Tuhan menciptakan makhluk hidup secara berpasangan. Di era modern seperti saat ini, sudah banyak cara yang dapat dilakukan orang untuk menemukan jodohnya, contohnya menggunakan berbagai sosial media. Indonesia kaya akan budaya, adat istiadat dan tradisi. Salah satu tradisi yang terdapat di daerah di Indonesia adalah tradisi yang menyangkut perjodohan.
Tradisi mencari jodoh dari daerah Wakatobi, Sulawesi Tenggara dinamakan tradisi Kabuenga, tradisi kawin colong yang masih dilestarikan oleh suku Osing (Using) di Banyuwangi, tradisi omed-omedan dari Bali, terutama di daerah Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Denpasar Selatan, dan masyarakat Lakudo, kabupaten Buton Tengah, provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tradisi pencarian jodoh yang bernama Kamomose.
Kamomose berasal dari kata “Komomo” yang berarti bunga yang sedang kuncup atau hampir mekar, dan kata “Poose ose” yang artinya berjejer secara teratur. Jadi secara harafiah, Kamomose adalah sebuah tradisi dimana para gadis yang menginjak usia remaja duduk berjajar untuk kemudian dikenalkan kepada pemuda desa. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setelah masyarakat setempat merayakan hari raya Lebaran.
diawal prosesi tradisi ini, para gadis desa dipingit selama 6 hari 6 malam oleh para orang tua atau tetua desa yang diberi kepercayaan untuk mengasuh mereka. Setelah itu, para gadis akan dirias seperti seorang pengantin dengan baju adat khas Buton. Kemudian, mereka keluar dari rumah dan berjajar dengan gadis lainnya dengan cara berhadap-hadapan sambil membawa wadah seperti baskom.
Prosesi ini merupakan pertemuan antara gadis dan pemuda desa. Jika pemuda tertarik dengan seorang gadis, ia akan melemparkan kacang ke dalam wadah yang dibawa oleh gadis tersebut. Selain kacang, pemuda juga dapat meletakkan uang atau benda berhaga lainnya.
prosesi berikutnya adalah anak gadis berunding dengan keluarganya untuk memilih dan meminta persetujuan dari keluarganya. Jika sudah sepakat, maka acara akan dilanjutkan dengan tahap perkenalan, dan kemudian kejenjang yang lebih serius, seperti lamaran atau bahkan menikah. Tradisi ini hingga sekarang masih dilakukan oleh masyarakat lokal.
Pelangi Nada. kali ini, menghadirkan lagu-lagu bernuansa keroncong yang dibawakan oleh penyanyi-penyanyi keroncong berbakat Indonesia. Untuk membuka perjumpaan kali ini, kita dengarkan sebuah lagu berjudul Air Mata Ibu, dibawakan oleh Subardja HS.
lagu ini menceritakan tentang perjuangan seorang ibu yang mengandung dan membesarkan anak-anaknya. Begitu besar jasa ibu dan Bapak yang menjaga dengan cinta dan sayang. Kita tidak akan dapat melihat dunia tanpa jasa kedua orang tua. Betapa besar dosa jika anak durhaka kepada orang tua.
lagu Air Mata Ibu merupakan sebuah lagu keroncong asli. Iringan musik keroncong yang indah semakin sempurna dengan suara Subardja HS yang berkarakter. Sejak tahun 1962, Subardja telah terjun ke dunia musik keroncong, ia konsisten menyanyi keroncong dari panggung ke panggung. Semasa sekolah di Yogyakarta, Subardja lebih dikenal sebagai penyanyi pop. Namun kemudian dia tertarik belajar musik keroncong kepada Kusbini dari tahun 1963 sampai 1964. Subardja meraih sejumlah penghargaan dalam perlombaan menyanyi keroncong. Ia berharap generasi muda tidak melupakan musik keroncong klasik dengan berkembangnya berbagai inovasi keroncong saat ini.
berikut kita dengarkan terlebih dahulu sebuah lagu keroncong berjudul Pandangan Pertama, yang dibawakan oleh Sri Hartati
lagu Pandangan Pertama merupakan sebuah lagu keroncong asli. Tema cinta pada Pandangan Pertama cukup banyak diangkat dalam berbagai karya, seperti drama dan lagu. Cinta pada Pandangan Pertama seakan merupakan fenomena unik dan menarik untuk diceritakan maupun dikenang. Dalam syair lagu ini diungkapkan :
Pada pandangan yg pertama aku telah jatuh cinta pada siapa ku mengadu semuanya tiada yang tahu....
Sri Hartati adalah salah seorang penyanyi keroncong wanita berbakat Indonesia. Suaranya yang merdu dan berkarakter didukung arransement musik yang baik menjadikan lagu ini enak semakin didengar.
untuk mengakhiri Pelangi Nada kali ini, kita dengarkan 2 buah lagu berjudul keroncong Moresko dibawakan oleh Subardja HS dan lagu Bandar Jakarta dibawakan oleh Dian Sri Pertiwi.
Kabupaten Brebes merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Jawa Tengah dan berbatasan langsung dengan kabupaten Cirebon, provinsi Jawa Barat. Brebes terkenal dengan sebutannya sebagai kota bawang dan kota telor asin. Secara geografis desa Ciseureuh merupakan desa paling selatan dan salah satu dari tiga (3) desa di kecamatan Ketanggungan . Walaupun kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah, tetapi bahasa yang dipakai masyarakat Desa Ciseureuh adalah bahasa Sunda, yaitu bahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat di Jawa barat, tetapi dengan dialek Brebes.
Upacara adat Ngasa ini telah dilaksanakan oleh warga Jalawastu secara turun temurun sejak ratusan tahun silam. Upacara ini sebagai symbol tanda terimakasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segala nikmat yang telah dikaruniakan. Di daerah pantai ada sedekah laut ada juga sedekah bumi dan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jalawastu adalah sedekah gunung. Upacara adat ini digelar setiap Selasa Kliwon . Upacara adat Ngasa ini diadakan dalam kurun satu tahun sekali.
Pada hari Selasa Kliwon sejak jam 05.00 W.I.B puluhan ibu-ibu menggendong bakul dan tangan kanannya menjinjing rantang seng. Sampai di tempat yang menjadi pusat upacara adat Ngasa, beberapa lelaki menggelar tikar dan ibu-ibu menaruh makanan di atas tikar dan diatur sejajar. Ketua adat dan beberapa ketua lainnya berpakaian putih-putih dan menyusul di belakang rombongan ibu-ibu pembawa makanan. Menurut ketua adat, masyarakat Jalawastu pantang makan nasi , lauk daging dan ikan . Makanan pokoknya adalah jagung yang ditumbuk halus serta umbi-umbian dan sebagai lauknya adalah lalapan dedaunan, pete, terong, sambal dan dedaunan terutama daun reundeu yang dipercaya hanya tumbuh di gunung Kumbang ini.
masyarakat Jalawastu juga tidak menggunakan piring , sendok dan rantang yang terbuat dari kaca . Piring, sendok dan rantang yang digunakan terbuat dari seng, plastic atau dedaunan . Rumah mereka pun masih menggunakan dinding kayu dan atap seng, karena mereka pantang menggunakan semen. Rumah mereka juga tidak boleh menggunakan keramik. Selain itu mereka juga tidak boleh menanam kedelai serta memelihara kerbau, domba dan angsa; dan bila pantangan itu dilanggar, maka mereka percaya akan ada bencara yang menimpa. Yang paling unik, walaupun Brebes terkenal sebagai kota Bawang merah , tetapi mereka tidak boleh menanam tanaman khas tersebut , tanaman lain yang juga tidak boleh ditanam adalah kedelai.
Dalam upacara Ngasa juga ada beberapa kesenian lain yang menyertainya, seperti Perang centong yang merupakan peperangan yang menggambarkan keangkaramurkaan dan kebaikan, tari Nenandur yang menggambarkan aktivitas warga Jalawastu sebagai petani, tari Dendong yang menggambarkan para ibu yang sedang menumbuk padi di lesung serta tari rotan gila atau yang dikenal dalam bahasa sunda dengan sebutan tari Hoe Gelo, hoe berarti rotan dan gelo berarti gila. Tarian ini menunjukkan kegembiraan pemuda setelah panen serta mengasah kekuatan setelah makan hasil bumi. Tarian yang ditarikan oleh lima orang pemuda ini mengakhiri upacara adat Ngasa.
Upacara adat Ngasa ini merupakan bentuk puji syukur kepada Tuhan atas segala limpahan nikmat yang diberikan kepada masyarakat Jalawastu serta memohon agar dilindungi dari segala marabahaya.
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan hasil perkebunan di Indonesia. Selain dikonsumsi oleh masyarakat dalam negeri, sebagian besar kopi Indonesia dipasarkan ke berbagai negara. Kondisi geografis Indonesia dengan kesuburan tanah yang berbeda-beda di tiap daerahnya, juga menghasilkan cita rasa kopi yang berbeda dan unik. Kopi Luwak, Kopi Gayo, dan Toraja adalah dinatara kopi Indonesia yang sudah cukup dikenal di mancanegara. Guna semakin mempopulerkan kopi dan memajukan industri perkopian dibentuklah Dewan Kopi Indonesia (Dekopi). Pembentukan Dekopi diprakarsai oleh Menteri Pertanian RI Periode 2004-2009, Anton Apriantono. Kepengurusan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Dekopi akan diumumkan pada 11 Maret 2018 mendatang bertepatan dengan Pameran dan Ekspo Kopi Nusantara di Intermark Convention Hall, Serpong, Banten.
Menurut Anton Apriantono, masalah kopi nasional perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena kopi merupakan komoditas unggulan. Pihaknya berharap Dekopi mampu memacu perkopian Indonesia, yaitu mengembalikan dan meningkatkan kejayaan kopi nusantara. Menurut Anton, saat ini produksi kopi Indonesia masih di bawah Brazil dan Vietnam. Karena itu Dekopi akan memberikan masukan kepada pemerintah atau stakeholder untuk memajukan kopi nasional. Sebagai langkah awal dilaksanakanlah pameran kopi dengan tema Kopi Nusantara pada 9-11 Maret 2018 mendatang, di Serpong. Pameran ini bertujuan agar masyarakat mengetahui lebih banyak tentang kopi Indonesia yang cukup dikenal di sejumlah negara. Selain itu pameran kopi ini juga diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produk kopi nusantara. Nantinya akan diusulkan tanggal 11 Maret sebagai Hari Kopi Nasional sekaligus sebagai penanda bangkitnya kopi Indonesia.
Sementara itu, Jamil Musanif, formatur Sekretaris Jenderal Dekopi, mengatakan tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia masih terbilang rendah jika dibanding negara lain. Konsumsi kopi masyarakat Indonesia berkisar sekitar 4 kilo gram pertahun. Sementara di Jepang dan negara-negara Eropa komsumsinya mencapai 5 kilo gram pertahun. Bahkan ada negara yang konsumsinya mencapai 11 kilo gram per tahunnya. Jamil berharap dengan terbentuknya Dekopi, konsumsi kopi masyarakat meningkat dan dapat mensejahterakan para pelaku industri perkopian dari hulu hingga ke hilir.