Membangun Gizi Menuju Bangsa Sehat Berprestasi merupakan Tema Hari Gizi Nasional tahun 2019 yang jatuh 25 Januari 2019. Sedangkan Keluarga Sadar Gizi, Indonesia Sehat dan Produktif menjadi sub-tema nya. Untuk membangun gizi bangsa perlu digalangkan kepedulian dan komitmen dari berbagai pihak, hal ini dikatakan oleh Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kirana Pritasari. Kementerian kesehatan melakukan pendekatan melalui keluarga untuk menjalankan program Indonesia Sehat. Fokus utamanya ada pada empat prioritas yaitu percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi, perbaikan gizi khususnya penurunan dari faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting, penurunan penyakit menular dan tidak menular.
Stunting merupakan sebuah masalah kesehatan dimana seorang bayi atau anak-anak mengalami hambatan dalam pertumbuhan tubuhnya, sehingga gagal memiliki tinggi yang ideal pada usianya. Namun stunting dapat dicegah sedini mungkin yaitu sejak masa kehamilan dengan mengonsumsi makanan bergizi dan yang banyak mengandung zat besi, pemberian ASI eksklusif dsb.
Sampai tahun ini masih ada beberapa masalah kesehatan, terutama kesehatan anak. Meski Indikator kesehatan anak yang terkait dengan gizi menunjukkan perbaikan, tetapi masih belum ideal jika mengacu pada batas masalah kesehatan dari Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ). Asupan gizi merupakan salah satu hal penting yang dapat mempegaruhi tumbuh kembang seorang anak, terutama di 1.000 hari pertamanya (mulai dari janin hingga anak berusia dua tahun) harus tercukupi.
Periode kehamilan hingga anak berusia 2 tahun merupakan kesempatan emas dalam mencetak generasi berkualitas, bebas stunting dan masalah gizi lainnya. Intervensi pada periode ini tidak boleh diabaikan, karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik,kecerdasan dan produktivitas seseorang. Upaya bersama berbagai pemangku kepentingan perlu terus dilakukan sesuai peran dan fungsinya masing masing dengan antara lain mengutamakan konvergensi program, akses pangan bergizi, monitoring program dan sosialisasi.
Pembangunan kesehatan dengan investasi utama pembangunan sumber daya manusia Indonesia akan memberikan manfaat jangka panjang dan berkelanjutan. Salah satu komponen terpenting dalam pembangunan kesehatan adalah terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat .
Apa jadinya Indonesia di masa depan jika generasi muda Indonesia tidak mencapai potensi maksimal karena gizinya kurang terpenuhi. Maka inilah saatnya bagi semua pihak peduli akan pentingnya penerapan pola gizi yang seimbang demi hidup yang lebih baik, lebih sehat dan lebih berkualitas.
Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan rencana membangun kota ramah lingkungan secara berkelanjutan yang konsepnya disampaikan dalam High Level Seminar on Sustainable Cities ke-10 di Nusa Dua, Bali, 21-23 Januari 2019. Forum dihadiri 200 peserta dari negara-negara ASEAN dan mitra ASEAN yakni Tiongkok, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Rusia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, di Nusa Dua, Bali, Senin menyebutkan, sejak 2017, High Level Seminar memperluas fokus ke sifat multidimensi pembangunan kota, khususnya masalah lingkungan. Maka Indonesia fokus pada penanganan sampah dan limbah di perkotaan.
Selain masalah lingkungan High Level Seminar yang dihadiri peserta dari negara-negara ASEAN dan delapan negara mitra ASEAN itu juga fokus untuk menyelaraskan perencanaan pembangunan dengan Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Dikatakannya, High Level Seminar on Sustainable Cities ini merupakan wadah bagi pembuat kebijakan, para ahli dan praktisi di bidang pengembangan kota berkelanjutan di regional Asia Timur dan Tenggara. Mereka diharapkan dapat membagi ide, pengetahuan dan pengalaman serta mengembangkan kerja sama.
Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, sejak tahun 2015, proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan lebih besar daripada yang tinggal di desa yaitu sebesar 59,35 persen. Menurut Rosa 82,37 persen penduduk Indonesia diproyeksikan tinggal di perkotaan pada tahun 2045. Hal ini akan berdampak pada timbunan sampah dan limbah padat di perkotaan akibat aktivitas manusia. Rosa menegaskan, hal tersebut menjadi masalah serius, karena sampah dan limbah tidak hanya mempengaruhi kualitas kesehatan dan lingkungan pada tingkat lokal, namun juga pada tingkat global. Oleh karena itu Indonesia telah berkomitmen untuk menangani sampah dan limbah. Hal ini tercermin pada Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Peraturan ini mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah agar mampu mengelola 100 persen yang terdiri atas pengurangan limbah 30 persen dan penanganan limbah 70 persen dari limbah padat yang dihasilkan secara nasional pada tahun 2025. Pada dasarnya, peraturan ini memberikan pedoman untuk mengelola timbunan sampah.
Para pemimpin sejumlah negara dan sejumlah pengusaha serta pemerhati lingkungan hidup, akan membicarakan berbagai persoalan ekonomi yang diperkirakan menurun pertumbuhannya pada tahun ini. Para pemimpin dunia itu berkumpul dan berdiskusi dalam pertemuan World Economic Forum, atau Forum Ekonomi Dunia, di Davos Swiss.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, setidaknya ada 3 pemimpin negara maju yang tidak hadir dalam pertemuan World Economic Forum yang dimulai tahun 1971. Ketiga pemimpin negara yang absen itu adalah Perdana Menteri Inggris Theresa May, Presiden Perancis Emanuel Macron, dan Donald Trump Presiden Amerika Serikat. Theresa May dan Macron tidak hadir di Davos dikarenakan adanya persoalan krusial di dalam negeri.
Sedangkan Donald Trump selain masih harus berkutat mengatasi bekunya sebagian pemerintah Federal akibat kemelut Imigrasi dan Perbatasan Amerika Serikat Meksiko, juga dapat dilihat dari aspek lain. Ketidakhadiran Trump dalam pertemuan tahunan ini dapat dilihat dari sikap Donald Trump yang sejak awal pemerintahannya terlihat menjaga jarak dengan Eropa. Dalam konferensi ini, Wakil Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo mendapat kesempatan untuk memberikan pidato setelah acara pembukaan, bersama Perdana menteri Jerman Angela Merkel. Dari Asia hadir Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sedangkan dari Amerika Latin hadir Presiden Brasilia Jair Bolsonaro.
Tidak seperti Konferensi Tingkat Tinggi lainnya, konferensi ekonomi dunia di Davos dihadiri sejumlah pengusaha terkemuka seperti Bill Gates dan pemerhati lingkungan dan praktisi penyiaran Sir David Attenborough. David Atenborough meminta kepada para pemimpin dunia agar menemukan langkah praktis melindungi kerusakan lingkungan akibat perkembangan industri yang menggejala sebagai perubahan iklim atau Climate Change.
Pertemuan Davos yang diselenggarakan tiap tahun di kawasan pegunungan Swiss, memang sejak awal telah berusaha mencari solusi mengatasi dampak perkembangan industry dan ekonomi terhadap lingkungan dan kemanusiaan.
Terhadap bidang ekonomi, pertemuan tahun ini tentu akan memberikan perhatian pada prediksi menurunnya pertumbuhan ekonomi. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang masih belum menemukan kesepakatan bagaimana mengakhirinya, sudah sepantasnya menjadi sorotan dalam pertemuan tahun ini.
Walaupun demikian, dunia tentu tidak dapat sangat berharap bahwa pertemuan World Economic Forum tahun ini, akan dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi negara-negara yang punya pengaruh besar di bidang ekonomi. Ketidakhadiran Donald Trump antara lain, memberi petunjuk mengenai hal itu.
Keputusan mayoritas rakyat Inggeris agar negaranya keluar dari Uni Eropa, EU, memasuki masalah baru. Persoalan muncul ketika sebagian besar anggota parlemen Inggeris tidak mengindahkan seruan Perdana Menteri Inggeris Theresa May untuk mendukung kesepakatannya dengan Masyarakat Eropa. Dalam pemungutan suara Selasa malam waktu London, mayoritas anggota Parlemen Inggeris menolak usulan perjanjian yang dibuat pemerintah dengan Uni Eropa.
Penolakan dilakukan tidak hanya oleh anggota parlemen dari oposisi, melainkan juga dari kalangan partai pemerintah. Sebelumnya Perdana Menteri Theresa May menyatakan bahwa penolakan atas perjanjian yang dibuatnya dengan Masyarakat Eropa akan mengecewakan rakyat Inggris.
Salah satu kesepakatan antara pemerintah Inggeris dengan Uni Eropa adalah Inggris akan membayar Uni Eropa sekitar 770 trilyun rupiah. Selain itu kedua pihak sepakat mengenai adanya masa transisi yang memberikan kesempatan kepada kedua pihak guna menghindari gangguan terhadap sektor usaha dan perdagangan. Sesungguhnya tidak akan terjadi perubahan yang signifikan dengan adanya kesepakatan itu mulai 29 Maret 2019 sampai 31 Desember 2020.
Perdana Menteri Theresa May dan pendukungnya tentu sedang berfikir keras atas terjadinya penolakan oleh mayoritas anggota parlemen Inggris. Selain mengantisipasi persoalan di dalam negeri, Theresa May juga berfikir keras untuk meyakinkan Uni Eropa atas terlaksananya persetujuan yang sudah disepakati. Bisa jadi Perdana Menteri Inggris itu akan melakukan pendekatan dan upaya-upaya guna terjadinya penyesuaian atas kesepakatan. Hal ini masih mungkin terjadi karena persetujuan antara Pemerintah Inggeris dengan Uni Eropa bersifat politis.
Di dalam negeri kritik dilancarkan atas Brexit karena anggota Parlemen menilai Theresa May gagal mewujudkan harapan agar Inggris mendapatkan kembali control penuh atas sejumlah kebijakan ekonomi dan perdagangan yang selama ini dipegang oleh Uni Eropa. Persoalan lainnya yang dianggap sangat krusial setelah Brexit adalah pengaturan perbatasan di wilayah Irlandia Utara. Jika selama berada di Uni Eropa, perbatasan antara Inggris dan Irlandia utara tidak bersifat fisik, maka setelah keluar dari Uni Eropa perbatasan itu menjadi nyata dalam bentuk mekanisme kontrol khususnya untuk mengecek arus barang.
Perdana Menteri Theresa May kini harus berusaha benar untuk melaksanakan hasil referendum dua tahun lalu, dan ini merupakan ujian bagi pemerintahannya karena dampak dari tidak disetujuinya kesepakatan dengan Uni Eropa adalah ancaman munculnya mosi tidak percaya dari Parlemen.