Jawa Barat memiliki berbagai macam senjata tradisional, seperti Kujang, Balincong, Patik, Bedog, dan lain-lain. Kujang merupakan salah satu senjata tradisional Jawa Barat yang cukup terkenal karena keunikan bentuknya. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, dikenal sebagai senjata tradisional masyarakat Sunda, Jawa Barat, yang memiliki nilai sakral dan kekuatan magis. Kujang juga disebut sebagai senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian.
secara umum, Kujang memiliki pengertian sebagai pusaka yang berasal dari pada Dewa. Sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus dikalangan masyarakat Sunda. Pada masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.
setiap bagian Kujang memiliki namanya tersendiri, dimulai dari bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil disebut Papatuk atau Congo sampai Ganja atau Landaian, yaitu sudut runcing yang mengarah ke arah yang sama dengan Papatuk. Pada umumnya, Kujang memiliki 5 sampai 9 mata, Kujang yang tidak memiliki mata disebut sebagai Kujang Buta. Selain bentuk, karakteristik bahan Kujang juga sangat unik, karena cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
menurut orang tua, ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai “Ku-jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang” yang artinya, Janji untuk meneruskan perjuangan nenek moyang, yaitu dengan menegakan cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Cara-ciri Manusia ada 5, Welas Asih (Cinta Kasih), Tatakrama (Etika Berprilaku), Undak Usuk (Etika Berbahasa), Budi Daya Budi Basa, Wiwaha Yuda Na Raga. Cara-ciri Bangsa ada 5, Rupa, Basa, Adat, Aksara, Kebudayaan.
Lembata memang bukan Bali yang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah, tetapi Lembata juga mempunyai banyak tempat wisata. Bahkan akhir-akhir ini semakin banyak wisatawan dari Bali yang selalu memilih Lembata sebagai destinasi ke dua. Salah satu tempat wisata indah yang terletak di Kabupaten Lembata, provinsi Nusa Tenggara Timur adalah Pantai Waijarang, yang berjarak sekitar 30 menit dari pusat kota Lewoleba. Pantai Waijarang memiliki keindahan yang menawan serta deburan ombaknya yang cukup kuat. Selain itu daya tarik utamanya yaitu keindahan bawah laut di Pantai Waijarang .
Di pantai Waijarang yang terletak di Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan, merupakan pantai yang indah. Pasir putihnya terbentang luas. Di pantai Waijarang para pengunjung dapat menikmati wisata pantai seperti ski air, berenang, berjemur, camping, volley pantai, bola kaki dan hiking. Penduduk Waijarang juga sering mengadakan atraksi-atraksi budaya untuk menghibur para pengunjung. Tidak hanya itu, keindahan panorama pantai didukung dengan pemandangan bukit-bukit yang indah dan selat Boleng yang membatasi dua pulau yaitu Lembata dan Adonara. Hutan bakau juga menyajikan pesona hijau yang serasi dengan laut biru. Letaknya yang strategis menjadikan pantai Waijarang menjadi salah satu unggulan di Pulau ini.
tidak hanya bisa menikmati keindahan pantai, dengan berjalan kurang lebih satu kilometer dari Pantai Waijarang, anda bisa juga menikmati gugusan pulau-pulau dari atas bukit Waijarang, keindahan pulau Adonara dengan gunung Bolengnya, Alor dan gunung Ile Ape.
Selain itu dari atas bukit ini anda juga bisa menikmati hamparan perahu-perahu nelayan. Semua pemandangan ini tampak indah sekali, dan menjadi daya terik tersendiri, terlebih pada waktu senja menjelang matahari tenggelam。
untuk mencapai pantai Waijarang, yang merupakan salah satu tempat favorit di Kabupaten Lembata, tidaklah sulit. Karena letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Feri, atau sekitar 30 menit dari Lewoleba, ibu kota kabupaten tersebut. Dengan menggunakan kendaraan roda dua anda sudah bisa sampai ke tempat ini. Bila anda berangkat dari Pelabuhan Ferry Lewoleba ini, selama perjalanan anda akan disuguhi oleh indahnya panorama pantai yang menawan. Ada barisan bakau yang tumbuh berkelompok di tepian pantai, ada bentangan pasir coklat yang kemudian berganti bentangan pasir yang berwarna putih. Ada pula barisan batu padas yang menyerupai benteng pertahanan. Tetapi ada panorama alam unik yang tidak anda temui ditempat lain yaitu Taman Batu。
Di Taman Batu, batu-batu alam menampilkan keindahan yang tiada duanya. Karena di sini anda akan melihat kerang laut sebesar ban mobil yang telah berubah menjadi batu. Fosil kerang tersebut menempel pada dinding batu, di bagian atasnya menempel akar-akar pohon beringin. Tetapi anda harus waspada karena di sini anda harus hati-hati melangkah agar tidak jatuh. Setelah lelah berjalan-jalan mengelilingi pantai Waijarang, anda bisa beristirahat di lopo-lopo atau tempat beristirahat yang ada di sepanjang pantai. Rindangnya pepohonan dan hembusan angin, dijamin bisa menyegarkan tubuh dan pikiran anda .
Hari ini akan memperkenalkan “To'ok, Tradisi Orang Rote”. adat perkawinan di Indonesia banyak sekali ragamnya, setiap suku mempunyai adat perkawinan sesuai dengan agama dan tradisi upacara yang ada di daerah masing-masing. Adat perkawinan suku di Indonesia bertolak dari anggapan masyarakat bahwa perkawinan adalah suatu hal yang luhur, bukan sekedar ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi merupakan proses menyatukan dua keluarga.Salah satu unsur perkawinan adalah adanya pembayaran mas kawin atau mahar dan tiap kebudayaan memiliki cara untuk memaknai mas kawin itu sendiri. Demikian pula di Rote. Faktor mahar atau belis kerap menjadi penghalang bagi dua muda-mudi untuk mengikat hubungan kasih mereka dalam pernikahan. Tokoh penting dibalik penentuan belis ini adalah to’ok.
to’ok berasal dari kata benda to’o. Kata itu merupakan penyebutan pada saudara lelaki dari pihak ibunda. Kata To’o yang mendapatkan imbuhan (k) mengandung makna pemilikan atau “yang bertanggungjawab,” yang padanya melekat hak dan kewajiban tertentu. Ringkasnya, to’o berfungsi sebagai pelindung. Itulah sebabnya dalam tradisi orang Rote, to’o memiliki peran sentral.
Biasanya to’ok lah yang menentukan besar-kecil belis, juga jenisnya. Ia dapat meminta hewan, mamar (sebuah lahan perkebunan yang didalamnya ditanam kelapa, pisang, siri, pinang,dan lainnya), lahan kebun atau ladang, petak sawah, emas, uang, dan sebagainya. Jenis hewan yang diminta basa berupa kerbau, sapi, kuda atau babi. Jumlahnya pun tergantung kelihaian “negosiator,” yang diperankan oleh juru bicara dari calon pengantin pria.
Di masa lalu, banyak calon pasangan gagal berlanjut ke pelaminan hanya karena permintaan to’ok yang tak disanggupi. Dan ada pula pasangan yang kemudian melarikan diri dan menikah di tempat lain. Namun, dewasa ini hal itu tidak terjadi lagi.
selain peran pada peminangan, to’ok juga berperan saat ponakannya meninggal. Kebiasaanya, bila ada orang meninggal, yang akan ditanyakan adalah, “siapa to’ok-nya?” To’ok-lah yang menanggung upah pekerjaan menggali kubur.
Karena kematian juga merupakan bagian penting dari ritual adat, biasanya banyak hewan dipotong untuk memberi makan para pelayat. Jumlah hewan yang dipotong tergantung dari status adat, sosial-ekonomi dan senioritas dari almarhum. Bila banyak hewan yang akan dipotong, maka to’ok akan mendapatkan jatah hewan hidup.
to’ok adalah penyebutan pada saudara lelaki dari pihak ibu. Apabila pihak ibu tidak memiliki saudara laki-laki, maka to’ok dapat diberikan kepada saudara lelaki dari pihak keluarga jauh. Kalau dari saudara jauh ini juga tidak ada keturunan laki-laki, maka to’ok bisa juga diberikan kepada pihak lainnya, asalkan dari marga ibu. Kerap terjadi, to’ok juga diberikan kepada orang lain di luar yang dijelaskan di atas, apabila dalam sejarahnya orang itu pernah berperan sangat penting dalam kehidupan yang bersangkutan (orang yang meninggal atau yang akan menikah itu).
Tarian Ketuk Tilu merupakan tarian klasik yang terkenal di Jawa Barat. Tarian ini adalah salah satu tarian yang menjadi cikal bakal dari beberapa tarian yang populer di Jawa Barat. Tari Ketuk Tilu adalah tarian tradisional Jawa Barat sebagai tarian hiburan atau tarian pergaulan. Tari ini sering ditampilkan pada beberapa acara seperti pesta perkawinan dan hiburan penutup acara . Tarian ini juga merupakan cikal bakal tari Jaipongan yang sangat terkenal di Jawa Barat.
Dahulu, tari Ketuk Tilu ini merupakan tarian pada upacara adat menyambut panen padi sebagai ungkapan rasa syukur kepada ‘Dewi Sri” (dewi padi dalam kepercayaan masyarakat Sunda) . Upacara ini dilakukan pada waktu malam hari, dengan mengarak seorang gadis ke tempat yang luas di iringi bunyi-bunyian. Namun seiring dengan perkembangan jaman, tarian ini menjadi tarian pergaulan dan hiburan bagi masyarakat. Nama ketuk tilu diambil dari alat musik pengiringnya, yaitu 3 buah ketuk (bonang) yang memberi pola irama rebab, kendang indung (besar) dan gendang kulanter (kecil, untuk mengatur dinamika tari/kendang yang diiringi kecrek dan gong. Ini adalah merupakan instrumen musik untuk mengiringi tari Ketuk Tilu.
Gerakan yang dilakukan dalam tarian ini adalah gerakan seperti goyang, pencak, dan gerakan yang disebut muncid, gitek dan geol. Pada pertunjukannya , diawali dengan alunan musik dan lagu pengiring untuk mengumpulkan para penonton. Kemudian para penari memasuki panggung dengan gerak jajangkungan dan dilanjutkan dengan gerak wawayangan yaitu saat penari sambil menari dan menyanyi. Setelah itu penari primadona muncul dan menari. Kemudian dilanjutkan dengan ngibing tunggal atau ibing jago dengan iringan 3 lagu cikeruhan, cijagran dan mamang. Kemudian para penari mengajak para penonton untuk menari berpasangan. Dalam pertunjukkan tari Ketuk Tilu ini lagu wajib yang harus dibawakan adalah Kidung dan erang dengan lirik lagu berbentuk pantun dengan tema asmara dan kegembiraan
Kostum yang digunakan pada pertunjukkan Tari Ketuk Tilu terdiri dari kostum pria dan kostum wanita. Pada kostum pria biasanya menggunakan baju kampret dengan warna gelap dan celana pangsi dengan atribut seperti sabuk kulit dan golok. Pada bagian kepala menggunakan ikat kepala. Untuk kostum wanita biasanya menggunakan pakaian kebaya dengan celana sinjang(panjang). Selain itu penari wanita juga memakai aksesoris seperti selendang ,gelang juga kalung. Pada bagian kepala penari biasanya menggunakan sanggul dengan hiasan rangkaian bunga untuk menambah kecantikan para penarinya.
Demikian edisi Pesona Indonesia kali ini dengan topik Tarian tradisional Ketuk Tilu dari Jawa Barat.
Kalimantan Barat ada beragam tarian tradisional yang merupakan salah satu dari aneka ragam adat budaya yang masih dijaga. Beragam tarian tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Seperti Tari Monong, tarian ini dikenal sebagai salah satu ritual kepercayaan yang dipakai untuk meminta kesembuhan warga yang sakit.Tari Monong merupakan salah satu tarian dari Kalimantan Barat yang bertujuan untuk pengobatan penyakit bagi salah satu warga dari Suku Dayak. Zaman dahulu, tarian yang juga dikenal dengan nama Tari Manang ini dilakukan khusus oleh dukun atau sesepuh Suku Dayak dengan tari sambil membaca mantra-mantra tertentu. Dalam pelaksanaannya, keluarga dari warga yang sedang sakit harus hadir dalam proses pembacaan mantra tolak bala penyakit tersebut dan mengikutinya. Prosesnya, tarian ini diiringi dengan beberapa alat musik tradisional dan jampi-jampi yang dipanjatkan kepada Sang Pencipta agar warga yang sakit dapat sembuh kembali.
gerakan dalam Tari Monong lebih ditekankan pada gerakan saat dukun melakukan ritual penyembuhan. Gerakan tersebut adalah gerakan saat dukun atau sesepuh melakukan pembacaan mantra dan menari.Dalam pertunjukan, penari dibalut dengan busana khas suku Dayak. Penari juga dilengkapi dengan berbagai alat yang digunakan untuk ritual. Tarian ini juga di iringi oleh berbagai alat musik tradisional suku Dayak. Tak heran jika proses ritual ini membuat setiap alunan musik, gerakan penari hingga suasananya menjadi terasa mistis
meski pada zaman dahulu Tari Monong digelar untuk tujuan memberi kesembuhan warga yang sakit, kini tarian ini sudah digunakan untuk tujuan lain. Diantaranya sebagai hiburan masyarakat. Tentu dalam perkembangannya, tarian ini juga ditambahkan banyak kreasi dan variasi gerakan. Kreasi tersebut di lakukan untuk melestarikan kesenian tradisional suku Dayak di Kalimantan Barat. Selain itu, hal tersebut dilakukan juga agar pertunjukan terlihat menarik, namun tetap tidak menghilangkan nilai-nilai di dalamnya. Kini, tarian ini sering di pertunjukan pada saat acara adat seperti Bemanang atau Balian, penyambutan tamu, dan juga festival budaya.
Perpaduan rasa asin, manis, asam dan pedas ada dalam sepiring sate bulayak. Sate khas Lombok ini adalah sajian yang wajib Anda coba saat menjelajah kawasan Nusa Tenggara Barat. Sate bulayak menggunakan sapi sebagai bahan utamanya. Biasanya penjaja memberikan pilihan sate daging, jeroan, atau campur. Ada juga yang menyajikan pilihan daging ayam.
Racikan bumbu sate bulayak mengandung rempah-rempah Suku Sasak. Buah asam Sumbawa adalah salah satu yang membuat special rasanya.
Bumbu sate bulayak dibuat dari kacang tanah sangrai yang ditumbuk dan direbus bersama bumbu dapur. Rempah lain seperti bawang merah dan bawang putih, ketumbar, lengkuas, terasi, cabai, dan jintan juga digunakan dalam bumbu sate.
Bumbu tersebut dihaluskan lalu digoreng, dimasak dengan santan hingga mengental. Hasil akhirnya mirip bumbu kari berwarna oranye.
Di Nusa Tenggara Barat ini, menyebut sate bulayak saja langsung teringat Kecamatan Narmada, tempat asal kuliner ini. Memang banyak yang bukan dari daerah aslinya membuat sate bulayak tapi rasanya kurang enak dan biasanya bumbunya encer, sementara satenya dibakar, diberi perasan jeruk nipis dan sambal setelah matang.
Selain bumbu khas Lombok, bulayak, pendamping sajian lainnya yang mirip lontong dan ketupat merupakan ciri khas masakan kaya cita rasa ini.
Bulayak dibuat dari beras ketan dan santan. Dibungkus menggunakan daun pohon enau, sehingga meninggalkan aroma daun yang menambah sedap. Daun ini dililit melingkar, memudahkan penikmat sate menyantapnya. Tekstur bulayak padat namun terasa lembut dan gurih di lidah.
Bentuknya memanjang ramping sekitar 12 sentimeter. Seporsi sate biasanya dilengkapi enam buah bulayak yang disajikan terpisah.
Keberagaman ini dibentuk oleh banyaknya jumlah suku bangsa yang tinggal di wilayah Indonesia dan tersebar di berbagai pulau. Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa daerah, kesenian, lagu daerah, rumah adat, termasuk pakaian adat.Pada umumnya, setiap pakaian daerah dilengkapi dengan senjata tradisional. Misalnya, golok dari D.K.I. Jakarta, kujang dari Jawa Barat, piso surit dari Sumatra Utara, rencong dari Nanggroe Aceh Darussalam, mandau dari Kalimantan Barat, badik dari Sulawesi Selatan, jenawi dari Riau, tisula dari Sumatra Selatan, karih dari Sumatra Barat, Jambia dari Sulawesi Barat, dan lain sebagainya.Provinsi Sulawesi Barat juga memiliki beragam suku-suku seperti, Suku Mandar, Suku Pattae, Suku Pannei, dan Suku Pattinjo. Suku Mandar memiliki senjata tradisional, namanya Jambia. Dulu para petani menggunakan senjata ini untuk berburu atau membunuh hewan hutan yang merusak tanamannya. Ia juga digunakan sebagai sarana perlindungan diri bagi mereka yang merantau.
Jambia merupakan senjata tradisional sejenis dengan Badik. Bentuknya agak melebar pada bagian tengah bilah dan ujungnya runcing. Jambia memiliki dua jenis, yaitu Jambia Baine untuk perempuan, dan Jambia Muane untuk laki-laki.
Dibandingkan dengan Badik dari daerah lain di Sulawesi Selatan, ciri Jambia bisa dilihat apakah mempunyai cipiq atau bisaq. Cipiq adalah tanda pada Jambia yang terbelah dua ujungnya. Sedangkan, Bisaq adalah tanda membelah dua bagian tondong atau punggung badik, dan tembus dari atas hingga ke bawah.
dalam kepercayaan lama, kedua ciri tersebut dianggap baik dipakai berdagang dan bertani, karena dipercaya akan mendatangkan rezeki yang banyak. Nama-nama bagian pada Jambia ini adalah, Pulu atau kepala Jambia yang berfungsi sebagai pegangan, Oting, yaitu bagian pada pangkal yang ditanam ke dalam Pulu, Tondong, Seqde, dan Uyung atau ujung Jambia. Sedangkan sarungnya disebut Guma.
Ada beberapa suku yang menghuni pulau Papua, mulai dari suku Korowai, suku Asmat, suku Kamaro, dan suku Dani. Dan salah satu suku di Papua yang memiliki ciri khas unik dan menarik adalah suku Dani. Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem Wamena di Papua ini memang dikenal memiliki banyak sekali keunikan, mulai dari pakaian khas yaitu Koteka hingga tradisi potong jari yang merupakan bentuk belasungkawa untuk keluarganya yang meninggal dunia.
Suku Dani punya cara sendiri untuk mengekspresikan rasa sedih ketika ada salah satu anggota keluarganya meninggal. Mereka rela memotong jari tangan, jari kaki atau mengiris daun telinga sebagai bentuk kesetiaan atau pun duka yang mendalam.
Cara berkabung para pria suku Dani disebut dengan istilah Nasu Palek. Yakni memotong sedikit daun telinga. Karena mereka masih berada dipedalaman, sehingga keterbatasan alat pun masih dirasakan. Dalam menjalankan tradisi Nasu Palek, alat yang digunakan hanya berupa bambu yang diiris tipis, dan tanpa obat bius. Bagi yang mau potong jari, digunakan alat tradisional yang disebut kapak batu.
Nasu Palek tak hanya dilakukan oleh kaum pria saja, tetapi para wanita pun turut mengikuti tradisi ekstrim ini. Namun perbedaannya, kaum wanita sebelum melakukan tradisi Nasu Palek atau memotong daun telinganya, mereka terlebih dahulu melakukan tradisi Ikipalin, yaitu memotong jari tangan apabila ibu, ayah, anak, atau keluarganya meninggal. Jika jari tangan sudah habis, baru lah dilanjutkan dengan memotong sedikit daun telinga. Sedangkan kaum prianya langsung melakukan tradisi Nasu Palek. Setelah itu luka ditelinga dibungkus dengan tanaman obat-obatan.
Seiring dengan berkembangnya jaman dan pengaruh agama, tradisi Nasu Palek pun mulai ditinggalkan. Dan kini pemerintah telah melarang untuk melakukan tradisi potong jari karena dianggap kurang manusiawi. Akan tetapi bekas-bekas dari tradisi ini masih bisa dilihat pada ibu-ibu dan nenek-nenek suku Dani yang jarinya sudah terpotong.//
Kali ini, akan memperkenalkan salah satu Tarian tradisional Maluku Orlapei.
Maluku terletak di Indonesia bagian Timur dan merupakan salah satu propinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka. Provinsi ini terkenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang melimpah,seperti cengkeh, emas, dan mutiara. Begitu tuanya sejarah dari Maluku membuat tingkat kebudayaan dan juga nilai-nilai luhur adat istiadat masyarakat Maluku menjadi sangat tinggi. Salah satu bukti tingginya kebudayaan masyarakat Maluku dapat dilihat pada tarian tradisionalnya. Maluku yang terkenal dengan pantai-pantai indahnya, juga memiliki tarian tradisional yang sangat menarik, antara lain Tarian tradisional Orlapei.
Setiap daerah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki budaya yang berbeda-beda, mulai dari tarian hingga upacara adat. Semuanya memiliki karakteristik unik yang sangat menarik untuk diketahui. Demikan pula dengan tarian Orlapei . Tarian ini merupakan tarian penyambutan para tamu kehormatan pada acara-acara Negeri/Desa di Maluku. Tarian Orlapei ini pada umumnya menggambarkan suasana hati yang gembira dari seluruh masyarakat akan kedatangan tamu kehormatan di desanya dan juga menjadi bentuk ungkapan selamat datang. Kombinasi pola lantai dan gerak serta ritme musik lebih memperkuat ungkapan betapa seluruh masyarakat negara/desa setempat merasa sangat senang dengan hadirnya tamu kehormatan di desa mereka.
Tarian ini menggunakan properti “gaba-gaba”(Bagian tangkai dari pohon sagu sebagai makanan khas rakyat Maluku), dan dalam dialek Maluku disebut “Jaga Sagu”. Dalam pertunjukannya ,tarian Orlapei diiringi alat musik tradisional Maluku , yaitu Tifa, Suling bambu, Ukulele dan gitar.
Tarian yang dimainkan begitu serasi, energik dan dinamis memancarkan
aura persahabatan, perdamaian dan kebersamaan atau gotong royong. Jadi melihat tarian ini adalah juga menengok jiwa mereka yang tulus.
Kali ini, akan memperkenalkan salah satu tari tradisional dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki corak kebudayaan berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tarian tradisional yang beragam. Tarian asal provinsi ini biasanya sarat akan makna. Salah satunya adalah Tari Bidu Hodi Hakdaur.
tari tradisional di Nusa Tenggara Timur tidak mengenal tarian tunggal atau tarian yang hanya dimainkan oleh satu orang saja. Tak terkecuali dengan Tari Bidu Hodi Hakdaur ini. Tarian ini diperagakan oleh lebih dari dua orang. Tari Bidu Hodi Hakdaur diiringi dengan musik yang berasal dari perpaduan gendang, gong, tambur, dan tiupan recorder (sejenis seruling). Bahkan, tarian ini juga kerap diselingi dengan nyanyian lagu daerah rakyat Belu, “Loro Malirin” yang diiringi dengan pekikan nyaring yang bersahutan.
Tari Bidu Hodi Hakdaur, dikembangkan dari tarian Likurai dari suku Belu, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini diperagakan oleh sejumlah laki-laki dan perempuan. Dalam tarian yang dinamis ini, penari laki-laki dan perempuan memakai busana tenun ikat Suku Belu dan aksesoris seperti tais (tas tradisional) dan kelewang (parang tradisonal). Para penari mengenakan aksesoris ini sekaligus untuk menampilkan kekayaan budaya etnik Nusa Tenggara Timur yang eksotik. Tari Bidu Hodi Hakdaur ini biasanya dipersembahkan dalam rangka menyambut tamu kehormatan, perayaan pesta perkawinan, acara ritual adat, dan hiburan.
pertunjukan Tari Bidu Hodi Hakdaur ini diawali dengan penari laki-laki yang menarikan gerakan kaki dengan lincah dan kokoh sambil membunyikan giring-giring (gelang kaki) dengan mengikuti irama gendang. Kemudian datang sejumlah penari perempuan yang berlenggak-lenggok sambil memukul gendang atau bibiliku (tambur) dengan penuh semangat dan riang gembira. Setelah itu, ada koreografi berpasangan dan secara berkelompok membentuk lingkaran.
Tari Bidu Hodi Hakdaur diwariskan secara turun temurun. Dahulu, tarian tradisiona ini adalah tarian untuk menyambut kedatangan panglima perang yang berhasil menaklukan lawan. Tarian ini merepresentasikan barisan laki-laki yang gagah memainkan kelewang dan mengalahkan musuh. Sedangkan, barisan perempuan, menabuh gendang dengan riang gembira menyambut kedatangan laki-laki dan merayakan kemenangan perang. Namun, kini tarian ini memiliki makna lain yaitu kebersamaan, kegembiraan dan gotongroyong.// Enggar