Di Indonesia sebagian besar umat muslim memiliki tradisi yang sama dalam merayakan Lebaran atau Idul Fitri. Mereka ada yang mudik atau pulang kampung untuk merayakan Lebaran, Shalat Ied, Silaturahmi dan ziarah. Umat muslim juga menyajikan ketupat dan opor sebagai kuliner pada hari Raya Lebaran. Selain itu, di Indonesia juga memiliki beragam adat istiadat , suku dan budaya . Salah satu tradisi yang unik sehubungan dengan Lebaran adalah tradisi Meriam Karbit di Pontianak, Kalimantan Barat.
Tradisi Meriam Karbit memiliki sejarah yang menarik. Konon, dahulu Kesultanan Kadriah di Pontianak yang berdiri pada tahun 1771 – 1808 membunyikan meriem untuk mengusir hantu, khususnya kuntilanak yang ada di Kota Pontianak. Karena pada waktu itu, Raja pertama Pontianak yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie ketika membuka lahan untuk bertempat tinggal di Pontianak sempat diganggu oleh hantu-hantu. Lalu Sultan memerintahkan pasukannya untuk mengusir hantu itu dengan meriam . Pontianak menurut cerita adalah sebuah kota yang memiliki hantu kuntilanak. Karena pada dasarnya Pontianak berasal dari kata bunting dan anak. Selain itu bunyi yang keras dari meriam karbit menandakan waktu azan magrib.
Sekarang ini seiring berjalan waktu, meriam karbit dihidupkan untuk daya tarik pariwisata. Meriam tradisional ini dibuat dari kayu pohon durian atau pohon kelapa yang cukup keras dan kemudian diikat dengan tali rotan seberat 100 kg, agar meriam tidak bergerak pada waktu berdentum. Selain itu meriam dicat dengan warna-warni yang menarik. Panjang meriam karbit kurang lebih 4-7 meter. Meriam karbit ini dilubangi bagian tengah untuk disulut api hingga meriam berbunyi. Untuk satu kali permainan dibutuhkan sekitar 3-5 ons karbit.
Meriam yang akan turut serta dalam permainan Tradisional Meriam Karbit harus mengikuti persyaratan yang sudah ditentukan oleh forum komunitas Tradisi Meriam Karbit, seni dan budaya Pontianak. Persyaratan itu antara lain, meriam harus dihias dengan beragam dekorasi, seperti berlatar belakang masjid. Oleh karena itu untuk membuat 1 meriam biaya yang diperlukan sekitar 3 sampai 5 juta rupiah. Permainan tradisi Meriam karbit ini menjadi keunikan tersendiri di kota Pontianak dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Bahkan permainan tradisional Meriam Karbit sekarang dilombakan dan sudah masuk dalam kalender pariwisata . Kegiatan ini menjadi yang sangat dinantikan oleh masyarakat kota Pontianak.
Lokasi dari Permainan Tradisi karbit ini adalah di sepanjang bantaran Sungai Kapuas. Biasanya permainan ini dimulai sejak 3 malam sebelum Lebaran. Meriam karbit sudah berjajar di dua sisi bantaran sungai Kapuas. Menjelang azan magrib meriam ditembak sebagai penanda waktunya buka puasa. Dentumannya sangat keras bahkan terdengar hingga radius 5 Km.
Sulawesi Utara tak hanya terkenal akan keindahan tempat wisatanya, tapi juga beragam kuliner khasnya yang unik. Cita rasa kuliner khas Sulawesi Utara pun tak kalah dengan kuliner dari daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, tak lengkap rasanya jika mengunjungi Sulawesi Utara tanpa menyicipi kuliner khas Sulawesi Utara. Salah satu kuliner khas Sulawesi Utara yaitu Sate Kolombi.
Sate kolombi berbahan dasar daging kolombi yaitu siput dengan ukuran yg cukup besar yang berwarna emas atau hitam. Kolombi ini banyak ditemukan hidup di Danau Tondano. Untuk mendapatkan kolombi, biasanya para pencari menggunakan jaring. Selain itu, mereka harus datang di pagi hari, karena jika sudah mulai terasa panas maka kolombi yang muncul di permukaan air, menenggelamkan dirinya ke dalam danau.
Kuliner khas Sulawesi Utara ini bisa anda temukan di Kawasan Kuliner Boulevard Tondano, Kabupten Minahasa, Sulawesi Utara. Terdapat puluhan warung makan yang berjejer di sepanjang jalan. Selain itu, lokasinya yang berada di kawasan persawahan, membuat anda dapat mencoba Sate Kolombi ini sekaligus melihat pemandangan yang dapat memanjakan mata. Sebab, kawasan ini berada di anah datar dan dikelilingi pegunungan yang membentuk lingkaran sehingga seolah anda berada di sebuah kawah raksasa.
cita rasa Sate Kolombi ini pedas karena sesuai dengan selera mayoritas masyarakat di Sulawesi Utara. Bumbu-bumbu yang dipakai adalah bawang putih, bawang merah, cabai rawit, jahe, kemiri, kunyit, jeruk nipis, gula, dan garam. Cara memasaknya pertama pisahkan daging dengan cangkangnya. Setelah itu daging direbus dan dibersihkan. Kemudian gigi keong yang masih tersisa dikeluarkan. Setelahnya, daging direndam dengan bumbu-bumbu. Setelah beberapa jam direndam, daging kemudian direbus untuk membuat dagingnya empuk. Lalu daging pun siap dibakar. Setelah dibakar, campuran bumbu yang sudah disiapkan terlebih dahulu lalu disiram ke atas Sate Kolombi.
Memasuki salah satu situs bersejarah di Minahasa Utara ini butuh sedikit perjuangan. Letaknya yang berada di belakang perumahan dan lahan penduduk membuat salah satu situs bersejarah di Sulawesi Utara ini agak tersembunyi. Inilah Situs Waruga Sawangan yang merupakan kuburan tua peninggalan zaman megalitik orang Minahasa.
Waruga di Minahasa diperkirakan berkembang pada sekitar awal abad ke-13 sebelum Masehi. Kemunculan Waruga pertama kali di daerah Bukit Kelewer, Treman, dan Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Kemunculan Waruga kemudian terus berkembang di berbagai daerah di Sulawesi Utara hingga awal abad ke-20 Masehi.
Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa masih percaya jika roh leluhur memiliki kekuatan magis. Untuk itu, kuburan dibuat secara khusus dan seindah mungkin. Waruga terdiri dari dua bagian, bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus dan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah
Uniknya, waruga tidak dibuat oleh kerabat atau keluarga dari orang yang meninggal akan tetapi dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal. Ketika orang itu akan meninggal maka dengan sendirinya akan memasuki waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur lengkap. Suatu hari bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sebenarnya di Sulawesi Utara banyak terdapat situs Waruga, salah satunya di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Terdapat 143 buah Waruga di desa ini yang dibagi dalam beberapa ukuran yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok.
kelompok pertama, Waruga berukuran kecil dengan ketinggian antara 0-100 cm sebanyak 10 buah. Kedua, Waruga berukuran sedang dengan ketinggian antara 101-150 cm sebanyak 52 buah. Ketiga, Waruga berukuran besar dengan ketinggian antara 151-250 cm sebanyak 81 buah.
Waruga sendiri berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari suku kata Wale Maruga yang memiliki arti rumah dari badan yang akan kering. Waruga juga memiliki arti lainnya yakni Wale Waru atau kubur dari Domato atau sejenis tanah lilin.
Hari ini akan memperkenalkan Tradisi Dugderan dari Jawa Tengah. beberapa daerah memiliki tradisi yang dilakukan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Salah satunya adalah tradisi Dugderan dari Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan ini sudah dilakukan sejak tahun 1881 dan sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Semarang. Bedanya Dugderan saat ini berupa pesta rakyat yang rangkaian acaranya adalah tari-tarian, karnaval, dan tabuh bedug.
nama Dugderan berasal dari “Dug” yang merupakan suara pukulan bedug, dan “Der” yang merupakan suara ledakan petasan. Nama tersebut sebagai penanda puasa, yakni diawali dengan bedug dan diakhiri dengan petasan. Tradisi ini digelar untuk mengingatkan warga bahwa bulan Ramadhan sudah dekat. Selama seminggu sebelum bulan Ramadhan, akan ada pasar kaget yang menjual berbagai macam barang, dan ada maskot yang terkait dengan festival ini, yaitu “Warak Ngendok”.
Dugderan akan berakhir satu hari sebelum puasa, dan acara puncak tradisi dugderan diisi dengan karnaval budaya. Karnaval budaya ini biasanya dimulai dari halaman balaikota Semarang. Pembukaan acara ditandai dengan pemukulan bedug oleh Walikota Semarang.
Usai upacara pembukaan, Walikota menaiki kereta kencana yang dikawal oleh Pasukan Pandanaran menuju Masjid Agung Semarang Kauman. Disana Walikota akan disambut Warak Ngendok. Warak Ngendok ini mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang, yaitu etnis Tiongkok, Arab dan Jawa.
tradisi Dugderan telah dimulai sejak tahun 1881 pada masa pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat, didasari oleh keprihatinan beliau terhadap kedamaian masyarakat Semarang, karena adanya gerakan yang memecah belah sejak kedatangan Kolonial Belanda. Sampai terjadi pengelompokan masyarakat di Semarang.
Tradisi Dugderan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untuk bersatu, berbaur dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat dipastikan pula awal bulan Ramadhan secara tegas dan serentak berdasarkan kesepakatan Bupati dengan imam Masjid. Sehingga terlihat semangat pemersatu sangat terasa dalam tradisi tersebut.
Edisi kali ini, akan memperkenalkan salah satu tradisi dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Tradisi Batu Pemali. masyarakat Kabupaten Belu dan Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT), melakukan Tradisi Batu Pemali setiap tahunnya di bulan Juli hingga November. Tradisi ini berupa sebuah ritual pemotongan hewan. Biasanya hewan yang dijadikan persembahan adalah kerbau dan ayam. Selain itu, dalam ritual ini juga mempersembahkan beberapa daun sirih dan pinang.
Tradisi Batu Pemali merupakan sebuah ritual persembahan yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada para leluhur dan Sang Pencipta. Persembahan ini dilakukan di tempat pemali, seperti Ksadan Lulik (batu pemali) yang berada di puncak Gunung Mandeu, Kecamatan Raimanuk, Desa Faturika. Lokasi ini dapat ditempuh selama dua jam dari Kota Atambua.
menurut kepercayaan masyarakat Belu, roh leluhur dan alam sangat kental hubungannya. Mereka yakin jika leluhur mendiami sebuah media di alam semesta ini. Salah satunya yaitu di Batu Pemali yang terdapat di hutan adat dan tempat-tempat pemali. Batu Pemali atau Ksadan Lulik ini berbentuk susunan batu yang ditata rapi dalam lingkaran bulat setinggi satu meter atau lebih. Dapat dikatakan jika Batu Pemali ini menyerupai punden berundak.
ritual ini diawali dengan mengucapkan sumpah atau janji adat. Setelah mengucap sumpah, peserta ritual diminta untuk tidak melanggar, sebab akan berdampak buruk bagi yang melanggar. Oleh karena itu, pengucapan sumpah ini harus mendapat kesepakatan terlebih dahulu dari para kepala adat.Dalam Tradisi Batu Pemali ini, Kepala Suku Belu beserta warganya wajib hadir sehingga semua dapat menyaksikan dan mendengar aturan yang disepakati. Setelah ritual sumpah, persembahan diletakkan di susunan batu yang menyerupai punden berundak. Tempat ini merupakan tempat utama untuk meletakkan persembahan. Kemudian setelah meletakkan persembahan, peserta ritual bergotong royong membersihkan makam leluhur.
Edisi kali ini, akan memperkenalkan ”BAPONGKA, tradisi penangkapan ikan laut suku Bajo yang menghargai alam”. Tetaplah bersama kami di RRI World Service-Voice of Indonesia yang bisa anda dengar melalui www.voinews.id
Bajo adalah sebuah etnik yang tidak terpisahkan dengan laut, pola pemukiman masyarakat Bajo sangat unik, rumahnya kebanyakan berada di atas air, dahulu kala justru bertempat tinggal di perahu-perahu atau Lepa. Kini orang Bajo telah menyebar di seluruh penjuru nusantara, yang terbanyak di wilayah Sulawesi. Ada satu tradisi penangkapan ikan yang biasa mereka lakukan, yang mengharuskan mereka melakukan perjalanan sampai jauh, tradisi tersebut adalah Bapongka.Bapongka adalah tradisi masyarakat Bajo yang menggunakan peralatan tradisional dan tetap memelihara lingkungan laut dari kerusakan.
Bapongka adalah berlayar mencari nafkah atau hasil-hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Mereka pergi melaut secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari tiga sampai lima perahu, masing-masing perahu terdapat satu orang. Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan. Biasanya kelompok kecil tersebut akan bertemu dengan kelompok kecil yang lain di suatu lokasi penangkapan dan akhirnya membentuk kelompok besar yang jumlahnya bisa mencapai 15 bahkan 20 perahu.
Perahu tradisional yang mereka gunakan disebut lepa, yang dilengkapi cadik dan atap yang terbuat dari daun sagu. Umumnya perahu dijalankan dengan dayung, meskipun saat ini ada beberapa perahu dilengkapi mesin katinting. Pada saat bapongka mereka membawa cukup banyak bahan makanan seperti sagu dan perlengkapan, seperti lampu petromaks, tempat air, perlengkapan memasak dan makan, perlengkapan tidur, perlengkapan memasak teripang, serta peralatan menangkap untuk teripang dan hasil laut lainnya.
Bapongka berdampak baik bagi kelestarian laut, khususnya terumbu karang, karena hanya menggunakan peralatan sederhana. Dalam tradisi Bapongka suku Bajo punya beberapa pantangan yang harus mereka patuhi. Pantangan-pantangan tersebut bagi orang Bajo diyakini dapat mempengaruhi hasil tangkapan, seperti tidak boleh membuang sesuatu di laut saat melakukan Bapongka. Saat sedang Bapongka tidak boleh membuang air cucian beras, arang kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit jeruk , abu dapur ke laut. Pada saat mencuci beras air cuciannya ditampung di dalam perahu, dan akan dibuang setelah mendekati daratan. Demikian juga dengan arang kayu bekas memasak, abu dapur, kulit jeruk, air cabe dan air jahe.
Kesederhanan perahu dan peralatan mengambil hasil laut dan pantangan yang harus dilakukan, dimana mereka tak boleh melanggarnya karena dipercaya akan terjadi bencana karena alam laut diyakini ada penguasa dalam bentuk roh yakni Mbo. Hal-hal ini membuat tradisi Bapongka sangat menghargai dan melestarikan alam, sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Bajo.
Di bagian Timur pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah perkampungan nelayan yang mayoritas adalah Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan. Perkampungan itu bernama Kampung Wuring, sebuah perkampungan nelayan yang terletak di pinggiran kota Maumere, tepatnya di Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat.Kampung Wuring adalah perkampungan yang rumah penduduknya banyak didirikan di atas laut. Karena itu, ketika mengunjungi perkampungan ini, anda akan disajikan dengan pemandangan laut yang sangat indah. Kampung nelayan memang banyak ditemui di Indonesia, tetapi ada yang membedakan antara Kampung Wuring dengan kampung nelayan lainnya, yaitu meskipun wilayah pantai digunakan untuk tempat tinggal warga, air lautnya masih cukup jernih.
pada tahun 1992, saat di Flores terjadi bencana gempa dan tsunami, kampung yang perumahannya berdiri di atas air laut ini, hancur tersapu gelombang tsunami dan memakan banyak korban. Setelah bencana tersebut, ada beberapa penduduk yang pindah ke lokasi lain, namun sebagian besar memilih untuk tetap membangun kembali rumah mereka.
masyarakat Kampung Wuring terkenal sangat ramah. Mereka akan menyapa dengan senyum ketika berpapasan dengan pendatang yang memasuki wilayah mereka. Bagi anda yang ingin mengunjungi kampung ini tidaklah terlalu sulit karena jalur darat yang ada cukup mudah dilalui. Dari kota Maumere, anda akan menuju jalan Trans Flores yang menuju arah barat, setelah 1 km dari kota, akan ada belokan, pilih jalur arah kanan dan selanjutkan anda akan tiba di Kampung Wuring.
Banyak pantai di Bali yang menyuguhkan panorama yang indah dan memukau. Salah satunya adalah Pantai Yeh Leh atau Pantai Pengeragoan. Pantai ini unik dan menarik, karena di tepian pantainya terdapat banyak bebatuan yang memisahkan tepi dengan lautnya. Ketika air laut surut, batuan di sini terlihat menonjol dengan berbagai ukuran yang mempesona. Pantai ini lokasinya berada di perbatasan antara wilayah kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan, di pinggir jalan raya Gilimanuk-Denpasar. Karena lokasinya di pinggir jalan, aksesnya pun cukup mudah. Dengan areal parkir yang luas, pengunjung bisa langsung memarkir kendaraan untuk menikmati keindahan alam Pantai Yeh Le
Di pantai Yeh Leh ini selain terdapat lapangan parkir yang luas, juga terdapat Gazebo bagi yang beristirahat terlebih. Warung-warung sederhana yang selain menyediakan makanan ringan .dan minuman juga menyediakan menu makanan seperti tipat cantok, mie goreng, mie kuah dan lain-lain. Untuk masuk ke Pantai Yeh Leh ini, pengunjung yang membawa motor hanya cukup membayar ongkos parkir sebesar Rp. 1000 dan Rp. 2000 bagi pengunjung yang membawa mobil.
biasanya pantai lebih identik dengan keindahan pasir putihnya. Namum tempat wisata di Bali yang satu ini mempunyai ribuan bahkan jutaan batuan alami yang membuat pantai Yeh Leh berbeda dengan pantai-pantai pada umumnya. Selain itu pantai ini juga mempunyai air yang masih sangat jernih. Pantai ini sangat cocok untuk dijadikan tujuan wisata, terlebih bagi anda yang mempunyai hobi memancing. Dengan pesona keindahan alam bawah lautnya, anda dapat mengunjungi pantai Yeh Leh ini terlebih saat sedang surut. Selain dapat menikmati keindahan sunset, anda juga lebih lebih mudah mendapatkan hewan laut yang banyak tersembunyi di antara bebatuan yang berada di tepi pantai Yeh Leh. Memang daya tarik Pantai Yeh Leh ini adalah bebatuannya. Sebagian besar pantai Yeh Leh ini merupakan karang landai dan cenderung datar. Sehingga saat anda menginjakkan kaki di pantai ini tidak perlu khawatir kaki dipenuhi pasir ataupun basah, karena anda akan menginjak permukaan batu karang yang keras dan agak kasar.
minimnya permukaan pasir pada pantainya, membuatnya tidak ideal untuk berjemur, tetapi tidak usah khawatir karena anda bisa duduk bersantai di atas bebatuan yang tersebar di permukaan pantai ini. Bagi anda yang suka foto selfie, nuansa alam yang berbeda disini tentu akan memberikan pengalaman wisata yang lebih special. Selain menyuguhkan keindahan alam laut biru, deburan ombaknya cukup besar dan memanjang, sangat cocok untuk olah raga surfing.
Pada edisi kali ini, akan memperkenalkan Pulau Lingayan di Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. Propinsi Sulawesi Tengah memiliki 3 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan perairan Malaysia dan Philipina yaitu Lingayan, Salando dan Dolangan. Dari ke-3 pulau tersebut hanya Lingayan yang memiliki penghuni. Pulau Lingian atau disebut juga dengan nama Pulau Lingayan terletak di Desa Ogotua, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Untuk bisa kepulau ini kita dapat menaiki perahu motor dari desa Ogotua dengan waktu tempuh 15 menit.
Terletak di antara Laut Sulawesi dan Selat Makassar, pulau ini tercatat sebagai salah satu dari 92 pulau terluar di Indonesia. Deretan pohon bakau menyambut setiap pengunjung yang menginjakkan kaki di Pulau Lingayan. Selain pulau yang berpasir putih dan panorama indah, perairan sekitar Pulau Lingayan juga kaya akan pemandangan bawah laut yang indah. Ini karena letak Lingayan yang berada di pertemuan Selat Makassar dan Laut Sulawesi.Pulau Lingayan juga memiliki keindahan bawah laut yang indah. Di ini juga hidup habitat penyu sisik yang pada bulan - bulan tertentu naik ke pantai untuk bertelur. Pemerintah akan menjadikan wilayah di sekitar Pulau Lingayan ini menjadi pusat pelestarian Dugong dan padang lamun sebagai habitat mamalia laut yang dilindungi itu karena populasinya makin terancam.
Keindahan pulau berbentuk lonjong ini kian tampak saat berkeliling menggunakan perahu. Pasir putih dan batu-batu karang indah dan besar terhampar di sepanjang lingkaran pesisir pulau. Di bagian lain, terdapat bagian dalam yang cocok untuk memancing maupun menyelam. Jejeran batu karang besar berbentuk bulat maupun lonjong dengan berbagai ukuran dengan tumbuhan di atasnya, terhampar di perairan sekitar pulau, menyerupai batu atau tumbuhan terapung. Jika ingin melihat lebih dekat, perahu bisa lewat di antaranya. Gerombolan ikan kecil yang berloncatan di sekitar perahu menambah pesona Lingayan.Sejumlah pulau di tengah birunya air perairan Selat Makassar akan menjadi bagian pemandangan yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan. Dari Desa Ogotua, banyak perahu yang bisa digunakan untuk menyeberang. Umumnya perahu kecil bermesin hingga 2,5 tenaga kuda ini berkapasitas empat–lima orang. Jarak tempuh berperahu yang hanya sekitar 15 menit dengan air laut yang tenang, membuat perahu kecil lebih nyaman dan cepat.
Edisi kali ini, akan memperkenalkan Kampung Djowo Sekatul di Kendal Jawa Tengah.
Nuansa pedesaan , penerangan hanya obor , tak ada Televisi , tapi bisa akses internet. Petani, lenguhan kerbau dan ayunan pacul di persawahan, kicau burung, menambah suasana di pagi hari. Suasana itu akan didapat di Kampung Djowo yang berada di Dukuh Sekatul, Desa Margosari , kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Kampung Djowo merupakan objek wisata dengan luas sekitar 12 hektar dan teletak tepat di kaki gunung Ungaran. Objek wisata ini meiliki panorama alam yang indah dengan perbukitan Medini yang berhawa sejuk serta hamparan kebun teh mengelilingi Kampung Djowo Sekatul.
Untuk menuju Kampung Djowo Sekatul ini bisa ditempuh 30 menit dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum kira-kira 60 menit,baik dari kota Semarang maupun Ungaran, ibukota kabupaten Semarang. Dari Kendal, objek ini bisa diakses melalui Kaliwungu dengan waktu tempuh yang tak jauh berbeda dari kota Semarang atau Ungaran. Dengan tarif masuk hanya Rp. 2000 (pelajar) dan Rp. 3000 (umum) pengunjung bisa melihat rumah 6 (enam) joglo besar berikut isinya yang antik. Mulai dari pernak-pernik , hiasan, ornamen, ukiran hingga furnitur khas Jawa klasik yang masih terawat rapih. Nuansa pedesaan Jawa akan terasa sangat kental , jika Anda bermalam di Kampung Djowo ini. Tidak ada gemerlap lampu merkuri dan sejenak lupakan televisi. Namun, tersedia beberapa tempat hot spot untuk mengakses internet.
Tak sekedar menawarkan keunikan bangunan klasik dan semua yang berbau Jawa, Kampung Djowo Sekatul juga menawarkan wisata Agro bernuansa pedesaan yang tak kalah menarik. Hamparan sawah , budidaya tanaman obat, bunga hias, perkebunan vanili dan strawberi segar yang bisa dipetik langsung, budidaya buah-buahan serta arena pemancingan bisa anda temukan di obyek wisata ini. Untuk wisata edukasi ditawarkan paket pembuatan gula Jawa serta tahu dan tempe. Kampung Djowo Sekatul juga dilengkapi fasilitas area perkemahan serta fasilitas pesta kebun. Kampung Sekatul bukan sekedar menyuguhkan Joglo Klasik yang unik dan masih terpelihara keasliannya. Keberadaan Kampung Djowo juga merupakan bukti kesetiaan pemilik ,KPH Herry Djojonegoro, pada sejarah sekaligus upaya untuk melestarika kebudayaan Jawa.