VOInews.id, Tokyo:Kebakaran besar terjadi di situs Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA) saat uji coba roket Epsilon S pada Selasa (26/11/2024). Insiden dimulai sekitar pukul 8:30 pagi waktu setempat, disusul ledakan besar 30 detik kemudian. Melansir dari Le Monde, bola api dan asap putih membubung dari Pusat Antariksa Tanegashima di Prefektur Kagoshima. JAXA menyatakan bahwa kejanggalan terjadi selama uji pembakaran tersebut, tetapi tidak ada korban yang dilaporkan. Saat ini, penyebab kebakaran masih dalam penyelidikan. Laporan dari Sankei Shimbun menyebutkan api muncul dari mesin roket yang ditempatkan di platform horizontal sebelum ledakan terjadi. Kebakaran ini menambah daftar kemunduran dalam program roket JAXA.
Termasuk insiden pada Juli 2023 ketika mesin roket Epsilon S meledak 50 detik setelah dinyalakan. JAXA sebelumnya mengalami kegagalan dalam peluncuran roket generasi baru H3. Namun, pada Februari 2024, mereka berhasil meluncurkan H3 yang disebut sebagai pesaing Falcon 9 milik SpaceX. Keberhasilan JAXA lainnya tercatat pada Januari 2024. Saat itu, Jepang sukses mendaratkan probe tak berawak di Bulan, meskipun pendaratan tersebut terjadi pada sudut yang miring.
Insiden serupa terjadi pada Maret 2024 ketika roket Kairos milik perusahaan swasta Space One meledak lima detik setelah diluncurkan. Roket tersebut membawa satelit uji kecil di wilayah Wakayama, Jepang barat. Puing-puing terbakar dari roket Kairos jatuh ke lereng sekitar lokasi peluncuran, sementara penyiram air otomatis dikerahkan untuk memadamkan api. Ratusan penonton yang menyaksikan dari area pandang publik melihat langsung ledakan dan kepulan asap putih. Space One menyatakan bahwa mereka membatalkan penerbangan dan tengah menyelidiki insiden tersebut. Rangkaian insiden ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi Jepang dalam pengembangan teknologi antariksa.
RRI.co.id
VOInews.id, Naypyidaw:Junta militer Myanmar semakin meningkatkan serangan brutal terhadap desa-desa yang dikuasai kelompok oposisi. Mereka melakukan tindakan kejam seperti pemenggalan, pemerkosaan massal, dan penyiksaan, dilansir dari AP News, Senin (25/11/2024). Perempuan, anak-anak, dan lansia menjadi korban utama dalam serangan ini. Pelapor khusus PBB, Thomas Andrews, menyatakan bahwa tindakan ini merupakan respons junta terhadap kekalahan militer dan kehilangan wilayah.
Junta menggunakan senjata canggih untuk menyerang warga sipil dan menghancurkan kota-kota yang tidak dapat mereka kendalikan. Menurut Andrews, Myanmar kini menghadapi "krisis yang tak terlihat" karena perhatian dunia lebih terfokus pada isu lain. Kekejaman ini didukung oleh beberapa negara yang memungkinkan transfer senjata, bahan bakar jet, dan dukungan lainnya ke junta. Namun, Singapura dipuji karena berhasil mengurangi transfer senjata hingga 90% melalui kebijakan ketat. Sementara itu, sanksi dari Amerika Serikat terhadap bank milik junta telah mengganggu rantai pasokan militer Myanmar. Andrews mendesak negara-negara lain menghentikan aliran senjata, meningkatkan bantuan kemanusiaan, dan mendorong akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia.
Junta telah menewaskan lebih dari 5.800 warga sipil, menghancurkan lebih dari 100.000 rumah, dan menahan lebih dari 21.000 tahanan politik. Laporan menyebutkan pasukan junta juga melakukan pembunuhan massal, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembakaran jenazah. Situasi paling kritis terjadi di negara bagian Rakhine, di mana kelompok Arakan Army (AA) telah menguasai lebih dari separuh wilayah. AA yang memerangi junta untuk memperoleh otonomi, juga dituduh melakukan pelanggaran HAM, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual. Junta merespons dengan meningkatkan ketegangan antara komunitas etnis Rakhine dan Rohingya.
Ribuan pria Rohingya dilaporkan dipaksa untuk bertempur melawan AA di garis depan. Kelompok militan Rohingya yang bersekutu dengan junta juga dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Rakhine. Ratusan ribu warga di Rakhine kini terputus dari bantuan kemanusiaan dan menghadapi ancaman kelaparan, penyakit, serta kematian. Andrews mendesak Sekretaris Jenderal PBB untuk segera memobilisasi sumber daya global guna menyelamatkan warga dan mengalihkan perhatian dunia ke krisis ini. Ia menegaskan bahwa tindakan segera sangat diperlukan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut.
RRI.co.id
VOInews.id, Ankara:Pemerintah Australia mengumumkan bahwa mereka membatalkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan mewajibkan perusahaan media sosial untuk mengatur misinformasi dan disinformasi di platform mereka. Dalam sebuah pernyataan pada Minggu, Menteri Komunikasi Australia Michelle Rowland mengumumkan bahwa undang-undang tersebut tidak akan dilanjutkan karena tidak ada "jalan keluar" di Senat, lapor penyiar lokal SBS News.
Jika disahkan, undang-undang yang kini dibatalkan tersebut akan memberikan wewenang kepada Otoritas Komunikasi dan Media Australia (ACMA) untuk memantau platform digital serta mengharuskan mereka untuk menyimpan catatan tentang misinformasi dan disinformasi di jaringan mereka. Namun, koalisi oposisi, Partai Hijau, dan beberapa senator independen menolak rancangan undang-undang tersebut, sehingga tidak ada jalan bagi Partai Buruh yang berkuasa untuk memperoleh mayoritas suara yang diperlukan.
Secara terpisah, larangan anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk mengakses media sosial yang bertujuan mengatasi bahaya daring di kalangan anak di bawah umur, diperkirakan akan disahkan di parlemen dengan dukungan dari oposisi pada minggu depan. Perusahaan teknologi dan kelompok hak asasi manusia juga menentang larangan media sosial secara menyeluruh dengan menekankan bahwa seharusnya berfokus pada penciptaan pengalaman online yang aman, bukan dengan mencabut akses ke beberapa manfaat positif yang ada.
Sumber : Anadolu
VOInews.id, Moskov:Dekrit Presiden Rusia Vladimir Putin yang memperbarui doktrin nuklir Rusia dapat dianggap sebagai sinyal kepada Barat dan bukan sebuah kebetulan, menurut juru bicara Kremlin Dmitry Peskov dalam wawancara dengan jurnalis Rusia, Pavel Zarubin, yang disiarkan pada Minggu (24/11). "Tentu saja, ini bukan kebetulan. Ada konsistensi tertentu," ujar Peskov ketika ditanya tentang pembaruan doktrin tersebut.
Peskov menambahkan bahwa Rusia harus terus merespons eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dipicu oleh Barat. "Meski Presiden Putin telah menugaskan persiapan amandemen itu untuk menyesuaikan doktrin (nuklir) kami dengan kondisi konfrontasi saat ini yang dipicu oleh negara-negara Barat, Putin juga harus merespons eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama dipicu oleh pemerintahan yang akan berakhir di Washington," jelas Peskov.
Ia juga menambahkan bahwa Amerika Serikat terus mengambil langkah-langkah yang semakin ceroboh untuk memperburuk konflik di Ukraina.
Sumber: Sputnik-OANA