Sejak 11 tahun menjalin kerjasama Badan penelitian dan pengembangan - Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (BLI KLHK) bersama Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) terus mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Kepala Badan penelitian dan pengembangan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan, Agus Justianto berharap, kedua pihak dapat menggerakan ilmu pengetahuan menjadi sebuah aksi. Serta menerjemahkan gerakan-gerakan Internasional sebagai langkah untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal itu dikatakannya saat melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) bersama Direktur Jenderal CIFOR, Robert Nasi, Bogor, Selasa lalu.
Sementara itu Robert Nasi menjelaskan, selama ini telah berjalan berbagai kegiatan antara lain pengembangan Sistem Akuntansi Karbon Nasional Indonesia (INCAS), Proyek Mata Pencaharian Berkelanjutan Bebas Asap (HFSLP), Program Adaptasi dan Mitigasi Lahan Basah Berkelanjutan (SWAMP), dan Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Pengaturan Kelembagaan untuk REDD, dan Studi Komparatif Global tentang REDD+.
Dikatakannya, kini kerjasama tersebut kembali dikuatkan dalam beberapa bidang antara lain pengelolaan hutan berkelanjutan, pemanfaatan hutan berbasis pohon, dan perhutanan sosial. Fokus kerjasama ini juga meliputi beberapa wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam kesempatan yang sama, Robert Nasi juga menyampaikan CIFOR dan BLI KLHK atau forest and Environment Research Development and Innovation Agency of the Goverment of Indonesia (FOERDIA) memiliki sejarah panjang dalam bekerja bersama yang dimulai pada 1997 di Hutan Penelitian Bulungan.
Robert Nasi mengatakan nota kesepahaman yang diperbaharui ini merupakan penegasan atas komitmen CIFOR dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Dan langkah penting dalam kemitraan jangka panjang. Ia menantikan upaya bersama CIFOR yang berkesinambungan untuk menunjukkan peran penting hutan Indonesia dalam berkontribusi pada pencapaian tujuan nasional dan Sustainable Development Goals (SDGs). fld
Rombongan misi dagang Indonesia ke India untuk menghadiri pertemuan dan pameran keempat India-ASEAN 2019, dari 21 hingga 23 Februari lalu, memperoleh hasil positif. Harian Kompas, Senin (25/2) melaporkan, selain peluang penurunan bea masuk produk turunan minyak sawit, sejumlah produk Indonesia berpotensi masuk ke pasar India.
India membuka peluang penurunan bea tarif dari 50 persen menjadi 45 persen bagi produk turunan minyak sawit asal Indonesia, sama dengan produk asal Malaysia. Poin ini menjadi salah satu misi delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Sejumlah pelaku usaha mendapat peluang memasarkan produk mereka ke India. Selain aneka produk turunan yang mengandung sawit, Indonesia berpeluang memasarkan produk perhiasan, sejumlah produk makanan dan minuman, serta produk tekstil.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Indonesia, Arlinda, menyatakan, pelaku usaha India juga menjajaki peluang mendatangkan karet, rempah gambir, dan kertas dari Indonesia. Khusus komoditas karet, sedikitnya lima pelaku usaha India hadir dalam penjajakan bisnis yang digelar di sela-sela pertemuan dan pameran tersebut.
Menteri Enggartiasto kepada media menjelaskan, seperti halnya minyak nabati, kebutuhan karet India diyakini terus tumbuh seiring pertumbuhan industri dan ekonomi. Menurut Menteri, selama ini sebagian pelaku usaha India mengimpor karet dari Singapura. Namun karet tersebut sebenarnya berasal dari Indonesia.
Enggartiasto menekankan prinsip kemitraan dan kolaborasi dalam perdagangan. Menurutnya, India adalah mitra dagang terbesar keempat bagi Indonesia. Namun perdagangan bukan soal peringkat dan surplus atau defisit, tetapi mengenai kemitraan serta bagaimana perdagangan bisa berkontribusi bagi perkembangan nasional dan negara lain.
Total perdagangan Indonesia-India tahun lalu sebesar 18,7 miliar dolar Amerika. Dari perdagangan itu, Indonesia surplus 8,7 miliar dolar Amerika. Sementara itu 60 persen total ekspor Indonesia berasal dari minyak kelapa sawit.
Sharm el-Sheikh, kota wisata yang cantik di kawasan Laut Merah, di Mesir, hari Sabtu dan Minggu ( 24-25 Februari 2019 ), menjadi tuan rumah sebuah Konperensi Tingkat Tinggi antara negara-negara anggota Liga Arab dengan Uni Eropa. Ini menjadi KTT pertama kedua kawasan. Qatar yang di KTT Liga Arab tidak hadir, kali ini hadir dengan wakilnya yang duduk di Sekretariat di Kairo.
Salah satu alasan mengapa Liga Arab menyelenggarakan KTT ini adalah adanya keinginan agar Uni Eropa memainkan peran yang lebih besar di kawasan Timur Tengah. Apalagi Amerika Serikat secara perlahan mulai mengurangi perannya. Palestina dalam KTT itu secara spesifik menyerukan Liga Arab dan Uni Eropa bekerja sama dalam menggelar konperensi perdamaian internasional untuk menggerakan kembali perundingan Palestina Israel yang macet sejak 2014.
Palestina keberatan dengan peran tunggal Amerika Serikat dalam menengahi persoalannya dengan Israel khususnya sejak Washington memindahkan kedutaanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Liga Arab dan Uni Eropa sependapat dalam persoalan Palestina, yaitu solusi dua negara sesuai resolusi PBB.
Di sisi lain, Uni Eropa nampaknya kurang berkenan jika kekosongan peran yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat diisi oleh pengaruh besar lainnya yaitu Rusia dan RRT. Sehingga dalam pidato penutupannya Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menyampaikan perlunya kerja sama dan tidak membiarkan kawasan Timur Tengah berada di bawah kekuatan global yang jauh dari wilayah tersebut.
Faktanya Rusia sudah hadir cukup kuat dengan pangkalan angkatan laut dan udara di Suriah. Sementara RRT tidak masuk dari sisi militer, melainkan dari kerjasama investasiyang ditanam di Mesir, Israel, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Memang berat bagi Uni Eropa untuk segera mengimplementasikan rencana-rencana dalam deklarasi karena posisinya sudah tertinggal. Tetapi pengaruh Uni Eropa dapat menguat karena negara-negara Arab membuka pintu di kawasan. Sekarang, KTT sudah berakhir, Deklarasi pun sudah ditandatangani. Tinggallah tindakan yang harus dilakukan kedua organisasi kawasan agar deklarasi tersebut bukan sekedar kertas yang ditandatangani.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menginginkan pembangkit listrik di Indonesia tidak terus-menerus tergantung pada bahan bakar energi fosil. Presiden juga mengungkapkan rencana mengembangkan pembangkit listrik dengan bahan bakar energi baru terbarukan. Keinginan dan rencana itu disampaikan saat meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Ekspansi 1x660 Megawatt di Cilacap, Jawa Tengah, kemarin (25/2/2019).
Indonesia memang telah mulai mengembangkan pembangkit listrik dengan energi baru dan terbarukan. Seperti dicontohkan Presiden Joko Widodo, hingga saat ini telah banyak dikembangkan pembangkit listrik dengan tenaga angin, air, bahkan uap di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya pembangkit listrik tenaga angin di Sidrap dan Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Keinginan Presiden Joko Widodo bukanlah harapan tanpa dasar. Indonesia memiliki potensi besar dalam energi baru dan terbarukan. Sebagai negara tropis, di wilayah khatulistiwa, potensi energi surya Indonesia melimpah untuk diolah menjadi pembangkit listrik tenaga surya. Sungai-sungai Indonesia yang bervolume besar dan berarus deras juga berpotensi besar sebagai sumber energi terbarukan untuk memproduksi listrik.
Apalagi, Indonesia sudah menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030. Pemerintah Indonesia juga sudah menargetkan porsi bauran penggunaan energi baru terbarukan dapat mencapai 23 persen di tahun 2025, dan pengolahan sampah menjadi sumber energi.
Keinginan tidak mengandalkan energy fosil, paling tidak sudah mulai bisa dilaksanakan dengan akan beroperasinya 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah terhitung sejak tahun 2019 hingga 2022 mendatang. 12 pembangkit tersebut akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 MW berasal dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari.
Sayangnya, masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan energi baru dan terbarukan ini. Di Indonesia, proses mengubah energy baru dan terbarukan menjadi listrik memerlukan biaya tidak sedikit, terutama terkait infrastruktur. Sementara di satu sisi, PT PLN sebagai penjual jasa listrik dihadapkan pada persoalan dituntut untuk menjual listrik dengan harga terjangkau.
Menyadari kondisi ini, kesadaran memberdayakan sumber daya alam untuk memproduksi listrik harus lebih ditingkatkan. Seperti di daerah-daerah pegunungan misalnya, aliran sungai dapat digunakan untuk memproduksi listrik dengan teknologi mikrohidro.
Melihat potensi Indonesia, perhatian dan upaya lebih untuk energi baru dan terbarukan menjadi keharusan. Regulasi dan kebijakan, serta pemberian insentif harus berpihak kepada investasi pengelolaan energi baru dan terbarukan. Agar target porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional di Indonesia mencapai 23 persen pada 2025 bisa terwujud.