Daniel

Daniel

14
November


Enam bandar udara -bandara di Indonesia meraih penghargaan Bandara Sehat dari Kementerian Kesehatan RI dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-54 2018. Enam bandara tersebut adalah Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten; Bandara Husein Sastranegara Bandung, Jawa Barat; Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau; Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat; Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Bandara Adi Soemarmo, Solo, Jawa Tengah. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan RI, Dr Kirana Pritasari, di Indonesian Convention Exhibition BSD City, Tangerang, Banten, Sabtu (10/11). Bandara Internasional Soekarno-Hatta sendiri memperoleh predikat Bandara Sehat Terbaik 2018.

Penghargaan ini diberikan atas prestasi dalam melaksanakan program kerja bidang kesehatan, khususnya dalam menjaga lingkungan sehat di wilayah bandar udara. Senior Manager Safety Risk and Quality Control Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Syaiful Bahri, menjelaskan, sebelumnya telah dilakukan berbagai rangkaian penilaian dari Kementerian Kesehatan dalam kategori Pelabuhan dan Bandar Udara. Kategori yang dinilai antara lain lingkungan bandar udara di terminal, dari sisi darat dan sisi udara. Kriteria penilaian Bandara Sehat 2018 ini terdiri atas antara lain, penyelenggaraan kesehatan lingkungan, penataan sarana dan prasarana, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, serta peningkatan keamanan dan ketertiban. Semua itu tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan no 44 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan dan Bandar Udara Sehat.

Penghargaan ini diberikan kepada bandar udara yang sudah memenuhi persyaratan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan tersebut. Penghargaan Pelabuhan dan Bandar Udara Sehat merupakan penghargaan yang rutin diselenggarakan tiap tahun oleh Kementerian Kesehatan RI. 

13
November


Pancasila adalah dasar ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia-NKRI.  Sebagai ideologi negara, nilai-nilai Pancasila juga sebagai pemersatu bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Paham Pancasila tetap menjadi konsistensi NKRI dalam menjaga kedaulatan dan keutuhannya.  Hal itu disampaikan Syaiful Arif,  penulis buku Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi. Seperti dikutiptimesindonesia.com, di Megawati Institute, Syaiful Arif mengatakan di tengah gejolak pembelotan paham radikalisme yang terjadi pada situasi belakangan ini, mengancam eksistensi Pancasila sebagai suatu kesatuan NKRI. Menurutnya, semestinya hal ini tidak terjadi bila masyarakat memahami nilai-nilai kehidupan yang terdapat pada Pancasila.  

Menurutnya  Pancasila adalah ideologi yang sangat religius karena sila pertama tentang tauhid.   Pancasila merupakan hasil rundingan, mufakat serta perjuangan seluruh insan NKRI dalam mewujudkan negara yang merdeka.  Syaiful Arif juga menjelaskan, hubungan antara agaman dan Pancasila ini supra struktural yang ditopang oleh corak kultural Islam di Indonesia.

Saat ini, Ideologi Negara Pancasila sebagai penopang kedaulatan NKRI sedang terancam eksistensinya. Menurut Syaifu Arif hal ini tak hanya menjadi tanggung jawab bagi umat Islam, tetapi seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat mempertahankan kehormatan bangsa dan negara

Sementara itu / Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional , Agus Widjojo seperti dikutip Antara.com  (24/10)  mengatakan, bangsa Indonesia harus dapat  membendung pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila  dan tak sesuai konsensus nasional seperti NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.  Menurut Agus Widjojo,  saat ini masih ada pihak-pihak yang mencoba membawa pandangan, tatanan, pemikiran, maupun ideologi di luar Pancasila agar masuk ke Indonesia. Padahal, pemikiran itu menggunakan pendekatan konflik dan peperangan.  Agus Widjojo juga mengatakan segenap elemen bangsa Indonesia seharusnya perlu memperkuat konsensus nasional tentang NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945 / Sehingga segala macam warisan pemikiran, pemahaman dan pandangan nasional dapat terjaga dengan baik.

12
November


Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Dunia Ekonomi Kreatif (WCCE) yang pertama kali diadakan. Bertempat di Nusa Dua, Bali, konferensi berlangsung 6 hingga 8 November dan diikuti oleh 1500 peserta lebih dari 30 negara. World Conference on Creative Economy (WCCE) menghasilkan Bali Agenda for Creative Economy yang akan disampaikan di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun depan. Salah satu poin kesepakatan adalah terpilihnya Uni Emirat Arab sebagai lokasi pelaksanaan WCCE pada 2020.

Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf, Kamis (8/11) mengatakan, Bali Agenda for Creative Economy merupakan aspirasi dan refleksi pentingnya ekonomi kreatif terhadap perekonomian global. Kolaborasi sangat diperlukan untuk mendukung penguatan ekosistem ekonomi kreatif. Deklarasi tersebut diharapkan semakin memperkuat kolaborasi dan kerjasama Internasional di tingkat global. Hal ini merefleksikan komitmen yang kuat dari seluruh peserta untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang ekonomi kreatif.

Bali Agenda berisi isu akses permodalan, akses pasar, pengembangan produk, promosi, pengembangan infrastruktur, dan lainnya. Menurut Triawan Munaf, Bali Agenda merupakan tonggak sejarah pengembangan ekonomi kreatif. Deklarasi ini merupakan hasil pertemuan delegasi dalam kegiatan Friends of Cretive Economy (FCE) yang diselenggarakan pada hari pertama WCCE 2018. Kesepakatan tersebut mencakup empat poin utama yang terbagi menjadi 21 poin turunan.

Poin penting pertama adalah kolaborasi dan perilaku kolektif dari FCE. Negara peserta menyepakati pembentukan Pusat Unggulan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Center of Excellence ini berfungsi sebagai serambi pelaku ekonomi kreatif dari seluruh dunia guna menghubungkan gagasan, sumber daya, informasi, dan konsep-konsep bisnis, antara lain di sektor musik, kuliner, aplikasi digital dan lain-lain. Poin lainnya adalah pengembangan ekosistem ekonomi kreatif; perayaan, promosi, dan pemberdayaan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), warisan budaya, dan keberagaman; terakhir adalah penentuan lokasi pelaksanaan WCCE selanjutnya.

Sebelumnya saat memberi sambutan pada Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia di Nusa Dua, Bali, Rabu,7/11 Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan,Indonesia  akan menjadi modal ekonomi kreatif di kawasan Asia Tenggara. Warisan budaya Indonesia yang kaya telah memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan industri kreatif, fashion, kuliner, seni dan kerajinan, serta hiburan. Hal ini, telah menjadi jangkar bagi perekonomian Indonesia yang memungkinkannya untuk tetap kuat dalam menghadapi krisis ekonomi. Indonesia memiliki modalitas kreatif lebih dari cukup yang berasal dari 700 etnis di seluruh nusantara. Untuk itu, menurut Retno dibutuhkan sinergi antara akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah dan media untuk mewujudkannya.

13
November


Pendidikan sangat berperan penting dalam kemajuan dan pembangunan suatu bangsa. Karena itu dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, harus mendapat perhatian besar baik dari pemerintah maupun masyarakat. Para lulusannya diharapkan akan menjadi modal atau sumber daya dalam mengembangkan negara. Namun, harapan ini seringkali tidak sejalan dengan kenyataan. Pada saat ini, bukan rahasia lagi jika ada banyak lulusan Perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan.

Penumpukan lulusan perguruan tinggi yang menganggur ditengarai disebabkan banyaknya kampus yang kurang inovatif. Untuk itu MenteriRiset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mendorong kampus untuk berinovasi dalam berbagai bidang. Menumpuknya sarjana yang menganggur merupakan dampak dari kampus yang lamban berinovasi.

Salah satu indikasinya, ketika sebuah  perguruan tinggi membuka program studi (prodi)  baru, maka perguruan tinggi yang lain ikut-ikutan membuka program yang sama. Padahal kebutuhan akan lulusan program tersebut tidaklah terlalu signifikan. Akibatnya ada banyak lulusan,sementara permintaan atau kebutuhan di lapangan kecil.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya kampus bisa berpikir ke depan dan menginisiasi prodi baru yang benar-benar dibutuhkan. Saat ini,  bukan hal yang aneh jika ada banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan  bidang akademiknya. Ada banyak anak muda yang membuka usaha dan bekerja di luar bidang studinya.    Hal ini sah-sah saja,  setidaknya dapat mengurangi angka pengangguran atau bahkan membuka peluang kerja bagi orang lain. Namun bila diingat waktu kuliah yang dihabiskan untuk program studi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan lapangan kerja yang kemudian ditekuni, sungguh tidak ideal, kalau tidak mau dikatakan pemborosan waktu dan biaya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Agustus 2018 jumlah pengangguran di Indonesia berkurang 40 ribu orang dibandingkan bulan Agustus 2017. Artinya ada perbaikan dari tahun sebelumnya. 

Sayang, menurut pemetaan penyerapan tenaga kerja, serapan  level sarjana masih  memprihatinkan,  hanya sekitar 17,5%. Angka ini jauh lebih kecil dari level non-S1. Artinya, inovasi diperlukan agar para lulusan Perguruan Tinggi benar-benar dibutuhkan pasar.