereka menamakan dirinya sebagai Dewan Transisi Selatan (STC) dan mendukung kelompok paramiliter Pasukan Pemberontak Selatan (SRF) yang menduduki ibukota Aden. Pemerintah sementara Yaman pimpinan presiden Abdoul Rabbo Mansyour Hadi berkedudukan di Aden, setelah ibu kotaSan’a diduduki kaum pemberontak Houthi.
Pertempuran antara paramiliter dengan pasukan pemerintah berlangsung 3 hari dan mereka bahkan berhasil mengepung Gedung Kepresidenan di Aden tanggal 30 Januari 2018 lalu. Sebelumnya pada Hari Minggu (28/1), STC telah mengeluarkan ultimatum akan melakukan aksi kudeta, jika Presiden Mansour Hadi tidak merombak kabinetnya yang dianggap penuh korupsi. Masuk dalam daftar yang dituntut harus turun jabatan adalah Perdana Menteri Ahmed bin Dagher dan anggota kabinetnya.
Tetapi Presiden Mansour Hadi berkeras dan tidak mengubah komposisi kabinetnya.
Sebenarnya, pimpinan pemberontak, Aidarous al-Zubaidi sebelumnya adalah mitra Presiden Abdoul Hadi. Zubaidi membantu Hadi memerangi Houthi di kawasan Aden dan kemudian ditunjuk menjadi Gubernur kota itu. Perang kata dan saling tuduh tidak terhindarkan, setelah Hadi menganggap al-Zubaidi memerima dukungan dana dan senjata dari Uni Emirat Arab.
Zubaidi membalas tuduhan itu dengan mengatakan pemerintahan Hadi sarat korupsi dan mencoba melenyapkan STC. Hubungan kedua sekutu ini pun langsung menjauh dan berseberangan. Dengan demikian Pemerintah Yaman kini menghadapi dua front sekaligus. Di Utara menghadapi pemberontak Houthi dan di selatan menghadapi pemberontakan STC.
Situasi Yaman memang memprihatinkan, karena bukannya tambah baik namun malah menjadi tidak menentu. Dengan kondisi ini, Indonesia sebagai negara sahabat Yaman hendaknya mendorong para pihak dan Negara yang terlibat untuk masuk ke ruang perundingan. Semua tahu, yang menjadi korban konflik pastilah rakyat Sipil. Seperti kata pepatah (Indonesia), gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana meningkatkan jumlah pelayanan perizinan perdagangan yang dapat dilayani secara online. Dari 38 perizinan onlinepada 2017 akan ditingkatkan menjadi 55 perizinan dalam jaringan yang menggunakan tanda tangan digital.
Adapun perizinan dalam jaringan yang dapat diakses terdiri dari 4 kategori, yakni perizinan perdagangan luar negeri, perdagangan dalam negeri, standardisasi dan perlindungan konsumen, serta perdagangan berjangka komoditas.
Dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (31/1) Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah tahun ini berencana menerapkan pembayaran secara elektronik dalam penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA). Adapun SKA diterbitkan bagi pengusaha Indonesia yang akan mengekspor produknya ke luar negeri. Selain itu, Kemendag pada tahun ini menargetkan dapat menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Menteri Enggartiasto mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah ini akan disusun untuk pemanfaatan aplikasi yang misalnya menghubungkan petani dengan pedagang. Dengan demikian petani dapat memasarkan produk mereka langsung ke konsumen tanpa melalui rantai pasok yang panjang.
Di sisi lain pemerintah mulai memeriksa barang-barang yang dijual di toko online maupun marketplace. Tujuan dari pemeriksaan itu ialah untuk mengetahui apakah produk yang diperjualbelikan tergolong produksi dalam negeri atau impor. Menteri Perdagangan menilai penjualan online yang menjamur seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perdagangan produk dalam negeri. Enggartiasto menginginkan agar perdagangan secara offline maupun online memiliki level of playing field atau lapangan tanding atau usaha yang sama. Menurutnya penjualan online seharusnya membuka pasar dari produk Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian Indonesia tidak hanya jadi pasar bagi produk luar negeri.
Selain dugaan penyediaan barang impor yang lebih banyak ketimbang produksi dalam negeri, Enggartiasto juga menilai masuknya barang lewat online rentan terhadap pelanggaran dalam hal bea masuk. Oleh sebab itu Enggartiasto menekankan komitmen Kementerian Perdagangan yang akan bersinergi dengan sejumlah kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Menteri Perdagangan mengakui pengawasan terhadap barang dagangan impor relatif sulit, mengingat barang yang diperjualbelikan biasanya dalam jumlah yang kecil. Maka saat ini, kementerian perdagangan tengah merancang aturan untuk memperketat transaksi perdagangan secara online beserta sanksinya. Kementerian Perdagangan pun telah berencana untuk mengandalkan peran Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga supaya bisa mendeteksi barang yang langsung masuk ke rumah.
Total ekspor Indonesia pada 2017 mencapai 168,7 miliar dolar Amerika, naik tajam 19,8 persen secara tahun ke tahun (year on year-yoy). Jumlah ini jauh di atas target pertumbuhan 5,6 persen. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan 2018 di Istana Negara Jakarta, Rabu (31/1) mengatakan peningkatan ekspor tersebut didukung oleh kenaikan ekspor nonmigas sebesar 15,8 persen yoy dan ekspor Migas sebesar 20,1 persen. Enggartiasto Lukita mengatakan, pihaknya telah melakukan strategi peningkatan ekspor dan juga reorientasi tugas para pejabat perwakilan perdagangan di luar negeri. Mereka bukan hanya menjadi goverment agent tapi juga business agent dan marketing agent. Terkait perluasan pasar non tradisional, Enggar mengatakan, pihaknya telah melakukan misi dagang ke Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, Rusia, dan Chilli dengan total transaksi lebih dari 264,7 juta dolar AS atau lebih dari 3,57 triliun rupiah. Nilai ekspor non migas ke pasar non tradisional seperti Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia Selatan juga tumbuh positif pada tahun 2017.
Enggartiasto juga mengatakan, momentum yang baik itu berlanjut ke awal 2018 disaat dirinya mendampingi Presiden melakukan lawatan ke lima negara Asia Selatan. Selain mempercepat proses perundingan internasional dengan negara-negara tersebut, pihaknya melakukan misi dagang ke India dengan potensi transaksi 2,16 miliar dolar AS atau 28,6 triliun rupiah dan ke Pakistan sebesar 115,02 juta dolar Amerika atau senilai 1,52 triliun rupiah. Selain itu di sektor energi pihaknya telah menandatangani perjanjian ekspor Liquefied natural gas ( LNG ) ke Pakistan dan Bangladesh dengan total nilai sebesar 10 miliar dolar Amerika atau senilai 13,5 trilun rupiah. Ia menegaskan, India, Pakistan dan Bangladesh adalah 10 besar penyumbang surplus neraca perdagangan Indonesia. Enggartiasto juga mengungkapkan India, Pakistan dan Bangladesh mengundang dan mengharapkan berbagai produk-produk Indonesia segera masuk ke negara tersebut.
Upaya promosi produk Indonesia di 2017 juga memberikan hasil yang baik. Dari pameran Trade Expo Indonesia (TEI), berhasil didapat transaksi USD 1,4 miliar pada pelaksanaannya yang ke-32 di 2017. Capaian ini meningkat 44 persen bila dibandingkan pameran pada 2016. Jumlah pengunjung tercatat 27 ribu orang. Terobosan sepertinya akan terus dilakukan di tahun-tahun mendatang.
Indonesia kini sedang mengejar target pertumbuhan ekonomi. Untuk itu beberapa upaya dilakukan Pemerintah dengan mengeluarkan berbagai macam kebijakan dan peraturan. Antara lain dengan mempermudah perizinan investasi dan tenaga kerja asing untuk dapat melakukan aktifitasnya di Indonesia.
Terkait hal mengejar target tersebut, dalam rapat terbatas mengenai investasi dan ekspor, Rabu, 31 Januari, Presiden Joko Widodo menginstruksikan seluruh menteri kabinetnya memudahkan jalur investasi, ekspor, hingga jalan masuk tenaga kerja asing kategori ahli ke Indonesia. Untuk itu, Presiden menginstruksikan kementrian yang mendukung kinerja investasi perdagangan agar izin kerja Tenaga Kerja Asing – TKA tidak dipersulit dan disederhanakan.
Menteri koordinator perekonomian Darmin Nasution mengatakan Pemerintah memang membutuhkan TKA untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi perdagangan. Namun yang dibutuhkan tenaga kerja asing yang memang menguasai sektor yang spesifik, salah satunya di bidang teknologi terutama e-commerce. Menurut Darmin Nasution, selama ini banyak tenaga kerja asing yang mengeluhkan sulitnya mendapat izin tinggal. Dengan diberikannya kemudahan itu, maka tenaga kerja asing bisa tertarik hingga bisa mendorong ekonomi digital.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengaku, sebagai salah satu negara utama tujuan investasi di kawasan Asia Tenggara (Asean), Indonesia membutuhkan tambahan Tenaga Kerja Asing. Menurutnya, beberapa investor asing memang meminta pemerintah untuk mengizinkan tenaga kerja mereka masuk ke dalam negeri guna mengembangkan suntikan modal dan bisnis.
Untuk mendukung percepatan ekonomi pembangunan, memang dibutuhkan tenaga tenaga ahli yang berkualitas di bidang nya masing masing agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganan. Mempermudah perizinan tinggal TKA dalam rangka mendukung program percepatan ekonomi, sah sah saja untuk mewujudkan Indonesia yang makmur sejahtera. Khususnya di bidang-bidang yang memang belum dikuasai atau belum banyak diketahui oleh tenaga ahli Indonesia. Inilah yang disebut transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya pada saatnya nanti ketika Indonesia sudah menguasai kemampuan atau keakhlian tersebut , maka tak perlu mendatangkan ahli dari luar negeri.
Tak sedikit yang mempertanyakan, apakah dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia tidak ada yang mampu menduduki posisi tenaga ahli di bidangnya masing masing? Bagaimana jika pemerintah membuka ajakan bagi para ahli asal indonesia yang berdomisil di Luar negeri untuk pulang kampung untuk membangun tanah kelahirannya dan bekerja sesuai bidangnya masing masing?
Selain itu harus ditegaskan bahwa mereka yang diizinkan bekerja adalah Tenaga Kerja Asing ahli, berkapasitas setingkat manajer serta direksi, komisaris, dan penasihat dan berorientasi mentransfer ilmu serta bukan pekerja teknis di lapangan. Hal ini bertujuan melindungi angkatan kerja muda yang cukup banyak dan potensial dari ancaman pengangguran.